Realisme dan Bahayanya bagi Umat
Terjemahan
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang
Sesungguhnya realisme adalah salah satu konsep paling berbahaya terhadap proses perubahan dan kebangkitan umat. Realisme berarti memulai dari realitas, keterbatasan, dan kemampuan yang ada sebagai dasar dalam menentukan tujuan dan cita-cita. Dengan demikian, seseorang menempatkan kereta di depan kuda dalam usahanya untuk melakukan perubahan. Alih-alih menentukan tujuan berdasarkan keyakinan, prinsip, dan akidahnya kemudian maju menghadapi realitas dan mengatasi kesulitan, ia justru memulai dari kemampuan, realitas, dan rintangan, lalu menyusun tujuan dan cita-citanya berdasar hal-hal itu.
Benar bahwa pada pandangan pertama hal ini mungkin tampak rasional dan praktis, tetapi jika ditelaah lebih dalam, kita akan menyadari bahwa hal ini sebenarnya adalah resep yang membius dan melemahkan dari perubahan yang sejati atau mendasar. Akibat akhirnya adalah larut dalam realitas dan mengikuti arus zaman.
Renungkanlah kisah Rasulullah ﷺ dengan kaum Quraisy dan pamannya Abu Thalib:
Ibnu Ishaq rahimahullah berkata bahwa ketika kaum Quraisy berkata kepada Abu Thalib, "Wahai Abu Thalib, sesungguhnya engkau memiliki usia, kehormatan, dan kedudukan di tengah-tengah kami. Kami telah memintamu menghentikan keponakanmu itu, namun engkau tidak melakukannya. Demi Allah, kami tidak bisa lagi bersabar atas celaannya terhadap nenek moyang kami, penghinaan terhadap akal kami, dan cercaan terhadap tuhan-tuhan kami, hingga engkau menahannya dari kami, atau kami akan memeranginya bersamamu hingga salah satu dari dua pihak binasa," atau sebagaimana yang mereka katakan kepadanya. Maka Abu Thalib mengutus seseorang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: "Wahai keponakanku, sesungguhnya kaummu telah datang kepadaku dan berkata begini dan begitu sebagaimana yang telah engkau dengar. Maka sayangilah diriku dan dirimu, dan jangan bebankan kepadaku perkara yang tidak sanggup aku pikul."
Rasulullah ﷺ mengira bahwa pamannya telah berubah sikap terhadap dirinya, hendak menyerahkannya dan melemahkan dukungannya. Maka beliau berkata:
Kemudian Rasulullah ﷺ menangis dan bangkit pergi. Ketika beliau berpaling, pamannya memanggilnya dan berkata: "Kembalilah, wahai keponakanku." Rasul pun kembali kepadanya. Lalu pamannya berkata: "Pergilah wahai keponakanku dan katakan apa yang engkau suka. Demi Allah aku tidak akan menyerahkanmu kepada siapa pun selamanya."
Perhatikanlah ucapan Rasulullah ﷺ:
«يَا عَمِّ، وَاللَّهِ لَوْ وَضَعُوا الشَّمْسَ فِي يَمِينِي، وَالْقَمَرَ فِي يَسَارِي...»
Beliau ﷺ berbicara dengan gambaran yang mustahil — yaitu kaum Quraisy mampu meletakkan matahari di tangan kanannya dan bulan di tangan kirinya. Dan seandainya mereka mampu pun, hal itu tidak akan membuat beliau mundur dari perjuangannya untuk melakukan perubahan atau meninggalkan tujuannya selama masih hidup. Sikap ini benar-benar menggugurkan pemikiran realistis dari akarnya.
Demikian pula tidak mungkin para tiran, Barat, dan penjajah akan membiarkan kita mengubah realitas yang rusak agar sesuai dengan Islam dengan mudah dan tanpa perlawanan. Karena hal itu berarti kehancuran dan lenyapnya eksistensi mereka. Maka perubahan seperti itu adalah ancaman eksistensial bagi mereka. Oleh karena itu, wajar jika mereka bangkit dan mengerahkan segala daya dan kekuatan untuk mencegahnya. Dan jika tidak ada lelaki-lelaki kuat yang tegas dan berkemauan yang siap menantang realitas, rintangan, dan kesulitan, maka perubahan tidak akan pernah terwujud.
Saya akhiri dengan menyebutkan sebab turunnya Surah Al-Kafirun:
Surat ini merupakan contoh teladan dalam penolakan terhadap realisme atau kompromi terhadapnya. Ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok tokoh Quraisy yang berkata: "Wahai Muhammad, marilah ikut agama kami dan kami akan mengikuti agamamu. Mari kita sembah tuhan-tuhan kami setahun dan sembah Tuhanmu setahun. Jika apa yang engkau bawa lebih baik daripada yang ada pada kami, maka kami telah ikut bersamamu dan mendapatkan bagian darinya. Dan jika yang ada pada kami lebih baik dari yang ada padamu, maka engkau telah ikut bersama kami dan mendapatkan bagian darinya." Maka Rasulullah ﷺ menjawab: "A’ūdzu billāhi (Aku berlindung kepada Allah) untuk mempersekutukan-Nya dengan selain-Nya." Lalu Allah menurunkan firman-Nya:
Kemudian Rasulullah ﷺ pergi ke Masjidil Haram, dan di sana terdapat para pembesar Quraisy. Beliau membacakan surat itu kepada mereka hingga selesai. Maka mereka pun putus asa darinya setelah itu.
Posting Komentar untuk "Realisme dan Bahayanya bagi Umat"