Perspektif Politik Konflik Israel-Palestina, Apakah Meniadakan Peran Agama (Islam) untuk Menyelesaikannya?




Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)


Agresi militer Zionis Israel terhitung pasca 7 Oktober 2023 telah merenggut korban meninggal sebanyak 44.800 warga Palestina. Sedangkan korban dari pihak IDF berjumlah lebih dari 1700 orang. Data ini per Desember 2024. Meskipun sebagian pakar militer menilai bila Israel menyembunyikan jumlah korban yang sebenarnya dari pihak pasukan Israel.

Sejak berdirinya negara Israel di tahun 1948, konflik Palestina-Israel terus berlangsung. Hingga saat ini konflik Israel-Palestina bisa menjadi ajang proksi di kawasan Asia-Pasifik. Tentunya memandang konflik Palestina-Israel secara politik akan mengungkap grand strategi AS di kawasan. 

Pertama, imigrasi Yahudi ke Palestina yang terjadi pada tahun 1882-1948 tidak sekedar berlandaskan pada doktrin tanah yang dijanjikan. 

Gerakan Zionis menyelenggarakan kongres ke-1 di Basel, Swiss oleh Theodore Hetzl pada 1897 mempunyai tujuan politik yakni Mendirikan negara Yahudi raya. Hal ini ditegaskan dalam bukunya "Der Judeenstat" (Negara Yahudi).

Sedangkan gerakan Zionisme Internasional sendiri dibentuk pertama kali pada 1 Mei 1776 di New York, AS. Artinya gerakan Zionisme bukanlah gerakan agama akan tetapi gerakan politik. Tujuannya untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina.

Kedua, Posisi negara Israel sangat strategis bagi kepentingan AS di Timur Tengah.

Dengan mencermati berdirinya Zionis Internasional di New York, bisa dipahami bahwa AS adalah sponsor utama berdirinya gerakan Zionis. Dengan mencangkokkan negara Yahudi di Palestina, maka akan bisa dicapai 2 tujuan. Negara Israel ini akan menjadi drone bagi kepentingan penjajahan AS, sekaligus pemecah belah dunia Islam.

AS sadar bahwa persatuan dunia Islam di bawah satu Kekhilafahan akan menjadi ancaman besar bagi ambisi penjajahannya. Oleh karena itu, AS mendirikan beberapa pangkalan militer di Timur Tengah seperti di Bahrain, Qatar, Kuawait, termasuk juga di Arab Saudi. Tentunya untuk mengontrol keamanan jalur ekonomi dan maritim perdagangannya.

Di samping itu, negara-negara Timur Tengah merupakan penghasil minyak bumi dan gas alam terbesar di dunia. Walhasil pengendalian AS atas kawasan ini bisa memberikan dominasinya atas kiprah China. AS masih tergantung besar pada minyak Timur Tengah.

Berikutnya kehadiran Israel di Timur Tengah bisa mengurangi pengaruh Rusia di kawasan. Rusia menuding AS sebagai biang kerok memanasnya konflik Palestina-Israel. Di samping itu, Rusia telah berani mengambil jalan politik memberi suaka pada Bashar Assad yang  lari dari Suriah. Padahal Bashar Assad itu bonekanya AS. Artinya Rusia dipandang tidak begitu berbahaya bagi AS. Apalagi Vladimir Putin sendiri menegaskan dukungannya terhadap two state solution atas konflik Palestine-Israel.

Ketiga, Israel adalah mitra terbaik AS. Oleh karena itu, AS siap memberikan dukungan militer dan ekonomi untuk Israel. Bantuan ekonomi AS kepada Israel senilai USD 3,8 milyar setiap tahunnya.

Bahkan dari semua negara yang ada di Timur Tengah, AS menobatkan Israel sebagai negara Demokrasi terbaik. Komitmennya pada pluralisme dan HAM menempatkan Israel sebagai negara yang demokratis. Padahal negara Israel adalah penjahat perang terbesar dalam sejarah. Begitu pula, negara Israel ini disebut sebagai negara teroris.

Alasan sebenarnya bukanlah karena Israel itu demokratis. Akan tetapi negara Israel ini menjadi penjaga stabilitas kepentingan AS di kawasan Timur Tengah. Hal ini bisa dipahami dari langkah Trump untuk menormalisasi hubungan negara-negara Arab dengan Israel. Dengan adanya hubungan tersebut menyebabkan mandulnya suara kritis dari negara yang bersangkutan atas kebrutalan dan kebiadaban Israel.

Keempat, Adanya upaya mempertahankan nation state dengan menciptakan instabilitas di kawasan. Sedangkan AS yang nantinya akan tampil untuk mengintervensi kebijakan strategis pada negara yang berkonflik.

Di masa pemerintahan Trump yang pertama, AS membunuh Jenderal Sulaimeni, komandan terbaik Garda Revolusi Iran. Waktu itu AS berhasil mengobarkan aura permusuhan antara AS dengan Iran. Iran dielu-elukan di satu sisi, pada sisi lainnya, Iran tidak berubah dari konsepsi pemerintahan Republik Islam. Artinya AS berhasil menegaskan Iran tidak akan mendirikan Khilafah.

 Termasuk pula konflik yang meluas ke kawasan Laut merah. Kelompok Houthi menyerang kapal-kapal AS yang mengirim bantuan ke Israel. Walhasil Israel menyerang Houthi. Begitu pula, konflik antara Israel-Iran yang makin memanas tidak akan keluar dari garis nation state. Dengan begitu dunia masih bisa dipertahankan dalam Demokrasi.

Kelima, dimunculkannya konteks Psikologi Politik dalam menyikapi Konflik Palestina-Israel. Menurut psikologi politik, karakter masyarakat dan pemerintahan ditentukan oleh tokoh kunci dalam masyarakat tersebut. Artinya bila prilaku politik tokoh kunci ini bisa mengendalikan egoisnya masing-masing dan mau duduk bersama untuk kedamaian, tentunya konflik akan bisa diatasi. Pada ujungnya psikologi politik menyetujui adanya win-win solution berupa berdirinya 2 negara yang hidup berdampingan antara Palestina dan Israel.

Padahal Netanyahu dan AS tidak ingin menghentikan agresi hingga palestina seluruhnya berhasil diakuisisi. Hal inilah yang menyebabkan setiap perjanjian dan resolusi PBB menjadi macan ompong.

Di sisi lain, PBB sendiri yang membidani lahirnya Negara Israel di tahun 1948. Inggris melalui perjanjian Balfour menyerahkan Palestina kepada Israel. Tentunya ini proses politik panjang yang harus dikabulkan PBB. Sementara itu saat ada desakan untuk mengakui Palestina sebagai anggota PBB yang otomatis statusnya menjadi negara mendapat veto khususnya dari AS. PBB tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi solusi 2 negara itu absurd.

Keenam, Konflik Palestina-Israel menyadarkan kepada kita bahwa solusi satu-satunya adalah dengan mengusir Israel dari tanah Palestina. Tentunya PBB bukanlah harapan. Umat Islam hanya bisa berharap pada Khilafah Islamiyyah.

Benar bahwa sistem pemerintahan Khilafah bersumber dari ajaran Islam. Artinya kita menganggap bahwa konflik Palestina-Israel ini adalah konflik agama. Sebagian kalangan menganggap bukan konflik agama. Dasar mereka adalah di negara Israel sendiri ada 1,5 juta warga Israel yang beragama Islam. Begitu pula warga Palestina, ada yang Kristen selain yang muslim. Jadi menurut mereka ini adalah murni konflik politik.

Pertanyaannya, lantas dengan apa untuk mengakhiri agresi Israel yang biadab kepada Palestina? Kalau bukan dengan Khilafah, lalu dengan apa menyelesaikan secara tuntas krisis Palestina?

Yang patut dipahami adalah Islam itu selain sebagai agama, juga sebagai ideologi. Sebagai ideologi tentunya Islam memiliki konsepsi politik kenegaraan sebagai pilar utama dalam melaksanakan Syariat Islam secara paripurna. Khilafah Islam selain sebagai pelaksana syariat, pemersatu umat dan penjaga kehormatan serta kemuliaan umat Islam. Bukankah Nabi Saw bersabda:

انما الأمام جنة يقاتل من ورائه ويتقى به

Sesungguhnya Imam atau Kholifah sebagai pelindung. Kaum muslimin berperang bersamanya dan berlindung kepadanya. 

Maka saat ini umat Islam didholimi oleh Zionis Israel melalui andil AS dan Inggris serta negara barat sekutunya. Untuk melawan negara besar, tentunya memerlukan negara besar pula yakni Khilafah Islamiyyah. Ditambah lagi selama ribuan tahun Palestina aman sentosa di bawah naungan Khilafah Islam. Dalam pemerintahan Khilafah Islam, hidup berdampingan 3 penganut agama besar yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Walhasil hanya dengan Khilafah, kita bisa mendamaikan setiap pemeluk agama. 

#12 Desember 2024

Posting Komentar untuk "Perspektif Politik Konflik Israel-Palestina, Apakah Meniadakan Peran Agama (Islam) untuk Menyelesaikannya?"