Islam Masuk Sampai ke Dapur
Salah satu cara untuk menilai penetrasi kebudayaan adalah
dengan melihat dapur suatu rumah tangga di sebuah negeri. Bagaimana
Anda menilai dapur Anda saat ini? Type masakan apa yang dominan Anda
siapkan? Masakan Jawa? Masakan Padang? Masakan Cina? Masakan Barat?
Atau masakan Timur Tengah?
Kalau Anda suka nasi rames,
atau gudeg, itu sangat Jawa. Kalau Anda suka rendang atau sambal
goreng, itu Padang. Kalau Anda suka mie, itu Cina. Kalau Anda suka
roti dengan selai, itu Barat. Dan kalau Anda suka kebab atau nasi
kebuli, itu Timur Tengah.
Baiklah, tapi mungkin ada
pertanyaan: apa hubungannya semua ini dengan Islam? Bukankah itu semua
mubah-mubah saja? Bukankah suka dapur Arab tidak berarti mencerminkan
keterikatan dengan Islam – karena dulupun Abu Lahab dan Abu Jahal juga
punya dapur Arab.
Benar. Yang akan kita bahas kali ini
memang bukan jenis masakannya, tetapi apa yang dibawa peradaban Islam
sampai ke dapur? Islam membawa setidaknya empat hal sampai ke dapur:
Pertama
adalah norma, yaitu bahwa yang dipersiapkan di dapur harus bahan yang
halal dan thoyyib, serta diolah dengan cara yang halal pula. Dengan
demikian dapat dipastikan bahwa teknologi pembuatan minuman keras atau
pengolahan darah untuk makanan tidak akan berkembang dalam dapur Islam.
Kedua
adalah bahan-bahan “baru”, yakni bahan makanan yang baru berkembang
setelah sejumlah ilmuwan Muslim menekuni teknik pembuatannya secara
praktis, sejak dari pembudidayaan pertaniannya hingga pengolahannya.
Ketiga
adalah alat-alat “baru”, yakni alat-alat masak yang dikembangkan dan
disebarluaskan pemakaiannya oleh umat Islam ke seluruh dunia.
Keempat adalah teknik memasak yang dipopulerkan, yang ini boleh saja mencakup keberagaman kuliner antar etnis.
Aspek
pertama tentu saja jarang diadopsi oleh negeri non Muslim. Sebagai
contoh Jerman atau Perancis saat ini sangat terkenal aneka minuman
kerasnya. Di Technische Univesitaet Muenchen bahkan ada program studi
teknik pembuatan bir. Namun aspek yang lain, ternyata tidak ada negeri
di dunia saat ini yang tidak “dimasuki Islam”. Islam ternyata telah
masuk sampai ke dapur-dapur mereka, suka ataupun tidak, tahu ataupun
tidak.
Penyebab utamanya adalah revolusi pertanian pada
akhir abad 5 H (11 M). Satu aspek penting revolusi ini adalah
pengenalan dan penyebaran berbagai jenis tanaman baru seperti padi,
sorghum, gandum keras (triticum durum – digunakan untuk membuat pasta),
tebu dan berbagai jenis bunga, sayuran dan buah-buahan. Adanya tanaman
baru itu mengubah sistem pertanian menjadi lebih intensif. Al-Marqasi
(awal abad 9H / 15M) menceritakan bahwa sebelum menanam tebu di Mesir,
tanah terlebih dahulu harus dibajak enam kali dengan peluku berat. Ibn
al-Bassal menganjurkan agar pembajakan dilakukan hingga sepuluh kali dan
pemupukan tanah sebaiknya dilakukan sebelum benih ditebarkan.
Aktivitas pemanfaatan lahan marginal yang sebelumnya tidak berproduksi
dengan berbagai tanaman baru tak luput dari perhatian ilmuwan Muslim.
Berbagai buku manual ditulis, di antaranya Kitab al-Filaha wa
An-Nabatiya dari Ibn Wahsyiyya.
Hasilnya adalah, produksi gandum yang melimpah, yang kemudian memicu penemuan alat-alat penggiling gandum yang lebih efisien.
Sebagai
bahan pangan utama, padi berada pada posisi kedua setelah gandum. Padi
adalah salah satu tumbuhan yang pertama kali mulai ditanam pada masa
revolusi pertanian Muslim, ketika harga roti-gandum masih tinggi.
Roti-beras telah meringankan masalah ekonomi yang muncul di berbagai
daerah.
Ada berbagai jenis roti yang dibuat di
negeri-negeri Islam. Sebuah kitab dari Al-Muqaddasi mendaftar sekitar
dua belas jenis dan menguraikan teknik pembuatannya. Roti yang paling
lazim berbentuk pipih dan dibuat dari gandum serta dibakar dengan cara
sederhana.
Di sebagian kota-kota Islam, pembakar roti
menjadi sebuah profesi. Banyak anggota masyarakat yang membuat adonan
roti di rumah lalu membawanya ke toko roti untuk dibakar. Tukang roti
diawasi oleh muhtasib untuk menjaga kualitasnya agar konsumen
terlindungi.
Gula merupakan komoditas dasar yang
pengembangan dan penyebarannya berutang banyak pada peradaban Islam.
Tanaman tebu berasal dari India, dan menyebar ke tetangganya, tetapi
belum menjadi bahan makanan di masa pra-Islam. Literatur Barat sebelum
abad ke-7 M tidak menyebut-nyebut gula. Hingga abad pertengahan, bahan
pemanis yang digunakan di Eropa adalah madu.
Dari semua
jenis makanan di abad pertengahan, gula adalah satu-satunya bahan yang
membutuhkan proses kimia. Pembuatan gula membutuhkan kecakapan
teknologi tinggi, baik pada saat penanaman tebu maupun proses
pembuatannya. Karena itu industri ini berada di luar kemampuan petani
kecil atau buruh, dan sejak awal negara memainkan peran utama dalam
perkebunan tebu dan pendirian pabrik gula. Dalam kitab Nihayat al-Arab
fi Funun al-Adab dari Al-Nuwairi, banyak terdapat informasi mengenai
perkebunan tebu di berbagai negeri Islam. Teknologi gula bahkan juga
ditransfer ke Cina. Kali ini bukan “belajarlah sampai ke negeri Cina”,
tetapi “mengajarlah sampai ke negeri Cina”. Menurut Marco Polo, para
teknisi Mesir dipanggil ke Cina untuk mengajari orang-orang Fukian cara
mengilang gula dengan menggunakan abu kayu bakar.
Selama
abad ke-4 dan ke-10 H (ke-10 dan ke-14 M) banyak ditulis buku-buku
masakan (tabikh). Hanya satu yang telah diterjemahkan ke bahasa Eropa.
Sebagian besar masih dalam bentuk manuskrip. Dari buku-buku itu dapat
dipelajari berbagai jenis hidangan utama yang disuguhkan di Bagdad,
Damaskus, Kairo dan negeri-negeri Muslim yang lain. Kitab At-Tabikh
yang ditulis oleh Al-Baghdadi tahun 623H / 1226M menguraikan resep-resep
masakan di Baghdad. Buku ini memuat paling kurang 153 resep yang dapat
dikategorikan sebagai berikut: 22 masakan asam, 6 masakan bersusu, 18
hidangan sehari-hari, 8 gorengan kering, 22 hidangan sederhana, berbagai
masakan ayam, 9 kue kering dan bakar, 11 hidangan buah-buahan dan kue
pastel, 5 hidangan ikan segar, 4 hidangan ikan asin, 3 hidangan tirrikih
(ikan asin kecil), 4 macam saus, 5 masakan pembuka, 5 masakan penyedap,
12 judhah, khabis dan hidangan berselai lainnya, 9 halwa atau kue
manis, 10 mutabbaq (sejenis kue dadar), dan qataif (sejenis donat).
Buku masakan yang lebih lengkap ditulis oleh Ibn Sayyar al-Warraq,
memuat tidak hanya seluruh aspek masak memasak tetapi dimulai dengan
penjabaran perlengkapan dapur dan diakhiri dengan adab di meja makan.
Pengawetan
makanan juga sudah diselidiki oleh para ilmuwan pangan Muslim.
Pengawetan yang lazim dilakukan dengan pengeringan, pengasinan,
pengasapan, pemberian cuka, kristalisasi gula dan madu, atau pengawetan
dengan bumbu. Ibn al-Awwam dan Al-Dimasyqi banyak menguraikan proses
pengawetan makanan dalam buku-buku mereka. Es-es pada musim dingin
disimpan di dalam gudang di bawah tanah untuk mengawetkan buah-buah
segar hingga berbulan-bulan, atau dimasukkan dalam peti-peti pengangkut
buah untuk dibawa ke kota yang cukup jauh.
Kalau
sekarang banyak makanan tiruan seperti daging vegetarian (mirip daging
tetapi bukan dari daging), ternyata hal ini sudah dicoba lebih dari
seribu tahun yang lalu. Sebuah manuskrip yang dinisbahkan ke Al-Kindi
menyebutkan cara-cara membuat hidangan daging yang dibuat tanpa daging,
telor dadar yang dibuat tanpa telor, kue beras tanpa beras dan kue halwa
tanpa madu/gula. Al-Jaubari dalam kitab al-Mukhtar fi Kasyf al-Asrar
(Buku Favorit Pembuka Berbagai Rahasia) membuat satu bab khusus tentang
rahasia para pembuat makanan, menyatakan bahwa orang-orang itu punya
banyak kiat dalam memasak, dan tak satupun makanan yang dimasak tanpa
sedikit peniruan. Itulah gunanya para muhtasib juga memiliki ilmu untuk
menguji mutu sosis, daging asap, gula-gula dan sebagainya. [Fahmi Amhar]
Posting Komentar untuk "Islam Masuk Sampai ke Dapur"