Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Marketplace Guru, Urgensikah di Tengah Rendahnya Kualitas Pendidikan?





Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP) 


Mendikbudristek, Nadiem Makarim membuat terobosan baru Program Markerplace guru. Menurutnya, Marketplace guru akan menjembatani antara sekolah dengan guru. Sekolah-sekolah yang membutuhkan guru tertentu tinggal mengakses data base guru sesuai kebutuhannya. Dikatakan Nadiem, program ini merupakan solusi bagi pemerataan guru di dunia pendidikan di Indonesia.

Program marketplace guru sekilas memudahkan dalam distribusi guru, terutama guru honorer. Pemerintah sendiri ingin menuntaskan sejuta guru honorer untuk segera bisa menjadi ASN. Melalui marketplace guru akan bisa dengan mudah mendeteksi guru yang sudah memenuhi persyaratan. Ada 2 syarat untuk bisa mendaftar di marketplace guru yaitu guru honorer yang sudah masuk seleksi ASN dan guru yang telah menyelesaikan PPG.

Kalau kita mencermati program Marketplace guru, terdapat beberapa catatan kritis yang bisa kami kemukakan seperti berikut ini. 

Pertama, Dari aspek distribusi guru juga terdapat kepincangan. Jika guru dimasukkan ke dalam marketplace guru, tentunya sekolah akan memilih guru-guru yang aksesnya ke sekolah lebih mudah. Mengingat pembelajaran di sekolah sifatnya offline atau tatap muka. Ini tentunya berbeda dengan bimbel online seperti platform ruangguru. Tentor ruangguru memberikan bimbingannya secara online. Artinya tidak ada kendala bila seorang tentor harus diakses oleh siswa bimbelnya yang berada di luar pulau.

Sedangkan bagi seorang guru tentunya menjadi kendala tersendiri bila dipilih oleh sekolah yang jauh. Artinya akan terdapat kepincangan distribusi guru antara satu daerah dengan daerah lainnya. Jadi program marketplace guru bila disebut-sebut menjadi solusi pemerataan distribusi guru secara nasional, juga tidak relevan.

Kedua, persoalan kesejahteraan guru. Seharusnya pemerintah konsisten untuk segera menjadikan guru honorer sebagai ASN. Masih banyak guru honorer yang kesejahteraannya mengenaskan. Guru honorer SD bergaji sekitar Rp 300 ribu per bulan. Bahkan di daerah-daerah terpencil, guru ada yang bergaji Rp 100 ribu per 3 bulan. Ini adalah kondisi yang mengenaskan. 

Sebenarnya tatkala negara menjamin kesejahteraan para guru dengan baik, tentunya pemerataan guru di seluruh pelosok nasional tidak akan menemukan kendala. Persoalan ikutan yang muncul adalah apakah negara akan mampu memberikan jaminan kesejahteraan bagi semua guru di negeri ini? 

Bila sistem ekonomi liberal Kapitalisme yang diterapkan, tentunya negara tidak akan memiliki dana yang memadai untuk memajukan pendidikan nasional, termasuk memberi kesejahteraan kepada semua guru. Betapa tidak. Kekayaan alam negeri ini telah dikangkangi oleh swasta asing dan domestik. Sementara itu negara hanya mendapat royalti. Adapun guna menutup kekurangan dana, negara memungut pajak dari rakyat. Di samping itu kecilnya anggaran pendidikan di dalam APBN menunjukkan rendahnya perhatian negara terhadap pendidikan.

Ketiga, profesi guru itu berbeda dengan profesi jasa lainnya. Guru itu tidak hanya mentransfer ilmu kepada siswa. Ia juga mentransfer sikap, perilaku dan memberi tauladan kepada para siswanya. Jadi tidak bisa disamakan antara seorang guru dengan dokter misalnya. Atau seorang guru dengan konsultan misalnya. 

Oleh karena itu, program marketplace guru telah menurunkan marwah seorang guru dan pendidik. Siswa atau sekolah bisa bebas memilih guru karena merasa mereka yang mengontrak guru tersebut. Jika demikian adanya, siswa dan sekolah akan memandang dengan rasa kurang menghormati seorang guru. Pada saat demikian tentu saja keberkahan ilmu dari guru sudah hilang.

Keempat, persoalan pendidikan tidak hanya masalah distribusi guru yang tidak merata. Ada persoalan kesejahteraan guru, dekadensi moral pelajar, gaul bebas remaja dan lain sebagainya. Maka program marketplace guru tidak akan mampu memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia.

Akar persoalan buruknya kualitas pendidikan di Indonesia terletak pada asas dan tujuan pendidikan yang digariskan. Bila asasnya sekuler dan tujuan pendidikannya bernuansa materialistik, tentunya akan dihasilkan sosok-sosok peserta didik yang liberal, dan kalaupun sholeh, maka sholeh sekuler. Kualitas gurunya mumpuni sekalipun tetap tidak akan mampu mengangkat dunia pendidikan menjadi luhur.

Walhasil guna menyelesaikan seluruh problem pendidikan maka asas pendidikan haruslah aqidah Islam. Aqidah Islam yang merupakan aqidah yang aianut oleh mayoritas penduduk negeri ini akan mampu melahirkan disiplin murni agar mereka sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Di samping itu, Aqidah Islam telah menentukan tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian yang islami. Pola pikir dan kejiawaan peserta didik didasarkan kepada Islam. Selanjutnya pembekalan ilmu-ilmu kehidupan dan keterampilan digunakan sebagai penunjang tugas utama mereka sebagai pengelola bumi menurut aturan Allah, penciptanya.

Dengan begitu, maka persoalan turunan yang lain akan bisa diselesaikan. Guru dan pendidik adalah sosok-sosok yang alim, berwibawa dan bertaqwa. Dengan sosok guru sedemikian akan bisa diharapkan terbentuknya generasi yang bertaqwa. Begitu pula terkait kesejahteraan guru akan mampu diselesaikan dengan sistem ekonomi Islam. Masalah teknis seperti kurikulum, kelengkapan sarana prasarana pendidikan dan lainnya akan bisa diselesaikan dengan baik. 


#03 Juni 2023 

Posting Komentar untuk "Marketplace Guru, Urgensikah di Tengah Rendahnya Kualitas Pendidikan? "

close