Konflik Papua: Serangan OPM di Pegunungan Bintang, Warga Pendatang ‘Pasrah Saja, Tunggu Dievakuasi’

Kelompok bersenjata OPM disebut mulai agresif menyerang, termasuk ke masyarakat sipil sejak 2018 pada serangan pekerja proyek Trans Papua.

VisiMuslim - Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) menyatakan bertanggung jawab atas pembakaran gedung sekolah dan penembakan pesawat di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua.

Mereka secara terbuka juga mengancam keselamatan warga pendatang dari apa yang mereka sebut "wilayah perang".

Juru bicaranya, Sebby Sambom, mengklaim sudah menyampaikan agar warga pendatang meninggalkan Pegunungan Bintang sejak tahun-tahun sebelumnya. Ini menjadi pembenaran mereka ketika jatuh korban warga sipil.

Sementara itu, Imparsial mengecam serangan kekerasan TPNPB-OPM yang menyasar warga sipil, serta menyatakan hal ini juga tidak bisa dilepaskan dari komitmen pemerintah menyelesaikan konflik Papua melalui jalur dialog.

Insiden ini juga menarik kembali ingatan pada kesepakatan Jeda Kemanusiaan, yang kini dipertanyakan efektivitasnya.

Cerita ketakutan warga pendatang

Tidak seperti biasanya, kios sembako milik Yusuf, hanya buka sebagian. Warga Jawa Timur yang sudah berjualan bertahun-tahun di daerah Oksibil, Pegunungan Bintang, Papua, khawatir akan adanya serangan susulan.

Sebelumnya, TPNPB-OPM mengatakan telah membakar gedung SMK Negeri 1 Oksibil, dan menembaki pesawat Trigana Air dan Dimonim Air.

"Ya, jelas dibatasi, karena sekarang belum bisa dipastikan aman juga," kata Yusuf kepada BBC News Indonesia, Selasa (10/01).

Sejauh ini, Yusuf hanya bisa "pasrah saja, tunggu dievakuasi" jika konflik makin membesar dan mengancam nyawa.

"Pesawat sudah tak ada masuk lagi karena peristiwa kemarin," tambah Yusuf.

Sementara itu, Angel Sirait mengkhawatirkan kedua anaknya yang masih berada di Oksibil setelah ia pulang ke kampung halaman di Medan, Sumatra Utara sejak Desember lalu.

"Ini penerbangan juga tutup, anak-anakku juga di sana. Saya mau cepat, tapi situasi masih begini," kata Angel kepada BBC News Indonesia.

Angel sudah buka toko sembako di Oksibil sejak 2015, dan baru kali ini mendengar ada serangan terbuka TPNPB-OPM terhadap warga pendatang.

"Ini baru pertama saya dengar, biasanya mereka tidak ada usir ke pendatang. Biasanya nggak senang dengan pemerintah, biasanya mereka nggak pernah mau ke pendatang arahnya [target serangannya]," tambahnya.

Angel juga mengatakan keluarganya tak mungkin meninggalkan Oksibil karena "Kita di sana biasa cari makan, anak-anak juga sekolah di sana."

Namun, saat ini, tokonya tutup. Kedua anaknya sudah mengungsi ke gereja terdekat.

OPM teruskan serangan termasuk ke warga pendatang

Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, mengklaim sudah mengumumkan dalam lima tahun terakhir kepada warga non-Papua untuk meninggalkan apa yang ia sebut "wilayah perang" di Papua.

"Wilayah perang itu sudah kami sebutkan, Ndugama, Intan Jaya, Puncak Jaya, Puncak Papua, Pegunungan Bintang, dan Sorong-Maybrat," kata Sebby kepada BBC Indonesia.

Sebby juga mengatakan hasil rapat darurat kelompoknya di penghujung tahun 2022 menghasilkan keputusan untuk mengusir warga pendatang. "Kota-kota semua ini kami akan bakar. Kita merdeka, lalu bangun kembali. Sekolah-sekolah semua hancurkan. Kecuali gereja dan masjid kita kasih tinggal," katanya.

Ketika ditanya apakah warga pendatang punya senjata dan merupakan lawan dalam perang, Sebby berkelit.

"Kita sudah umumkan tinggalkan wilayah perang, itu sudah selesai. Jadi sebelum perang, masyarakat diungsikan."

"Sekali lagi kami mengimbau kepada semua orang Imigran untuk kosongkan tanah air kami, dan jika Anda masih beraktivitas di wilayah kami maka kami akan bunuh," katanya.

Keberadaan pendatang dalam lima dekade terakhir di tanah Papua ia yakini akan menghilangkan budaya asli orang Papua. "Sama dengan Aborigin di Australia. Kami akan menjadi minoritas, ras hilang, bahasa kami hilang, budaya kami hilang, karena campur aduk," katanya.

Selain itu, Sebby juga mengutarakan kekecewaan kelompoknya terhadap pemerintah Indonesia yang tidak merespon ajakan berunding yang dimediasi PBB, termasuk tidak dilibatkan dalam kesepakatan Jeda Kemanusiaan.

Utamakan kemanusiaan

Bagaimanapun, konflik bersenjata di Papua kenyataannya selalu menyertakan korban warga sipil, baik itu orang asli Papua maupun warga pendatang.

Direktur Imparsial, Gufron Mabruri mengatakan semua bentuk kekerasan apa pun alasannya tak bisa dibenarkan. "Apalagi warga sipil yang jadi sasaran," katanya.

Gufron juga mengingatkan kembali bahwa masih terdapat kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang dilakukan TNI/Polri di mana korbannya adalah warga sipil. Demikian sebaliknya, OPM juga melakukan pembunuhan terhadap belasan pekerja proyek Trans Papua.

Menurut Gufron, inti persoalan ini adalah OPM dan pemerintah Indonesia yang "sampai hari ini belum terlihat keinginan untuk duduk bareng, bagaimana menyelesaikan konflik yang sedang berlangsung, melalui dialog."

Padahal ide jalan dialog ini sudah lebih dari satu dekade didorong kelompok-kelompok HAM.

"Jangan sampai korban terutama dari warga sipil terus berjatuhan di Papua. Jadi, kalau korban terus berjatuhan, ini kan semakin menambah luka. Yang ujungnya konflik akan terus berlangsung," kata Gufron.

Ia juga menanggapi Nota Kesepahaman Jeda Kemanusiaan yang diteken Komnas HAM, United Liberation Movement for Papua (ULMWP), Majelis Rakyat Papua (MRP), dan Dewan Gereja Papua (DGP) di Jenewa Swiss, pada 11 November lalu.

Jeda Kemanusiaan Bersama bertujuan untuk menargetkan pemberian bantuan kemanusiaan kepada warga sipil yang terjebak dalam wilayah konflik bersenjata dan warga sipil yang mengungsi akibat konflik bersenjata di kawasan dan waktu tertentu melalui sebuah Koridor Kemanusiaan.

"Sebagai sebuah inisiatif para pihak, siapa pun itu perlu mendorong Jeda Kemanusiaan sebagai salah satu tahapan dari upaya menyelesaikan persoalan papua," kata Gufron yang menyayangkan belum terlihat ada pihak bertikai yang mendorong penerapan kesepakatan ini.

Bukan soal pendatang dan orang asli Papua

Peneliti Papua dari Pusat Riset Politik BRIN, Rosita Dewi, mengakui ini bukan pertama kalinya OPM menyerukan ancaman kepada pendatang.

Serangan kelompok yang dilabeli pemerintah Indonesia sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) semakin masif pascadeklarasi terbuka pada 2018 yang mengakibatkan eskalasi konflik di Papua.

"Hal ini mengakibatkan seringnya terjadinya kontak senjata antara aparat keamanan dengan KKB yang seringkali masyarakat sipil yang harus menjadi korban," kata Rosita.

Lalu agresi OPM ini direspon dengan pendekatan keamanan oleh pemerintah Indonesia yang ia sebut justru kekerasan semakin meningkat.

"Sehingga kita juga bisa melihat masyakarat harus mengungsi dan yang menjadi pengungsi adalah orang Papua, menjadi korban dan lain sebagainya," kata Rosita.

Selain itu, persoalan kesenjangan antara orang asli Papua dan pendatang di Bumi Cendrawasih pun sudah diakomodir melalui Otonomi Khusus, kata Rosita. Melalui keistimewaan aturan ini, diharapkan dapat menghilangkan kesenjangan orang asli Papua dengan pendatang, baik di bidang politik maupun ekonomi.

"Pendekatan pembangunan untuk Papua merupakan upaya positif yang ditempuh pemerintah untuk mengurangi kesenjangan tersebut, sehingga tidak ada kecemburuan.

"Walaupun masih ada hal-hal yang belum membawa hasil yang optimal dalam implementasi dari Otsus tersebut," kata Rosita.

Terobosan tepat melibatkan pihak yang tepat

Namun ketika konflik terus berlangsung, dibutuhkan terobosan untuk menekan kekerasan yang bisa menjatuhkan korban jiwa dari warga sipil.

Ia juga menyinggung tentang Nota Kesepahaman Jeda Kemanusiaan. Menurutnya implementasinya bisa efektif sangat tergantung dari pihak yang berkonflik.

"Kalau nanti yang diajak bersepakat itu bukan kelompok yang tepat, ya kemungkinan jeda kemanusiaan ini juga tidak akan bisa berjalan, dan kekerasan hanya akan berlanjut terus," katanya.

Sementara itu, peneliti dari KontraS, Rivanlee menuding sejak awal kesepakatan Jeda kemanusiaan tidak transparan.

"Hal itu membuat keberadaan jeda kemanusiaan menjadi tidak jelas karena di tengah kesepakatan tersebut tetap saja terjadi konflik, terlebih lagi menjadi tidak terkontrol. Ini yang berbahaya," katanya.

BBC News Indonesia mengonfirmasi hal ini ke Wakil Ketua Komnas HAM, Abdul Haris Semendawai. Melalui pesan tertulis ia mengatakan, "Kami masih mengumpulkan data-data terkait perkembangan di Papua saat ini. Jadi belum bisa kasih komen."

Sejauh ini, pemerintah Indonesia belum memberikan keterangan resmi terkait dengan serangan-serangan terbaru yang dilakukan OPM di Pegunungan Bintang.

Tapi sebelumnya, Panglima TNI Yudo Margono mengatakan, "Untuk KKB ya kita laksanakan dengan tegas, namun terukur. Tentunya, dengan masyarakat kita tetap humanis."

Lalu, Kapolri, Listyo Sigit Prabowo mengatakan pihaknya berkoordinasi dengan Komnas HAM untuk memastikan langkah yang akan diambil dalam penanganan konflik di Papua.

Dalam merespon serangan-serangan OPM, Kapolri Listyo mengatakan akan melakukan "tindakan penegakan hukum".

"Kita akan proses supaya ke depan, tindakan penegakan hukum yang kita lakukan bisa tepat sasaran dan tidak berdampak ke masyarakat," katanya seperti dikutip dari Kompas. []

Sumber : BBC

Posting Komentar untuk "Konflik Papua: Serangan OPM di Pegunungan Bintang, Warga Pendatang ‘Pasrah Saja, Tunggu Dievakuasi’"