Kebakaran Berulang di Depo Pertamina Plumpang, Akibat Tata Kelola Yang Timpang

 



Oleh: Ummu Hanan (Aktivis Dakwah)


Kebakaran di Depo Pertamina Plumpang yang terjadi pada Jumat (3/3) lalu, kembali memantik kekhawatiran warga sekitar soal risiko yang terus mengintai mereka. Upaya menata kawasan berpenduduk padat ini pun malah terganjal oleh sengketa lahan yang telah berlangsung selama puluhan tahun lamanya.

Sejumlah warga yang menjadi korban kebakaran mengaku “was-was” dan “trauma” berada di sekitar depo setelah kebakaran yang berujung fatal dan bukan pertama kalinya terjadi, meluluhlantakkan kampung mereka. Namun, jika diminta pindah dari kawasan tersebut, tentu saja menjadi tidak mudah bagi mereka.

Ratusan warga, termasuk anak-anak, lansia, dan ibu hamil masih mengungsi di tenda-tenda darurat di Rawa Badak Selatan hingga Minggu. Sebagian tidak bisa pulang lantaran tempat tinggal mereka habis terbakar, sebagian lainnya masih takut untuk pulang meski rumah mereka tidak terdampak.

Apalagi di sisi lain, keberadaan masyarakat di kampung tersebut yang oleh sejumlah pakar tata kota disebut “mulanya ilegal”, kini telah diakui secara administratif oleh pemerintah. Pasalnya, sebelumnya Depo Pertamina Plumpang kebakaran pada 2009 dan menewaskan satu orang pekerja. 

Setelah 24 tahun berlalu, pakar tata kota dari Universitas Trisakti Nirwono Yoga menyebut rencana penataan kawasan sekitar itu “menguap begitu saja” sampai akhirnya memakan korban jiwa pada Jumat lalu. Nirwono meminta pemerintah benar-benar mewujudkan rencana penataan ulang wilayah tersebut dan menetapkan zona penyangga selebar 500 meter di sekitar depo.

Selama puluhan tahun, lahan di kawasan sekitar Depo Plumpang, yang juga dikenal sebagai Kampung Tanah Merah ini, masih bersengketa terlepas dari lokasinya yang begitu dekat dengan objek vital berisiko tinggi. Menurut pakar tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, sengketa yang belum terurai itulah yang menyebabkan rencana penataan pasca-kebakaran 2009 lalu mandek.

Depo Plumpang sendiri telah beroperasi sejak 1974. Namun menurut Yayat, muncul tumpang tindih klaim hak kepemilikan lahan di sekitarnya antara Pertamina, badan usaha lain, dan masyarakat. PT Pertamina mengklaim lahan di sekitar depo tersebut sebagai milik mereka, namun Yayat menyebut kepemilikan itu tidak bisa dibuktikan. Pertamina sempat membebaskan lahan itu pada 1992, namun warga menggugat upaya itu dan memenangkan gugatan di pengadilan.

Keberadaan depo kemudian memancing kedatangan para pekerja dan penunjangnya seperti warung makan, kontrakan, dan pasar. “Perlahan tapi pasti, itu membentuk permukiman ilegal dan legal yang memadati area sekitar, terutama pada 1985-1998 dan 2000-an sampai sekarang,” jelas Nirwono. Hal itu, sambung dia, dibiarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, bahkan “diputihkan, diakui, dilegalkan” dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) DKI Jakarta.

“Sesuatu yang ilegal itu akhirnya menjadi legal karena ada proses administratif dan proses politik yang mau tidak mau mengakui keberadaan mereka [warga],” kata Yayat Supriyatna. Pergantian gubernur dan janji-janji politiknya juga turut ambil bagian dalam perjalanan panjang kawasan ini, tambahnya.

Catatan pemberitaan sejumlah media menunjukkan bahwa Presiden Joko Widodo, ketika mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2012 pernah berjanji memberi KTP kepada warga di Tanah Merah. Pada 2013, pemerintah pun menerbitkan lebih dari 1.000 KTP dan ratusan kartu keluarga untuk warga.

Empat tahun kemudian, Anies Baswedan meneken kontrak politik untuk melegalkan kepemilikan tanah di Tanah Merah. Anies lalu menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) kawasan yang bersifat sementara kepada warga Kampung Tanah Merah pada Oktober 2021 sebagai “jalan tengah” atas status legal lahan tersebut yang belum tuntas. Atas dasar penerbitan IMB kawasan itu, Lurah Rawa Badak Selatan, Suhaena pun mengatakan bahwa bangunan warga di lahan tersebut “legal”.

Yayat Supriatna mengatakan opsi yang lebih “masuk akal” adalah merelokasi penduduk ke hunian yang layak dan lebih aman, seperti rumah susun. Apalagi, Pemprov DKI dia sebut telah berpengalaman menangani relokasi warga.

Sementara itu, Nirwono Yoga menyarankan pemerintah untuk membebaskan zona penyangga selebar 500 meter antara depo dengan permukiman warga. Zona penyangga itu bisa berupa zona air untuk mengurangi risiko ketika terjadi kebakaran. Menurut dia, opsi itu lebih memungkinkan dibandingkan memindahkan depo yang memakan biaya sangat tinggi.

Namun pendapat berbeda disampaikan oleh pakar energi UGM, Fahmy Rhadi, yang menilai Depo Pertamina yang lebih baik dipindahkan ke kawasan Tanjung Priuk. “Kalau yang dipindah warganya ongkos sosialnya kan jauh lebih besar, akan timbul keresahan sosial. Tapi kalau memindahkan deponya maka keputusannya bisa lebih cepat,” kata Fahmy.

Sementara penataan wilayah dirumuskan, Fahmy mengingatkan Pertamina untuk berbenah dan mengevaluasi standar keamanan mereka. Kebakaran yang berulang kali terjadi di fasilitas milik Pertamina, baik di Depo Plumpang maupun kilang minyak lainnya, membuktikan bahwa standar keamanan Pertamina “jauh dari ideal”. 

“Dengan kejadian yang beruntun berarti sistem keamanan mereka itu jauh di bawah standar internasional, karena kalau standar internasional seharusnya zero accident [nihil kecelakaan],” kata Fahmy. Namun selama ini, dia menilai evaluasi pasca-kebakaran “tidak transparan”. 

Di Depo Plumpang saja, kebakaran telah terjadi dua kali. Kemudian di kilang Cilacap telah terjadi tujuh kali kebakaran sejak 1995, yang mayoritas penyebabnya diklaim karena faktor alam. Kilang minyak di Balongan pernah pernah berulang kali terbakar yakni pada 2007, 2019, dan 2021. “Beberapa kali kebakaran di kilang minyak misalnya diserahkan penyidikannya ke kepolisian, lalu disimpulkan kena petir, dan faktanya kebakaran terjadi lagi,” tutur Fahmy.

Dalam Islam, keselamatan rakyat adalah hal utama. Dan penguasa adalah pihak yang diberi tanggung jawab untuk menjaga keselamatan rakyat. Maka penguasa akan tepat dan teliti dalam merencanakan penataan wilayah dan peruntukannya. Sebagaimana saat akan membangun.  

Demikian pula negara dalam Islam akan memperhatikan dan menata wilayah untuk pemukiman warga, dengan berbagai kebijakan atas tanah seperti kebijakan atas tanah mati, tanah yang selama 3 tahun tidak dikelola dan lainnya.

Pemetaan wilayah dan tata ruang kota di suatu negara tentu tidak semestinya hanya berfokus pada kawasan industri dan permukiman. Ada kawasan-kawasan yang juga harus diperhatikan fungsi ekologisnya sehingga musibah kecelakaan maupun bencana alam beserta dampaknya bisa diminimalkan.

Akan tetapi, motivasi terbesar dalam pengelolaan tata ruang dan wilayah tentu harus dilandasi pijakan sahih sehingga tidak membabi buta sekadar bertumpu pada kepentingan kapitalis pengembang. Namun, inilah yang justru terjadi dalam penggarapan lahan-lahan di Jakarta. Ini pula salah satu dalih yang menguatkan kepentingan untuk pindah ibu kota ke Kalimantan Timur. Padahal, permasalahan utamanya terletak pada buruknya tata ruang dan kota yang selain meminggirkan fungsi ekologis, juga sangat mengabaikan keselamatan warga.

Di titik inilah pentingnya aspek ideologis untuk menjadi arah pandang dalam pembangunan infrastruktur dan perencanaan tata ruang/kota. Kapitalisme jelas mandul solusi karena jumlah artefak kapitalisasi di Jakarta sudah lebih dari cukup untuk kita saksikan. Sungguh, hendaklah kita berkiblat pada penerapan ideologi Islam dalam rangka merencanakan tata ruang/kota, yakni sebagaimana Khilafah berhasil memvisualisasikan peradaban gemilang selama 13 abad dengan beragam bangunan peninggalan yang mampu berfungsi hingga jangka panjang.

Kawasan permukiman menurut Islam harus layak sebagai wujud pemenuhan kebutuhan primer manusia. Keselamatan warga harus menjadi target utama penguasa dalam penyelenggaraan suatu pemukiman.

Keberadaan pemukiman tidak semestinya berdekatan dengan kawasan-kawasan industri, pabrik, maupun pertambangan. Sebaliknya, pemukiman sebaiknya berdekatan dengan kawasan peribadatan, pendidikan, ekonomi masyarakat, dan pusat-pusat pemerintahan, baik di pusat maupun perdesaan. Di samping itu, kondisi ini membutuhkan sistem infrastruktur dan transportasi yang memadai, bukan yang pembangunannya hanya demi gengsi dan reputasi.

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain. Barang siapa membahayakan orang lain, maka Allah akan membalas bahaya kepadanya dan barang siapa menyusahkan atau menyulitkan orang lain, maka Allah akan menyulitkannya.” (HR Al-Hakim dan Baihaqi).

Jelas sudah, tragedi Depo Plumpang adalah wujud abainya penguasa terkait pemukiman yang aman dan jaminan keselamatan penghuninya. Tragedi itu juga ibarat “bom waktu” atas buruknya perencanaan suatu kawasan, sekaligus menegaskan kentalnya kepentingan para pemilik modal dalam pembangunan tata ruang/kota. 

Plumpang hanya secuil objek kapitalisasi. Jangan sampai ada wilayah lain yang pembangunannya sesat dan nihil keselamatan bagi masyarakat di sekitarnya. Wallahua’lam bissawab.

Posting Komentar untuk "Kebakaran Berulang di Depo Pertamina Plumpang, Akibat Tata Kelola Yang Timpang"