Krisis
Mesir menyisakan luka menganga. Dua kubu masyarakat saling berhadap
hadapan. Mereka dipisahkan oleh pepesan kosong kekuasan. Kelompok
Tamarrud (pemberontak) melawan kelompok Tajarrud (pendukung) pemerintah
Presiden Mursi.
Mereka tidak hanya berhadapan secara pemikiran
dan propaganda, tapi lebih dari itu. Gertakan dan ancaman menyelimuti
setiap orang yang berpatisipasi dalam unjuk rasa beberapa hari sebelum
Mursi terguling. Bahkan sejumlah seruan pembunuhan untuk para pengunjuk
rasa pro Mursi, dan mendoakan keburukan untuk mereka. Seolah-olah mereka
adalah para kaum "kafir harbi " Na'udzubillah!
Pernyataan-pernyataan anti-Islam pun muncul, seperti pernyataan salah
seorang dari mereka, "Islam akan lenyap dari Mesir pada 30 Juni”.
Dalam situasi terjadi kemacetan parah di jalanan Mesir, sejumlah media
massa yang tidak bertanggung jawab justru memanas-manasi suasana. Dan
bentrok pun tak terhindarkan. Pengunjuk rasa anti pemerintah menyerang
markas Ikhwanul Muslimin. Puluhan orang tewas. Tidak berhenti di situ,
militer Mesir pun dengan ganas menyerang para pendukung Mursi. Puluhan
orang lain bersimbah darah.
Menurut informasi dan dokumen yang
dikumpulkan oleh Aljazeera, berbagai aksi ini tidak lepas dari campur
tangan Amerika. Dalam laporan Al-Jazeera, Rabu (10/7), peninjauan pada
puluhan dokumen pemerintah federal AS menunjukkan Washington diam-diam
mendanai tokoh oposisi senior Mesir yang menyerukan penggulingan Mursi.
Dokumen yang diperoleh dari Dokumen Pelaporan Investigasi UC Berkeley
menunjukkan dana disalurkan melalui program Departemen Luar Negeri untuk
mempromosikan demokrasi di kawasan Timur Tengah. Program tersebut
mendukung penuh aktivis dan politisi yang membuat kerusuhan di Mesir
setelah peng¬gulingan Husni Mubarak pada Februari 2011.
Program
Departemen Luar Negeri yang oleh para pejabat AS disebut sebagai
inisiatif "bantuan demokrasi" merupakan bagian dari upaya pemerintah
Obama yang lebih luas yang mencoba menghentikan kekalahan kelompok
sekuler yang pro-Washington, dan memenangkan kembali pengaruh kalangan
sekuler di negara-negara Arab yang dilanda revolusi, dan mengakhiri
bangkitnya kaum Islamis, yang sebagian besar menentang kepentingan
Amerika Serikat di Timur Tengah.
Aktivis yang didanai program
tersebut termasuk seorang perwira polisi Mesir yang merencanakan
kekerasan untuk menggulingkan pemerintahan Mursi. Dana juga mengalir ke
seorang politisi anti-Islam yang menganjurkan penutupan masjid dan
me¬nyeret pengkhutbah, serta politisi oposisi yang mendorong
penggulingan Mursi.
Presiden Barack Obama sendiri membantah
keterlibatan pemerintahannya dalam peristiwa politik di Mesir.
Negara-negara imperialis kafir meniup api fitnah agar semakin menyala,
agar alat-alat penekan yang kuat ada dalam genggamannya, yang akan
digunakan untuk meningkatkan dominasi dan kekuasannya pada sel-sel dan
sendi-sendi kekuasaan di Mesir.
Bukan Demi Islam
Sebelum bentrok antar kedua kubu, Hizbut Tahrir Mesir menyerukan kepada
kedua belah untuk menghentikan pengelompokan, kebencian dan
pertengkaran, serta perjuangan murahan yang menipu, yang tidak akan
memberikan manfaat sama sekali.
"Sebab, masalahnya bukan dalam
pribadi Presiden, kita lengserkan seseorang dan kita ganti dengan orang
lain. Akan tetapi masalahnya ada pada rezim seluruhnya, dan konstitusi
yang diterapkan, yang membawa kehinaan dan kesempitan hidup di mana
kalian melakukan perlawanan untuk selamat darinya dalam semua sisinya,
karena sangat jauhnya kalian dari hukum-hukum Islam dan syariahnya,"
begitu seruan HT.
Fakta di lapangan menunjukkan, masyarakat
dimobilisasi sejak beberapa hari dengan mengatasnamakan Islam untuk
mendukung Presiden. Mereka didorong seolah-olah sedang menghadapi
pertempuran untuk membela Islam dalam menghadapi kekufuran. "Padahal
kenyataannya adalah mempertahankan sistem kufur yang diterapkan oleh
Presiden untuk menghadapi sistem kufur yang akan diterapkan oleh
Presiden yang lain, dan bukan untuk Islam, bahkan sama sekali tidak
urusannya dengan Islam!" tulis HT Mesir dalam selebaran yang disebarkan
kepada masyarakat.
Bukan dengan Demokrasi
Mesir
berhasil mendudukkan Muslim sebagai presiden tapi gagal menempatkan
Islam dalam kekuasaan. Ini bukti kesekian kali kegagalan upaya sebagian
anak umat untuk mengislamisasikan negara secara gradual melalui jalur
demokrasi. "Apakah belum jelas bagi rakyat kami di Mesir Al Kinaanah,
rakyat Mesir dari Amr Bin Al-Aas, bahwa metodologi perubahan dan
menerapkan Shariah Allah tidak dapat terjadi melalui gerbang pemilu yang
demokratis atau dengan tergantung pada kaum kafir barat, dengan
menyenangkannya dan melaksanakan instruksinya?" kata M. Ali bin Salim
dari HT Tunisia.
Hanya ada satu metode, tidak ada yang lain,
untuk menegakkan hukum Islam. Yaitu metode yang ditempuh oleh Rasulullah
SAW, dengan menolak mengambil pemerintahan yang tidak lengkap, atau
berpartisipasi dalam sistem rusak yang menyalahi Islam. Akan tetapi
tetap bersabar sampai nushrah (pertolongan) itu sempurna, dengan tetap
berjuang sungguh-sungguh di tengah umat untuk menciptakan opini umum di
tengah umat yang terpancar dari kesadaran umum atas wajibnya penerapan
syariah Allah secara menyeluruh di dalam daulah Khilafah.
Cara
ini ditempuh melalui pergolakan intelektual dan melontarkan
pemikiran-pemikiran Islam secara kuat dan menantang untuk menentang
pemikiran-pemikiran kufur, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW,
bukan dengan mencair dan menyesuaikan dengan pemikiran kufur itu. Juga
dengan perjuangan politis dan membongkar rencana-rencana dan konspirasi
melawan Islam dan kaum Muslimin, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah
SAW, dan bukannya dengan bermanis muka dan menyesuaian berjalan bersama
para thaghut dan antek-antek Barat.
Terwujudlah kemudian opini
umum tentang syariah dan khilafah sehingga ahlun an-nushrah yang mukhlis
di militer berpihak kepada khilafah dan syariah. Ahlu an-nushrah itulah
yang memiliki kekuatan yang sebenarnya seperti yang jelas dari
keputusan politis ini. [Mujiyanto]
Berbagi :
Posting Komentar
untuk "Rakyat Dibenturkan, Amerika Yang Menang"
Posting Komentar untuk "Rakyat Dibenturkan, Amerika Yang Menang"