Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Road to 2024 (24): Agama Kok Jadi Masalah di Pemilu Indonesia?





Oleh: Hanif Kristianto (Analis Politik-Media)


  Pernah mendengar ungkapan jangan pakai agama untuk kepentingan politik? Sebaliknya tak perlu membawa politik identitas dalam pentas pemilu di Indonesia. Indonesia yang sejatinya republik tak ingin disebut negara tanpa agama. Lebih pada urusan agama dipandang urusan pribadi antara manusia dengan Tuhannya. Kalau ini dipandang dari sisi ritual memang benar, tapi ini berbeda dengan konsep agama Islam. Islam tak hanya mengurusi ritual, tapi juga aspek sosial dan tatanan kehidupan. Inilah keunikan Islam dibanding agama dan ideologi lainnya.

  Tak mengherankan jika selama liberalisasi politik demokrasi di Indonesia, agama dianggap sebagai penghalang. Bahkan ada unsur kesengajaan untuk memisahkan agama dari politik. Tempat ibadah diawasai untuk tidak membicarakan politik. Penceramah dikumpulkan dan disertifikasi agar sejalan dengan kepentingan penguasa. Sebaliknya, politisi demokrasi menghias diri untuk bisa diterima kalangan beragama. Sebuah diorama yang terkadang unik dan menggemaskan.

  Indonesia memang bukan negara agama. Hanya identitas keagamaan begitu kental di Indonesia. Tak mengherankan siapapun dan dari agama apapun akan mendekat kepada rohaniawan yang memiliki umat. Tujuannya jelas untuk meraup suara dan dukungan untuk menang. Jika mengamati agama yang ada di Indonesia, hanya Islam yang memiliki konsep politik yang jelas. Karenanya, Islam sering dijadikan sasaran tembak dan tudingan seolah bikin rusuh dalam pemilu.

Agama Masalah?

 Paradigma menjadikan agama sebagai sumber masalah jelas salah. Sebab tiap manusia memiliki naluri beragama. Manifestasi untuk mengultuskan yang disembah serta bentuk pengagungan dari hamba yang lemah. Manusia tidak bisa berlepas dari kebutuhan terhadap Tuhan. Terlebih di dalam Islam, Allah yang lebih tahu kebutuhan makhluknya. Karenanya Allah membekali manusia dengan Syariah yang terkandung dalam al-quran, serta terdapat risalah kenabian dari as-sunnah. Itulah mengapa gagasan meniadakan Tuhan dan agama jelas bertentangan dengan fitrah manusia dan tidak menentramkan jiwa.

  Menjadikan agama sebagai masalah dalam pemilu Indonesia bukan kali ini saja. Hal ini dipicu oleh sebuah gerakan menolak pemimpin kafir. Penggunaan istilah politik identitas dialamatkan kepada Islam. Kemudian muncul penyebutan ‘cebong dan kampret’. Alhasil polarisasi antar anak bangsa tak terelakkan. Kondisi ini dijadikan alasan seolah agama memecah belah dalam politik. Padahal, egoisme dan keliberalan sistem politik demokrasilah pemicu semuanya.

  Berikut beberapa analisis kenapa agama kerap dijadikan pesakitan dan masalah dalam politik demokrasi di Indonesia:

Pertama, pemikiran sekularisme akut yang telah merasuk di kalangan politisi dan pejabat. Hal ini sering ditandai dengan ungkapan “jangan politisasi agama”, “agama harus dipisah dari politik”, “agama itu suci dan politik itu kotor”. Hal yang lebih mengherankan ialah mengawasi dan membatasi sarana ibadah dengan perbincangan politik. Tanpa melihat bahasan politik seperti apa yang boleh dikaji di sarana ibadah.

Tampaknya, hanya Islam yang memiliki sistem politik. Politik yang berarti mengurusi urusan rakyat dan menjaga agama. Serta mengajak partisipasi aktif umatnya dalam amar ma’ruf nahi munkar. Wajar jika penguasa itu dikoreksi dan dikritisi. Sebab tanggung jawabnya besar untuK memberikan pelayanan publik.

Kedua, dualisme sikap politisi dan pejabat. Satu sisi ketika ingin menjabat di kursi kekuasaan, kalangan agamawan dengan umatnya didekati. Outfitnya pun mengikuti dengan jilbab dan peci. Janji manis dengan balutan dalil pun dipoles manis. Seolah tanpa ada masalah agama dalam pendekatan komunikasi politik mendulang suara. Sisi lainnya, agar diterima di kelompok lain seolah ingin arif dan bijaksana dengan melontarkan ‘yang mayoritas tidak boleh merasa benar sendiri karena ini negara bersama’.

Pendekatan berbasis keagamaan untuk kepentingan jabatan kerap disayangkan. Namun demokrasi tidak mengenal pantas atau tidak pantas. Demokrasi membebaskan semuanya dengan catatan tidak mengganggu dan merubah asasnya yaitu sekularisme dan liberalisme.

Ketiga, salah memahami esensi agama. Bayangkan jika manusia hidup di dunia tanpa aturan agama (syariah), kekacauan yang didapat. Karena manusia kerap menuruti hawa nafsunya. Agama bisa menjadi panduan untuk mengatur dan mengelola dunia dengan baik. Tidak semaunya sendiri.

Pemahaman yang utuh terkait agama sebagai solusi perlu dikaji lebih dalam. Dalam agama dikenal konsep iman, pahala, dosa, dan balasan di akhirat. Ragam persoalan yang menimpa neger ini seperti—korupsi yang membudaya, pemimpin yang tidak kompeten, penjualan aset berharga, dan oligarki politik-ekonomi—tak akan selesai dengan pikiran manusia. Karena ada 3 hal penting untuk mengurai dan memberi solusi itu, antara lain ketakwaan individu, amar ma’ruf nahi munkar dari lingkungan, serta penerapan syariah kaffah oleh negara. Jadi fokusnya pada manusia dan sistem.

Keempat, kebencian kepada Islam dengan pemikiran liberalnya. Sistem politik demokrasi membentengi diri dari aturan syariah agar tidak masuk dalam aturan. Kalaupun masuk itupun pada aspek ritual yang menguntungkan, seperti zakat, haji, dan dana umat. Selebihnya terkait hukum kenegaraan dan memberantas kriminalitas ditolak mentah-mentah.

Ketakutan lainnya dengan khilafah yang dianggap sebagai rival politik dari demokrasi. Maka ketika diterapkan khilafah, lenyap-lah kekuasaan demokrasi yang selama ini orang-orang jahat telah mendapatkan manfaat dari membohongi rakyat. Ketakutan ini juga berdasar dari mengekornya negara pada ideologi kapitalisme, serta menjadi boneka asing yang mengokohkan penjajahan di negeri ini.

Kelima, mereduksi gairah umat Islam untuk kembali kepada syariah kaffah. Upaya yang dilakukan politisi dan pejabat dengan melarang ceramah politik, sertifikasi penceramah, hingga hembusan isu radikalisme-terorisme di pemilu nanti. Seolah ketika semangat berislam kaffah dianggap jelek dan menjadikan umat minder. Padahal esensi dari kembali kepada Islam adalah fitrah yang tidak bisa direduksi.

Keinginan umat kembali kepada syariah kaffah adalah kegagalan ideologi kapitalisme yang rusak dan merusak. Demokrasi yang berasal dari ideologi kapitalisme kerap diekspor dengan peperangan dan menyingkirkan peranan syariah Islam. Fakta kerusakannya pun kini dirasakan umat. Tinggal umat mau berfikir untuk mencari pengganti dari ideologi kapitalisme. Berharap pada sosialisme-komunisme jelas bukan jalan perubahan, malah menjatuhkan diri ke lubang neraka peradaban.

  Jika agama terus dianggap masalah, maka tidak ada itikad baik dari politisi untuk mengurai persoalan bangsa. Sebaliknya gagasan perubahan demi Indonesia berkemajuan akan mundur ke belakang dan salah arah.

Menengok Agama Solusi Nyata

  Rakyat Indonesia yang mayoritas muslim di tahun-tahun politik harus waspada. Perang istilah dan pemikiran akan menyasar umat. Tujuannya untuk mengelabuhi dan membuat jauh umat (Islam) dari agamanya. Bukankah Allah Yang Maha Baik tidak akan menyalahi janjinya jika manusia kembali kepada syariah. Terbukalah keberkahan dari langit dan bumi untuk rahmat seluruh alam.

  Agama (Islam) dengan syariah lengkap bukanlah masalah. Yang masalah itu cara berpikir manusia. Sebaliknya agama telah memandu cara berpikir manusia bagaimana menemukan jalan keimanan, meyakini syariah solusi kehidupan, serta menjadikan Islam sebagai kepemimpinan berfikir benar.

  Situasi saat ini menjadi pelajaran penting bagi umat untuk mendekat kembali kepada syariah Islam. Politisi itu pandai berjanji tapi belum tentu bisa ditepati. Sedangkan janji Allah itu pasti dan akan terwujud kembali. Berbahagialah dengan Islam yang akan kembali memimpin dunia. Insya Allah. 

Posting Komentar untuk "Road to 2024 (24): Agama Kok Jadi Masalah di Pemilu Indonesia?"

close