Refleksi dari Sebuah Musibah





Oleh: Afiyah Rasyad (Aktivis Peduli Ummat)


Tak ada seorang pun yang tahu kapan musibah akan datang menyapa. Jum'at (9 September 2022), tepatnya saat Hari Olahraga Nasional, menjadi hari yang menegangkan bagi ratusan anak SMPN 1 Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Sebab, puluhan siswa tercebur ke sungai ketika melewati jembatan gantung Kregenan, Kecamatan Kraksaam, Kabupaten Probolinggo dalam rangka jalan sehat.

Puluhan siswa SMPN 1 Pajarakan terjatuh dari Jembatan gantung di Desa Kregenan, Kecamatan Kraksaan, Kabupaten Probolinggo yang tiba-tiba putus, Jumat (9/9/2022). Sebanyak 40 siswa SMPN 1 Pajarakan terjatuh dari atas jembatan gantung. Sejumlah 14 siswa dan seorang guru mengalami luka ringan dan harus dilarikan ke RSUD Waluyo Jati Kraksaan.

Salah satu korban siswa SMPN 1 Pajarakan berinisial J menjelaskan kronologi hingga terjadinya peristiwa jembatan gantung putus tersebut. Saat kejadian pukul 08.00 WIB, dia bersama teman-temannya melewati jembatan untuk mengikuti kegiatan jalan sehat digelar sekolah dalam rangka peringati Hari Olahraga Nasional. Mereka sempat berlompat-lompatan di jembatan tersebit dan akhirnya putus (kompas.com, 10/9/2022).

Sungguh miris. Maksud hati hendak memperingati Hari Olahraga Nasional, tetapi musibah datang tak bisa dihindari. Tentu saja putusnya tali jembatan harus dikaji, apakah hanya karena anak yang berlompat-lompatan sehingga tidak kuat atau jembatan itu sudah usang, renta, dan lapuk dimakan sengatan matahari dan hujan yang sikih berganti? Masyarakat setempat ada yang menyatakan bahwa jembatan besi gantung itu sudah teyengen (berkarat) dan ada beberapa lubang.

Jembatan di Desa Kreggenan ini menjadi jalan pintas, yakni sebagai pengubung di atas sungai yang lebar agar tak terlalu jauh menuju Pajarakan. Namun, putusnya jembatan di tengah peremajaan mobil dinas Forkopimda. Sebagaimana dilansir TimesIndonesia.co.id (8/9/2022), Pemkab Probolinggo, Jatim, sedang melakukan peremajaan mobil dinas (mobdin) untuk kalangan pejabat. Tak hanya di lingkungan OPD. Jajaran Forkopimda juga dapat jatah mobil baru. Sebelumnya, Pemkab Probolinggo menganggarkan mobdin baru untuk 24 camat dan 5 pegawai eselon II. Baik mobdin camat, pejabat eselon II maupun Forkopimda kendaraan dinasnya sudah berusia lebih dari 10 tahun.

Selang 3 hari dari pengadaan mobdin untuk pejabat setempat, musibah cukup berat menimpa puluhan siswa SMPN 1 Pajarakan. Peristiwa ini seakan menjadi teguran bagi pemangku kebijakan setempat untuk lebih memperhatikan urusan rakyat, termasuk kualitas fasilitas umum, infrastruktus, dan sarana transportasi yang memadai. Intropeksi saat musibah terjadi harus dilakukan agar tak ada kejadian serupa yang terulang.

Sudah menjadi rahasia umum, negara ini mengadopsi ideologi kapitalisme. Bahkan, seluruh pemerintah daerah juga berkiblat pada pemerintah pusat. Walhasil, urusan rakyat bukanlah poin pertama dan utama. Kapitalisme juga meniadakan peran negara dalam melindungi keamanan dan keselamatam rakyat.

Namun sayang seribu sayang, di mana pun kapitalisme berada, maka kebijakan dan pembangunan akan dihitung menurut laba dan rugi. Sebagaimana asas manfaat alias proyeksi keuntungan materi yang terus saja melekat pada tiap diri pejabat. Kapitalisme mendorong para penguasa dan pejabat untuk melepas amanahnya sebagai pemelihara urusan rakyat.

Refleksi dari musibah yang ada seakan tak memberi pengatuh sedikit pun. Ucapan bela sengkawa pada korban tidaklah cukup. Seharusnya, pemerintah setempat meremajakan seluruh infrastruktur agar memudahkan urusan rakyat, menjaga keamanan dan keselamatan jiwa rakyat. Beginilah potret kapitalisme dalam memandang urusan rakyat. Urusan rakyat jangan sampai menjadi beban penguasa. Rakyat harus dibiarkan hidup mandiri, tak peduli susah, sulit, dan penuh derita.

Sementara dalam sistem ekonomi Islam, infrastruktur yang masuk sebagai kepemilikan umum harus dikelola oleh negara dan dibiayai dari dana milik umum. Boleh berasal dari sumber kepemilikan negara, tetapi negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaannya. 

Kalau sampai harus ada pungutan, hasilnya harus dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk yang lain. Ini termasuk juga membangun infrastruktur atau sarana lain yang menjadi kewajiban negara untuk masyarakat seperti sekolah-sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, jalan-jalan umum, dan sarana-sarana lain yang lazim diperuntukkan bagi masyarakat sebagai bentuk pengaturan dan pemeliharaan urusan mereka.

Jelas ada perbedaan dengan pemahaman yang ada dalam sistem kapitalisme yang saat ini diterapkan. Berbagai sarana umum dibangun dan direnovasi oleh negara tanpa menunggu ada korban. Dalam Islam, pembangunan infrastruktur adalah murni sebagai bentuk pelayanan negara kepada masyarakat.

Penerapannya sudah dicontohkan oleh para khalifah yang memimpin negara dengan sistem Khilafah. Dr. Jaribah Ahmad Al-Haritsi telah melakukan penelitian yang tertuang dalam disertasinya di Ummul Qura. Pada satu poin bahasannya mendetilkan bagaimana Khalifah Umar bin al-Khaththab membangun proyek-proyek infrastruktur dengan tujuan murni pelayanan publik. Saluran-saluran irigasi terbentang hingga ke daerah-daerah taklukan. Sebuah departemen besar didirikan untuk membangun waduk-waduk, tangki-tangki, kanal-kanal dan pintu-pintu air serbaguna kelancaran dan distribusi air, agar semua masyarakat bisa mengakses air. Yang paling terkenal adalah proyek penggalian teluk yang menghubungkan Madinah dan Mesir agar bantuan dari Mesir sampai ke Madinah dengan cepat dan mudah.

Khalifah Umar ra. meminta ‘Amr bin ‘Ash ra. memperbaiki Laut Qalzum (Laut Merah) pada saat itu sehingga harga makanan di Madinah sama dengan harganya di Mesir. Sebagian referensi mengatakan bahwa Khalifah Umar ra. juga membangun gudang logistik yang di dalamnya tersedia tepung, kurma, anggur, zaitun dan apa yang dibutuhkan masyarakat. Saad al-Jar menangani kiriman pangan dari Mesir melalui laut, kemudian menyimpannya di gudang logistik yang dia bagikan kepada masyarakat (Al-Maliki, A. (1963). As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla).

Demikianlah Islam memandang pembangunan insfrastruktur yang merata dan sumber pembiayaannya yang adil di seluruh negeri Islam. Semua ini bukanlah semata-mata romantisme sejarah atau keteladanan sikap individual semata. Namun, ini adalah contoh penerapan sistem Islam oleh negara, termasuk dalam kebijakan-kebijakan ekonomi, bahkan urusan membangun jembatan.

Contoh-contoh praktis ini adalah inspirasi tentang hakikat sebuah sistem Islam secara paripurna yang telah ditinggalkan kaum nuslim selama kurang lebih 100 tahun lamanya. Karena berpaling dari sistem Islam secara parpurna, pembangunan infrastruktur tidak lebih dari proyek perebutan jatah-jatah kekuasaan untuk mengisi kantong para elit. Amat jauh dari fungsinya yang mulia, sebagai sarana bagi para penguasa untuk menunaikan kewajibannya sebagai pelayan rakyat dan meraih ridha Allah Ta’ala.


Wallahu a'lam. 

Posting Komentar untuk "Refleksi dari Sebuah Musibah"