Menguji Klaim Otoriter ala Megawati
Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)
Megawati mewanti-wanti "Kenapa yang baru berkuasa, mau bertindak seperti orde baru?". Pernyataan tersebut disampaikannya saat memberi arahan dalam Rakornas Relawan Ganjar-Mahfudz pada Senin, 27 Nopember 2023.
Sepertinya pernyataan Megawati ini sempat menggelisahkan PDI-P. Besoknya, Hasto Kristiyanto, Sekjend PDI-P memberikan klarifikasi. Menurutnya, konteks pernyataan Megawati adalah adanya mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif yang bisa diintervensi oleh kekuasaan. Tentunya melalui rekayasa hukum dari campur tangan paman Gibran. Klarifikasi Hasto ini menggunakan isu yang menjadi keresahan nasional. Artinya ada upaya untuk membaikkan citra PDI-P dengan menunggangi adanya resistensi bangsa dari proses yang tidak wajar atas pencalonan Gibran sebagai cawapresnya Prabowo.
Dengan kata lain bahwa pernyataan Megawati tersebut merupakan ungkapan kekecewaan. Tentu besar harapannya jago resmi PDI-P bisa memenangkan pemilu 2024. Hanya saja yang luput dari perhatian Megawati adalah yang disebutnya otoriter merupakan pemerintahan dari petugas partainya sendiri. Bukankah Presiden Jokowi disebutnya sebagai petugas partai?
Akademisi UI, Sri Lestari Wahyuningrum menyebut bahwa sikap otoriter di Indonesia menggunakan gaya baru. Sebagai contoh, rakyat tidak memiliki kuasa di dalam pemilu. Akan tetapi pemenang dalam kontestasi pemilu sudah ditentukan oleh kelompok tertentu. Kalaupun ada beberapa paslon pemilu, pemenangnya sudah ditentukan. Begitu pula penerbitan UU ITE, UU Ormas dan perppu Ormas, termasuk UU Omnibus Law, semuanya menjadi bentuk otoriter yang berbeda-beda.
Bahkan YLBHI menyebut bahwa selama pemerintahan Presiden Jokowi terdapat 21 kebijakan yang otoriter. Artinya penyelenggaraan pemerintahan negeri ini dijalankan dengan ugal-ugalan. Di antara buktinya adalah kegagalan program nasional food estate. Food Estate itu program untuk mewujudkan ketahanan pangan. Anehnya digawangi oleh kementerian pertahanan, bukan Kementan. Untuk menanam singkong saja, rakyat sudah jagonya.
Semua kebijakan yang dijalankan oleh Jokowi, tidak pernah mendapatkan sorotan negatif Megawati, apalagi menyebut otoriter. Baru sekarang tatkala Gibran bisa lolos menjadi cawapres Prabowo, Megawati berkoar-koar akan otoriter.
Sebenarnya ungkapan Megawati tentang otoriter menunjukkan keotoriterannya sendiri. Beberapa pernyataan Megawati sebelumnya juga otoriter. Misalnya, di saat rakyat menjerit akan mahalnya harga minyak goreng, dengan entengnya Megawati menyatakan keheranannya. Megawati menyarankan agar para ibu memasak dengan merebus.
Megawati juga pernah menyayangkan atas ibu-ibu yang ikut pengajian. Anaknya tidak terurus dan terawat dengan baik. Mirisnya, Megawati sambil menceritakan kemajuannya jadi presiden RI ke-5, termasuk sejumlah jabatan yang diraihnya.
Mundur di era kepemimpinan Megawati sebagai presiden ke-5. Megawati sendiri telah meletakkan dasar keotoriteran dalam pemerintahan. Rizal Ramli menyebutkan bahwa Megawati adalah orang yang menjadikan anggota MPR/DPR berada dalam kewenangan ketua partainya. Artinya ketua partai bisa memecat siapapun wakil rakyat. Hegemoni ketua partai begitu besar. Hal ini terkonfirmasi dari pernyataan Bambang Pacul tentang kewenangan Ketua Partai yang besar dalam rapat dengar pendapat (RDP) tentang skandal 349 trilyun dengan Mahfudz MD.
Bahkan ada 9 ketua umum partai yang dirangkul pemerintah. Dengan demikian sekitar 500 anggota DPR bisa dikondisikan.
Begitu pula di masa pemerintahan Megawati, Indosat dijual ke asing. China di masa pemerintahan Jiang Zhemin telah masuk ke Papua. Megawati menjual gas ke China dengan harga 3 US dollar per million britis Thermal unit. Jadi China bebas mengeksplorasi gas di Papua pada masa Megawati.
Bila sekarang Megawati merasa kecewa dan menyesalkan adanya manuver untuk menjegal paslon resmi PDI-P melalui MK, sebenarnya beliau sendiri yang ikut andil dalam mewariskan jejak-jejak otoritarianisme. Pada Pemilu 2019, ada upaya yang demikian sistematis, terstruktur dan brutal untuk memenangkan Jokowi agar bisa memerintah di periode ke-2. Akhirnya sepiring nasi berdua merupakan fenomena mengkhianati suara khususnya umat Islam di kubu Prabowo. Padahal rakyat harus berdarah-darah dalam memperjuangkan aspirasinya. Megawati hanya diam. Tatkala Puan selaku ketua DPR melakukan aksi mematikan mic anggota DPR yang kritis, lagi-lagi Megawati diam.
Demikianlah pragmatisnya politik dalam sistem Demokrasi Sekuler. Tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan. Sistem Sekuler Demokrasi telah menciptakan para politisi dan penyelenggara negara tidak bisa empati kepada rakyatnya. Gaya kepemimpinannya dalam memerintah tidak jauh dari kata otoriter.
Otoriter Tidak Ada Tempat dalam Islam
Sistem sekuler memang telah menciptakan politik yang otoriter. Halal haram tidak menjadi ukuran. Untung rugi yang menjadi ukuran. Bahkan bila harus menyengsarakan rakyat sendiri demi meraih kepentingannya, akan tetap dilakukan. Ambil contoh, kasus Rempang, termasuk kasus IKN.
Pantaslah Rasulullah Saw sendiri menyebut masa pemerintahan hari ini sebagai mulkan jabariyyah (kekuasaan diktator). Pemerintahan diselenggarakan tanpa memperhatikan rambu-rambu syariat. Hasilnya adalah kedholiman, ketidakadilan dan kesengsaraan.
Islam hanya diambil dari aspek ritual dan ruang privat. Pengaturan urusan publik dikembalikan kepada aturan yanh ditetapkan akal dan hawa nafsu manusia.
Oleh karena agar pemerintahan stabil dan mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan, Islam tidak menggunakan konsep oposisi. Akan tetapi ada kewajiban untuk melakukan muhasabah atau koreksi kepada kekuasaan. Bahkan amanah kepemimpinan akan menjadi kehinaan dan penyesalan di hari kiamat bagi mereka yang menelantarkannya. Tidak menerapkan hukum-hukum Islam sehingga timbul berbagai ketimpangan dan kedholiman. Bukankah Rasulullah Saw sudah menegaskan bahwa bila umat Islam berpegang Teguh kepada Al-Qur'an Sunnah, maka mereka tidak akan tersesat selama-lamanya.
Bila pun ada satu atau beberapa penguasa Islam yang otoriter, maka itu tidak lebih masalah pribadinya sendiri. Misalnya Gubernur Hajaj bin Yusuf yang disebut oleh Imam Hasan al-bashri sebagai jababiroh (penguasa diktator). Ini tidak lebih dari gaya pribadi dan penyimpanannya dari syariat.
Berbeda dengan otoriternya para penguasa dalam sistem sekuler. Asas dan sistem ideologi yang dijalankannya memang membawa karakter otoritarianisme. Sebagai contoh, ideologi Kapitalisme dengan sistem demokrasinya. Metode penyebaran Kapitalisme adalah dengan penjajahan. Yang berbeda adalah pola pendekatan dan gaya kepemimpinannya. Padahal sejatinya adalah untuk menjajah. George Bush, Obama maupun Biden, berbeda dalam pola pendekatan imperialisnya. Akan tetapi sama dalam target penjajahannya. Dalam persoalan Palestina, AS mempunyai garis yang sama yakni mendukung Zionis Israel. Padahal zionis melakukan semua bentuk kejahatan internasional.
Walhasil di dalam Islam, tidak ada batasan waktu bagi sebuah pemerintahan seorang penguasa atau khalifah. Yang membatasinya adalah konsistensinya terhadap pelaksanaan hukum Islam dalam pemerintahannya. Tidak ada manuver untuk memenangkan paslon tertentu. Persoalannya kepemimpinan Islam itu bersumber pada kelayakan syarat in'iqod (syarat pengangkatan) berdasarkan nash dan pilihan umat secara sukarela. Pasalnya kepemimpinan di dalam Islam adalah sebagai pelayan umat. Aqidah Islam dan penerapan hukum syara dalam kehidupan telah membentuk masyarakat yang terdidik jiwa dan akalnya, termasuk masing-masing individu masyarakatnya. []
Posting Komentar untuk "Menguji Klaim Otoriter ala Megawati"