Pertemuan Riyadh adalah Kolonialisme Barat dengan Kedok Arab
Pada hari Minggu, 12 Januari 2025, para menteri luar negeri dari negara-negara Arab dan Barat, termasuk Prancis, Inggris, Jerman, Italia, dan Spanyol, berpartisipasi dalam pertemuan di Riyadh untuk apa yang mereka sebut sebagai upaya koordinasi dukungan untuk Suriah dan mengupayakan pencabutan sanksi terhadap negara tersebut. Pertemuan ini terbagi menjadi dua sesi; sesi pertama dihadiri oleh para menteri Arab, sedangkan sesi kedua melibatkan para pejabat Barat, bersama dengan utusan PBB untuk Suriah, Geir Pedersen, Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, Kaja Kallas, serta Wakil Menteri Luar Negeri AS, John Bass.
Jelas bahwa pertemuan ini, seperti halnya konferensi Aqaba sekitar sebulan yang lalu, merupakan pertemuan kolonial dengan kedok dan pakaian Arab. Kehadiran para pemimpin dan perwakilan negara-negara kolonial, terutama Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris, yang merupakan inti dari kolonialisme itu sendiri, tidak dapat diartikan lain kecuali sebagai upaya menjaga kepentingan mereka di Syam (Suriah) dan memastikan pengaturan situasi agar tetap berada dalam kendali mereka. Sementara itu, mereka adalah pihak yang paling jauh dari kebebasan, keadilan, dan hak asasi manusia. Sejarah panjang mereka dalam mendukung rezim represif dan diam terhadap kekejaman serta kejahatannya sudah bukan rahasia lagi.
Kehadiran para pemimpin Arab dalam pertemuan ini tidak lain hanyalah menjadi kedok kolonialisme dan pakaian yang menutupi keburukannya. Bagaimana mungkin mereka memiliki suara atau pengaruh di hadapan para majikan kolonial mereka? Mereka telah menyerahkan diri untuk menjadi penjaga setia bagi mereka dan kepentingan mereka di negeri kita, agar tetap menjadi budak yang tunduk kepada mereka.
Membantu dan mendukung rakyat Suriah tidak memerlukan pertemuan, konferensi, ataupun syarat seperti yang mereka klaim. Sebaliknya, pemerasan dan tekanan yang mereka lakukanlah yang membutuhkan kegiatan seperti ini. Hal ini jelas terlihat dalam pernyataan mereka: “Membantu membangun kembali Suriah sebagai negara Arab yang bersatu, mandiri, dan aman bagi seluruh warganya, tanpa tempat untuk terorisme.” Apa yang membuat kolonialisme dan perwakilannya khawatir adalah kemungkinan Suriah menuju Islam dan keluar dari norma negara-negara kecil berdasarkan batas-batas Sykes-Picot yang mereka buat untuk menghalangi persatuan dan perubahan di kalangan kita.
Oleh karena itu, para penjajah terus bekerja siang dan malam, dengan menteri, utusan, perwakilan, serta kaki tangan mereka dari kalangan penguasa dan organisasi. Mereka terus melakukan kunjungan yang tak henti-henti dan konferensi yang berturut-turut untuk mengatur proses transisi yang mirip dengan yang terjadi di Mesir dan Tunisia sebelumnya, yang pada akhirnya menghasilkan reproduksi rezim lama.
Apa yang paling ditakuti oleh Barat adalah jika kekuasaan di Suriah kembali ke tangan rakyatnya dan mereka kembali hidup dengan Islam sebagai sistem pemerintahan dan kehidupan. Mereka tahu bahwa itu akan menjadi akhir dari pengaruh mereka di negeri kita dan awal kebangkitan serta pembebasan bagi umat Islam yang agung. Oleh karena itu, kaum Muslim secara umum, dan rakyat Suriah khususnya, harus waspada terhadap ketergantungan pada penjajah dan sekutunya. Mereka adalah musuh dan lawan, serta menjadi akar dari segala penyakit dan penderitaan. Allah berfirman:
"Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain dari Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan." (QS. Hud: 113)
Hendaknya kaum Muslim hanya berpegang teguh kepada tali Allah semata. Allah juga berfirman:
"Jika Allah menolong kamu, maka tak ada seorang pun yang dapat mengalahkan kamu; tetapi jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapa yang dapat menolong kamu selain dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal." (QS. Ali Imran: 160)
Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir
Posting Komentar untuk "Pertemuan Riyadh adalah Kolonialisme Barat dengan Kedok Arab"