Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rekomendasi Piagam PBB Jadi Dasar Fikih Baru, Rapuh!

Ilustrasi Mozaik Piagam PBB. tirto.id/Sabit

VisiMuslim - Pengasuh Pondok Pesantren Mabda Islam Sukabumi, Jawa Barat, Hisyam Waliyyuddin menilai, beberapa poin di dalam sebuah rekomendasi ormas tertentu pada Selasa (7/2), sebagai pernyataan yang rapuh.

“Ini benar-benar pernyataan yang rapuh, bagaimana mungkin sesuatu yang tidak sempurna dan diakui masih mengandung masalah bisa dijadikan sebagai dasar yang paling kokoh untuk mengembangkan fikih baru?” ujarnya kepada Mediaumat.id, Rabu (8/2/2023).

Menurutnya, kenapa tidak berpijak pada fikih klasik (baca: salaf) yang sudah jelas sumber rujukannya dan pasti lebih berkah? Dengan kata lain, kenapa justru fikih klasik yang harus ditinggalkan dan diganti dengan fikih baru yang berpijak pada Piagam PBB yang justru bermasalah?

Adalah salah satu pimpinan ormas tertentu tersebut menyampaikan rekomendasi dimaksud yang salah satu poinnya menyebutkan bahwa Piagam PBB bisa menjadi dasar yang paling kokoh untuk mengembangkan fikih baru guna menegakkan masa depan peradaban manusia yang damai dan harmonis.

Tetapi di saat yang sama, juga mengakui ketidaksempurnaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berikut piagamnya yang mengandung masalah hingga saat ini. “Perserikatan Bangsa-Bangsa berikut piagamnya memang tidak sempurna, dan harus diakui masih mengandung masalah hingga saat ini,” demikian rekomendasi yang disampaikan salah satu pimpinan ormas tersebut.

Namun dikarenakan keberadaan Piagam PBB yang sejak awal dinilai sebagai upaya untuk mengakhiri perang dan praktik-praktik biadab lainnya, disebutlah piagam itu bisa dijadikan dasar paling kokoh yang tersedia untuk mengembangkan fikih baru dimaksud.

Bahkan di kesempatan yang sama, juga disebutkan poin lain yaitu salah satu cara paling tepat dan manjur untuk mewujudkan kemaslahatan umat Islam sedunia adalah dengan mengakui persaudaraan seluruh manusia anak cucu Adam, dalam hal ini ukhuwah basyariyah, yang berarti membangun persaudaraan tidak atas dasar agama, etnis, suku dan penggolongan sosial, akan tetapi berbasis pada kemanusiaan itu sendiri.

Hal itu disanggah dengan tegas oleh Hisyam. Karena, menurut Hisyam, untuk membebaskan kaum Muslim di Palestina dari kezaliman Yahudi Israel, misalnya, tidaklah demikian caranya. “Apakah terbebasnya kaum Muslim Palestina dari kezaliman Yahudi Israel harus dengan cara menyejahterakan Israel terlebih dahulu dan mengakui Israel itu adalah saudara?” lontar Hisyam menanggapi.

Khilafah Bukan Hal Baru

Adapun poin seputar pandangan yang berakar pada tradisi fikih klasik yaitu adanya cita-cita untuk menyatukan seluruh umat Islam di bawah naungan tunggal sedunia, atau negara khilafah yang harus digantikan dengan visi baru demi mewujudkan kemaslahatan umat, kata Hisyam, menunjukkan bahwa khilafah sebagai suatu sistem pemerintahan Islam bukanlah sesuatu yang baru.

Pun demikian dengan khilafah bukanlah pendapat dari ormas atau kelompok tertentu. “Khilafah maujud (ada) dan ma’lum (dikenal) dalam khazanah fikih lama (baca: kitab fikih ulama salaf),” tegas Hisyam.

Tak hanya itu, katanya menambahkan, tudingan terhadap cita-cita menegakkan negara khilafah yang nantinya bisa menyatukan umat Islam sedunia, lantas dihubung-hubungkan dengan upaya mendirikan Negara ISIS juga menunjukkan gagalnya paham mengenai khilafah.

Begitu juga pandangan tentang khilafah yang nantinya bakal berhadap-hadapan dengan non-Muslim. “Khilafah yang justru mampu memberikan keamanan kepada semua manusia, bukan hanya Muslim tapi juga non-Muslim,” beber Hisyam.

Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Will Durant, sejarawan dari Barat di dalam bukunya The Story of Civilization. “Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas,” demikian bunyi keterangan di dalamnya.

Karenanya, memandang kelompok ISIS sebagai khilafah, juga termasuk gagal dalam memahami hakikat khilafah yang syar’i (sesuai manhaj kenabian). Apalagi menyamakan perjuangan khilafah dengan munculnya ISIS, yang menurut Hisyam sebagai sikap mengikuti opini Barat yang notabene ingin membuat stigma terhadap khilafah yang syar’i, sesuai manhaj kenabian.

Karenanya pula, hanya dengan khilafah yang mengikuti manhaj kenabian, sambung Hisyam, lima prinsip syariah, yakni menjaga nyawa, agama, akal, keluarga, dan menjaga harta, bisa diwujudkan.

“Bagaimana dengan pembantaian kaum Muslim di beberapa negara hari ini, apakah ini yang disebut terjaganya nyawa? Bagaimana dengan pembakaran Al-Qur’an yang senantiasa terulang, apakah ini yang dimaksud terjaganya agama? Bagaimana dengan sumber daya alam negeri ini yang banyak dikeruk asing, apakah ini yang disebut terjaganya harta? Bagaimana dengan banyaknya remaja hamil di luar nikah, apakah ini yang disebut menjaga keluarga?” ulasnya, menyinggung berbagai peristiwa memilukan yang justru terjadi di dalam sistem demokrasi.

Malahan dengan penerapan syariah Islam secara kaffah dalam naungan khilafah, kehormatan, keamanan dan juga negara bakal turut terjaga. Artinya, berharap kemunculan tatanan dunia yang sungguh-sungguh adil dan harmonis kepada demokrasi adalah sebuah khayalan dan halusinasi sangat parah. “Berharap lahirnya tatanan yang seperti ini pada demokrasi, sungguh sebuah khayalan dan halusinasi yang sangat parah,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Sumber : MU

Posting Komentar untuk "Rekomendasi Piagam PBB Jadi Dasar Fikih Baru, Rapuh!"

close