Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sekularisasi Pendidikan dan Jalan Kesuksesan


Bukan rahasia lagi bagi siapa pun terkait keadaan yang menyelimuti para pemuda kita hari ini sebagai akibat dari campur tangan negara-negara agresor dan penetrasi ide-ide beracun mereka yang bekerja keras untuk menjauhkan mereka dari agamanya dan menghilangkan identitas Islamnya, sehingga memudahkan mereka untuk berasimilasi setelah mereka berhasil meruntuhkan negaranya, melenyapkan peradabannya, dan melemahkan pemahaman agamanya. Di antara ide-ide yang merusak itu – meskipun segala sesuatu yang berasal darinya merusak – adalah sekularisasi lingkaran pendidikan dan pengajaran dengan memasukkan konsep-konsep yang luarnya madu namun dalamnya racun!

Sekularisme diajarkan kepada anak-anak kita dan dipromosikan oleh para pejabat antek, dengan dalih mengikuti perkembangan dan sekularisasi, serta untuk berkontribusi pada kemajuan bangsa dan bergabung dengan barisan penguasa Barat mereka. Sementara itu, sekularisme adalah terjemahan dari istilah beracun Barat “irreligiousness, al-lādīniyyah”, yang jelas berarti pemisahan agama dari kehidupan, yakni menjauhkan agama Islam mereka dari semua urusan kehidupannya, juga dari negara, masyarakat, hukum, dan konstitusi, serta apa saja yang terkait dengannya, seperti pendidikan, media, dan sektor publik lainnya, dengan sama sekali mengabaikan ayat-ayat Allah!

Allah SWT. berfirman:

﴿الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِيناً﴾

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (TQS. Al-Māidah [5] : 3).

Dan firman-Nya:

﴿إنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيماً﴾

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (TQS. An-Nisā’ [4] : 105).

Ini adalah beberapa ayat Allah yang jelas dan tegas, yang menetapkan perlunya berpegang teguh pada agama kita, bertindak berdasarkan apa yang bawanya, dan menerapkannya dalam semua aspek kehidupan, bukan sebaliknya!

Sungguh, kurikulum pendidikan dan media sejak era kolonial telah dijadikan sarana utama untuk upaya membiasakan anak-anak kita dengan hal-hal yang haram dan menjalankan kehidupan tanpa pengawasan sejak masa kanak-kanak! Padahal “belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu,” begitulah pepatah Arab kuno mengatakan. Jadi, bukannnya anak-anak dibiasakan dengan Islam, justru dibiasakan sekularisme. Dengan begitu, mereka telah mengubah budaya anak-anak kita, dan membentuk kepribadian mereka menurut budaya Barat, serta mencontoh kepribadian Barat.

Artinya apa yang kita lihat hari ini, yaitu hilangnya intelektual dan kosongnya spiritual dalam diri anak-anak muda kita, serta berbagai fenomena kerusakan dan pengrusakan, seperti masuknya berbagai jenis narkoba di lembaga pendidikan, serta penyebaran kekerasan dan kata-kata cabul dalam program-program media yang ditujukan kepada keluarga … semua ini dan lebih banyak lagi disebabkan oleh penerapan konvensi internasional, serta pembentukan sistem dan undang-undang berdasarkan sekularisme, sehingga berakibat pada disingkirkannya al-Qur’an dan as-Sunnah dari roda kehidupan seorang Muslim.

Pertanyaannya di sini adalah, bagaimana mungkin seorang Muslim yang menganut akidah lā ilāha illallāh bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, namun dia berhukum pada selain hukum Allah, dan mencari solusi untuk berbagai masalahnya dari mereka yang masih menggelepar dalam kekacauan akibat ketidakadilan sistemnya, dan dari mereka yang tidak menemukan solusi untuk masalahnya sendiri, sehingga yang terjadi justru mereka mengekspor kesengsaraannya kepada kita?!

Bagaimana mungkin kita berpaling dari firman Allah SWT.:

﴿مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ﴾

“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab.” (TQS. Al-An’ām [6] : 38).

Islam memberikan solusi untuk berbagai masalah manusia sebagai manusia, baik tua maupun muda, laki-laki atau perempuan. Untuk itu, Islam menetapkan aturan-aturan hukum yang melindungi diri manusia dan hubungannya dengan yang lain. Islam sangat memperhatikan anak-anak dan menjaganya, mulai sebelum mereka lahir, sampai mereka dewasa, bahkan sampai mereka tua. Islam melindungi mereka dengan ayat-ayat bijak yang memberi kedua orang tua mereka hak atas mereka, bahkan sebelum mereka lahir, serta mendorong kedua orang tua untuk merawat mereka dan bersikap baik kepada mereka, semua itu sebelum mewajibkan anak-anak untuk menghormati dan berbakti pada kedua orang tuanya. Rasulullah saw. bersabda:

«وَبِرُّوا آبَاءَكُمْ تَبَرَّكُمْ أَبْنَاؤُكُمْ»

“Berbaktilah kepada orang tua-orang tua kalian, maka anak-anak kalian akan berbakti kepada kalian.” (HR. ath-Thabrani).

Diriwayatkan dari Umar ra. bahwa seorang lelaki datang kepadanya bersama anaknya. Lelaki itu berkata, “Sesungguhnya anakku ini telah mendurhakaiku.” Umar ra. berkata kepada anak dari lelaki itu, “Tidakkah kau merasa takut kepada Allah atas kedurhakaanmu kepada ayahmu? Sesungguhnya seorang ayah itu memiliki hak ini dan itu dari anaknya.” Si anak berkata, “Wahai Amir al-Mu’minin, apakah seorang anak memiliki hak yang harus dipenuhi oleh ayahnya?” Umar ra. berkata, “Tentu saja. Hak anak dari ayahnya adalah dipilihkan bakal ibu yang mulia baginya, yakni janganlah si ayah itu menikahi perempuan yang buruk perangai dan agamanya supaya tidak menjadi cela bagi anaknya. Si anak juga memiliki hak untuk dinamai dengan nama yang baik serta diajarkan pula al-Quran.” Si anak berkata, “Demi Allah, tak seharusnya menjadikan cela bagi anak. Demi Allah, tidaklah ayah memilihkanku ibu yang mulia. Ibuku hanyalah seorang budak Sindiyah yang dibelinya seharga empat ratus dirham. Tidak pula ayahku menamaiku dengan nama yang baik. Ayah telah menamaiku dengan nama Ju’lan, yakni al-khuffasy (kelelawar). Ayahku juga tidak mengajarkan satu ayat pun dari al-Quran kepadaku.” Maka Umar ra. berpaling kepada si ayah seraya mengatakan, “Kaubilang anakmu durhaka kepadamu, padahal sungguh kau telah lebih dulu mendurhakai anakmu sebelum dia mendurhakaimu!”

Pendidikan merupakan tanggung jawab besar di pundak orang tua, bahkan hal ini dijelaskan oleh syariah yang penuh belas kasih, dan ditekankan lagi melalui firman Allah SWT.:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ﴾

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (TQS. At-Tahrīm [66] : 6).

Rasulullah saw. bersabda:

«إِنَّ اللهَ تَعَالَى سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ، أَحَفِظَ ذَلِكَ أَمْ ضَيَّعَهُ، حَتَّى يَسْأَلَ الرَّجُلَ عَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ»

“Sesungguhnya Allah SWT. akan meminta pertanggung jawaban kepada setiap pemimpin atas apa yang dipimpinnya, apakah ia menjaga kepemimpinannya atau melalaikannya, sehingga seorang laki-laki ditanya tentang anggota keluarganya.” (HR. an-Nasa’i).

Dan juga sabdanya:

«كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْماً أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ»

“Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Ahmad).

Hal itu karena pentingnya masalah kemakmuran bangsa dan peradabannya. Ini adalah jalan yang mengarah pada pembangunan pikiran, memurnikan jiwa, mengembangkan akal, dan memajukan kecenderungan. Al-Qur’an yang agung adalah salah satu yang menghasilkan bagi kita generasi yang kuat dan tangguh, pemuda yang hebat, dan pemimpin yang luar biasa, di antara mereka ini kita tidak mendengar adanya gejolak psikologis, gangguan perilaku, atau ketidakseimbangan intelektual … sebagaimana yang disebutkan oleh Allah SWT. dalam firman-Nya:

﴿مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَاناً سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً﴾

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (TQS. Al-Fath [48] : 29).

Jadi, Islam memiliki caranya sendiri dalam mendidik anak, membimbing dan mencerahkan generasi muda. Islam telah menjadikan mereka prioritas, tidak meninggalkan mereka untuk diri mereka sendiri atau didominasi orang tua mereka, melainkan mengelilingi mereka semua dengan pagar aturan dan moral yang kuat, sehingga mereka semua tetap terlindungi dari penyalahgunaan dan pengkhianatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, agar mereka semua tumbuh menjadi orang yang saleh dan bertakwa kepada Allah SWT., serta bekerja sama dan saling berlomba dalam ketaatan kepada-Nya.

Dan yang terpenting dalam hukum syariah adalah bahwa tanggung jawab tidak hanya dipikul oleh orang tua atau pendidik saja, seperti yang terjadi saat ini, sehingga jari-jari ditudingkan pada kelalaian ibu dan pengkhianatan ayah tanpa mengetahui penyebab krisisnya dan yang membuatnya menjadi tidak berguna! Bahkan, hukum syariah telah membuat ketentuan khusus untuk negara, yang mewajibkannya untuk merawat anak-anak, mengintervensi pendidikan mereka, dan menyediakan lingkungan yang sesuai untuk menjaga mereka. Oleh karena itu, negara memiliki tanggung jawab terhadap pendidikan anak dengan konsep kepengasuhan yang komprehensif. Jadi, kepengasuhan itu adalah pengawasan, perhatian, dan pelestarian, serta mengurusi dan mengatur segala sesuatu yang termasuk di dalamnya!

Kita cukup dengan menyoroti, misalnya dalam masalah penentuan umur anak, agar kita menyadari pentingnya peran negara dan peraturan perundang-undangannya dalam membangun kepribadian anak. Dalam sistem sekuler, usia anak ditentukan dalam Konvensi Hak Anak, yaitu 18 tahun, meski dia sudah baligh (pubertas), berakal dan dewasa, bahkan telah mampu mengemudi. Sedangkan Islam kita yang agung menentukan usia dari lahir sampai pubertas, sebagaimana firman-Nya:

﴿وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا نَشَاء إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلاً ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ﴾

“Dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan.” (TQS. Al-Hajj [22] : 5).

Dan firman-Nya:

﴿وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ﴾

“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.” (TQS. An-Nūr [24] : 59).

Ini berarti bahwa sampai usia pubertas, anak tersebut diperlakukan sebagai anak kecil yang tidak dibebani dengan hukum-hukum syariah, dicukupkan dengan kepengasuhan yang benar dan tepat, serta diciptakannya lingkungan yang baik di mana tidak ada kontradiksi antara di dalam dan di luar rumah!

Lembaga pendidikan dan penerangan dalam syariat Islam, bahwa keduanya didirikan untuk melayani dan menjaga agama umat, yang di antaranya adalah untuk pendidikan … maka hak anak atas pendidikan adalah agar dia tumbuh dalam Islam, dibesarkan dengan akidah, dan mempelajari hukum-hukum Islam, bukan malah mempelajari bahasa asing dan ajaran yang terisolasi dari kehidupan, serta kehilangan semua komponen kekuatannya!

Menciptakan kepribadian Islami yang terpadu, dan membangun konsep anak tentang Penciptanya, selanjutnya memperkuat pelindung akidah di hati anak-anak, maka itulah yang membuat mereka siap untuk beribadah kepada Allah SWT. dan menerapkan hukum-hukum-Nya, termasuk berbakti kepada orang tua, sehingga bahagia di dunia, dan sukses di akhirat.

Memanfaatkan semua lembaga negara untuk mempertahankan konsep pendidikan dan pengabdiannya dalam masyarakat juga merupakan pekerjaan negara, bahkan penguasa dilarang dan dihukum jika melanggar, mencegah, atau menyerukan sesuatu yang mengganggu ketertiban kehidupan Islam dan keselamatan anak-anak. Media dengan beragam sarananya didirikan dengan tujuan utama untuk mempersiapkan anak-anak agar menjadi elemen yang berguna dalam membangun masyarakatnya dengan menanamkan akidah Islam, menyebarkannya, dan membekali anak-anak dengan nilai-nilai dan cita-cita luhur, serta membekalinya dengan ilmu dan keterampilan yang bermanfaat untuk lebih mengembangkan kemampuannya, sehingga berkontribusi dalam membangun dan mengembangkan negara Islamnya, baik secara ekonomi, militer, politik dan keilmuan.

Kami menulis tentang konsep pendidikan dalam Islam, namun kami semua berduka dan bersedih dengan keadaan kami hari ini, yang mengharuskan kami mencabut sistem yang korup dan menggantinya, untuk mengubah misi pengajaran dan pendidikan, agar kami bangkit kembali ke puncak kemuliaan, dan memimpin seluruh umat manusia dengan para ulama dan pemimpin yang usianya belum mencapai delapan belas tahun! [] Zainab el-Djebbi

Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 3/6/2023.

Posting Komentar untuk "Sekularisasi Pendidikan dan Jalan Kesuksesan"

close