Sistem Zonasi Ruwet, Sekolah Seret
Oleh: Nur Rahmawati, S.Pd (Pemerhati Pendidikan )
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, pendidikan Dasar, dan Pendidkan Menengah Kemendikbudristek, Jurmeri mengatakan bahwa kebijakan zonasi dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), merupakan salah satu upaya mningkatkan akses layanan pendidikan yang berkeadilan. “Secara nasional akses kita sudah baik. Nah, perjuangan berikutnya adalah bagaimana mengangkat mutu pendidikan yang relevan sehingga bisa lebih baik.” kata Jumeri dalam keterangan tertulisnya, Senin (Gatra.com 20/6)
Pedoman yang digunakan dalam pelaksanaan PPDB tahun sebelumnya. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (permrndikbud) Nomor 1 Tahun 2021 telah menjelaskan bahwa PPDB dilakukan melalui empat jalur. “Zonasi, afirmasi, perpindahan orang tua, dan jalur prestasi.
Di jenjang SD, sebanyak 70% dari daya tampung sekolah digunakan untuk Zonasi, 15% untuk afirmasi dan 5% pada jalur perpindahan orang tua maksimal 5% dan selebihnya dapat digunakan sebagai jalur prestasi. “Pada jalur Zonasi jenjang SD kuotanya lebih banyak karena dijenjang tersebut belum ada jalur prestasi,” jelasnya.
Sistem penerimaan peserta didik baru menggunakan sistem zonasi telah diterapkan sejak tahun 2017, tetapi sampai sekarang masih menyisakan polemik. Meskipun sistem zonasi bukan satu-satunya jalur yang digunakan untuk penerimaan peserta didik baru di setiap jenjang sekolah (masih ada jalur afirmasi dan prestasi). Namun sistem zonasi jalur yang paling banyak digunakan dalam penerimaan peserta didik baru di Indonesia. Contoh peristiwa yang terjadi di SDN Solo yang hanya menerima satu siswa baru karena SDN tersebut dianggap berada di wilayah yang jauh dari pemukiman penduduk, alhasil jumlah siswa yang mendaftar selalu berkurang dari tahun ke tahun.
Sejauh ini, sistem zonasi menuai kritikan karena beberapa murid malah diterima di sekolah yang jaraknya lebih jauh dari tempat tinggalnya dan diterima di sekolah yang tidak mereka inginkan. Kemudian di sekolah sekitar belum memenuhi ketentuan untuk mendaftar secara usia. Jadi keefesiensian sistem zonasi patut dipertanyakan dan akhirnya muncul fenomena jual beli kursi sekolah demi dapat diterima di sekolah yang diinginkan.
Polemik yang juga muncul yakni tidak sedikit orang tua peserta didik yang akhirnya melakukan manipulasi data tempat tinggal atau pindah rumah ke dekat sekolah yang diinginkan oleh peserta didik yang dinilai sekolah unggulan atau favorit. Jelaslah sistem zonasi ini bukan menjadi solusi atas ketidakmerataan akses pendidikan di Indosesia, tetapi menyebabkan berbagai pihak melakukan upaya yang tidak sehat untuk bersekolah di tempat yang diinginkan. Permasalahan ketidakmerataan pendidikan ini rupanya masalah yang klise tetapi harus selalu diupayakan untuk diselesaikan di negara ini.
Menurut pemerintah kebijakan zonasi akan meningkatkan keadilan, namun faktanya banyak anak-anak yang tidak bisa masuk ke sekolah negeri manapun dan akhirnya beralih ke sekolah swasta yang biayanya mahal. Mencermati hal ini, sangat miris bahkan sangat menyedihkan. Terlebih dengan banyaknya sekolah swasta Islam bonafide dan arus positif masyarakat untuk memasukkan anak ke pondok pesantren. Dengan kejadian ini sekolah negeri sangat perlu instropeksi dalam perihal kurikulum dan suasana belajar. Dengan begitu orang tua murid lebih rela menghabiskan banyak biaya untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah swasta yang latar belakang pengajaran ilmu-ilmu Islamnya berkualitas demi menjaga anak-anak dari arus sekulerisasi di luar sekolah.
Sistem zonasi memperlihatkan betapa lemahnya negara mengurus pendidikan warganya padahal pendidikan adalah hak mendasar individu dan masyarakat. Rasulullah saw bersabda,”Mencari Ilmu adalah kewajiban setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Akibat kebijakan zonasi ini bisa berdampak pada tidak teroptimalisasikannya potensi peserta didik yang seharusnya mendapatkan fasilitas yang mumpuni guna mendukung potensinya. Padahal potensinya bisa dilejitkan dibandingkan murid yang lain. Bukankan ini malah justru mengahancurkan potensi anak didik? Problem PPDB ini sejatinya tidak lepas dari cara pandang pengelolaan kekuasaan negara kapitalis. Alhasil negara dituntut memberi kesempatan seluas-luasnya kepada swasta atau masyarakat turut terlibat dalam kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh negara, namun nyatanya disini negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator bukan pelaksana.
Berbeda dengan sistem Islam, kepala negara atau khalifah merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan yang bisa diakses oleh semua warga negara. Hal ini karena Islam menempatkan negara sebagai penanggungjawab pengurusan seluruh urusan umat. Seperti dalam hadis:
“Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban urusan rakyat.” (HR. Bukhari).
Negara berperan utama untuk bertanggung jawab memberikan sarana prasarana seperti gedung sekolah beserta seluruh kelengkapannya, guru yang berkompeten, kurikulum yang baik serta konsep tata kelola sekolahnya. Dalam pemenuhan kebutuhan umat, khilafah berpegang kepada tiga prinsip dengan kesederhanaan aturan kecepatan pelayanan dan profesional orang yang mengurusinya. Dengan prinsip ini sehingga kerumitan dalam mendaftar sekolah sangat bisa diminimalisasi. Sebagai penanggung jawab negara tidak boleh menyerahkan urusannya kepada swasta meskipun swasta diberi kesempatan untuk memberikan amal salih. Namun keberadaan mereka tidak mengambil alih tanggung jawab negara.
Khilafah pun mengurusi anggaran pendidikan secara terpusat dengan di kelola oleh Baitul Maal. Sehingga negara mampu memenuhi seluruh kebutuhan pendidikan. Khilafah juga memberikan pendidikan akhlak untuk menjadi anak yang bertakwa sehingga dapat meraih cita-citanya dan berlomba-lomba meraih derajat tertinggi di sisi Allah Swt. dengan ilmu yang diraihnya. Pendidikan yang dikelola oleh negara yang baik maka akan menghasilkan pendidikan yang optimal.
Wallahu'alam bi ash-shawwab[]
Posting Komentar untuk "Sistem Zonasi Ruwet, Sekolah Seret"