Membongkar Ambisi Global di Balik Konflik Dunia Islam

 



Oleh: Gesang Ginanjar Raharjo

Kita hidup di zaman penuh paradoks, di mana kekuatan besar dunia kerap mengorbankan kebenaran demi mencapai ambisi mereka. Konflik yang berkepanjangan di Gaza, Suriah, dan wilayah-wilayah dunia Islam lainnya hanyalah cerminan dari agenda kolonial yang terus berusaha melemahkan umat Islam.

Di Gaza, Israel kembali mempertontonkan kebrutalan kolonialnya. Setiap hari, rakyat Palestina menjadi sasaran serangan tanpa ampun. Pada 26 Desember 2024, sebuah rumah di kawasan Zaitun dihancurkan oleh bom yang menewaskan 8 orang dan melukai 20 lainnya. Tragedi ini adalah bagian dari kampanye sistematis untuk menghancurkan perlawanan Palestina.

Masjid Al-Aqsa, simbol suci umat Islam, juga terus menjadi target serangan. Dengan dalih perayaan Hanukkah, pemukim ekstremis Yahudi menyerbu masjid dengan perlindungan militer Israel. Upaya untuk mengubah masjid ini menjadi kuil Yahudi semakin jelas, sementara dunia internasional hanya diam seolah memberikan dukungan terselubung.

Di Suriah, Iran menunjukkan peran destruktifnya selama lebih dari satu dekade terakhir. Setelah membantu Bashar al-Assad dalam menumpas rakyatnya sendiri, Iran kini mencoba mempromosikan apa yang mereka sebut sebagai “Inisiatif Rekonsiliasi.” Namun, upaya ini hanyalah bagian dari strategi untuk membersihkan citra mereka.

Kenyataannya, darah jutaan warga Suriah yang tewas dan jutaan lainnya yang terusir menjadi bukti tak terbantahkan atas peran Iran dalam kehancuran negeri itu. Kota-kota yang hancur dan generasi muda yang kehilangan masa depan adalah warisan gelap dari konflik ini.

Di sisi lain, Amerika Serikat memainkan peran ganda yang licik di kawasan ini. Mereka mendukung Pasukan Demokratik Suriah (SDF), yang didominasi oleh separatis Kurdi, sekaligus memanfaatkan konflik untuk mempertahankan pengaruh geopolitik mereka.

Melalui dukungan militer, SDF melancarkan serangan terhadap desa-desa sekitar Manbij untuk mengamankan kembali wilayah strategis. Namun, sejarah menunjukkan bahwa Amerika sering meninggalkan sekutunya begitu mereka tidak lagi dibutuhkan.

Turki, sebagai tetangga Suriah, dengan tegas menolak segala bentuk otonomi Kurdi di perbatasannya. Kekhawatiran Turki tidak lepas dari potensi penyebaran ide separatis yang dapat mengancam stabilitas internalnya.

Proyek Amerika untuk menciptakan wilayah otonom Kurdi, seperti yang terjadi di Irak, hanya menambah ketegangan di kawasan. Rencana ini berpotensi mengganggu keseimbangan geopolitik dan memperburuk konflik.

Di tengah situasi ini, PBB kembali menunjukkan kelemahannya. Geir Pedersen, utusan khusus PBB untuk Suriah, tampaknya lebih condong mendukung agenda Amerika ketimbang menjadi mediator independen. Seruannya untuk solusi politik tidak mencerminkan kepentingan rakyat Suriah yang sebenarnya.

Konflik tidak hanya terjadi di dunia Islam. Di Amerika Latin, Panama menjadi sasaran tekanan AS. Ancaman Donald Trump untuk mengambil alih Terusan Panama mencerminkan ambisi Amerika untuk terus mendominasi ekonomi dunia.

Terusan Panama, yang dikelola dengan baik oleh pemerintah Panama, menjadi simbol keberhasilan negara kecil ini dalam menjaga kedaulatannya. Namun, Trump memandang terusan ini sebagai alat untuk memperkuat dominasi ekonomi AS.

Pernyataan Trump ini mengingatkan dunia pada sejarah panjang intervensi Amerika di kawasan Amerika Latin. Dari Chili hingga Panama, negara-negara kecil sering dipaksa tunduk pada kehendak Washington.

Konflik di Gaza, Suriah, dan Panama menunjukkan pola yang sama: kekuatan besar memanfaatkan propaganda, manipulasi politik, dan kekerasan untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Dunia Islam menjadi target utama dari agenda ini.

Proyek-proyek ini tidak hanya bertujuan melemahkan umat Islam, tetapi juga menciptakan perpecahan di antara negara-negara Muslim. Keadaan ini menjadi peluang bagi kekuatan kolonial untuk memperkuat cengkeramannya.

Namun, sejarah mengajarkan bahwa kezaliman tidak pernah bertahan lama. Dunia Islam telah menghadapi berbagai tantangan di masa lalu dan selalu berhasil bangkit. Persatuan umat adalah kunci untuk melawan penindasan yang ada saat ini.

Untuk mengatasi krisis ini, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang murni. Dengan persatuan yang kuat, umat dapat menghadapi tantangan global dengan penuh keyakinan.

Pendirian kembali Khilafah Rasyidah sesuai metode kenabian adalah solusi hakiki yang mampu membawa umat menuju kejayaan. Hanya dengan tatanan ini, umat dapat menghadapi ancaman kolonial dan memastikan masa depan yang lebih baik.

Konflik yang ada saat ini adalah ujian bagi umat Islam. Dengan bersatu dan kembali kepada ajaran agama, umat dapat mengatasi tantangan ini dan membuka jalan menuju kemuliaan yang sejati. []

Posting Komentar untuk "Membongkar Ambisi Global di Balik Konflik Dunia Islam"