Ramadhan
memang penuh berkah. Namun, realitas kaum Muslim membuat miris hati.
Padahal Rasulullah saw. pernah bersabda, “Rabb kita, Zat Yang
Mahatinggi, turun ke langit dunia setiap malam tatkala sepertiga malam
terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku
kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku beri. Siapa yang
memohon ampunan kepada-Ku niscaya Aku ampuni.’” (HR al-Bukhari).
Sepertiga malam terakhir, keberkahan dicurahkan oleh Allah SWT. Namun,
dapat dipastikan hampir semua stasiun TV berisi tayangan yang jauh dari
nilai keberkahan. Umumnya TV berisi sinetron atau lawakan konyol yang
justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dengan dalih hiburan
menemani sahur, waktu yang penuh dengan keberkahan tersebut diisi dengan
laghw[un] (perkara yang sia-sia). Bila demikian, bagaimana mungkin
keberkahan akan dapat dirasakan?
Bulan Ramadhan memang
merupakan bulan perjuangan dan kemenangan. Dulu, Perang Badar al-Kubra,
jihad pertama dalam sejarah Islam, terjadi pada hari Jumat pagi, 17
Ramadhan, tahun 2 H; bertepatan dengan 30 Agustus 610 M (Tarikh
ath-Thabari, III/30). Kemenangan berada di tangan kaum Muslim. Futuh
Makkah juga terjadi pada bulan Ramadhan. Sejak 8 Ramadhan tahun 8 H
Rasulullah saw. melakukan persiapan untuk futuh Makkah. Beliau bersama
dengan 10.000 orang pasukan masuk dengan mudah ke kota Makkah. Lalu
pada 20 Ramadhan tahun 8 H Rasulullah saw. dan para sahabat berhasil
menaklukan Kota Makkah, membebaskan Masjid al-Haram dan Ka’bah
al-Musyarrafah dari 360 berhala yang ada di sana.
Penaklukan
Andalusia pun terjadi pada bulan Ramadhan, yakni tahun 91 H. Kaum
Muslim saat itu menguasai Spanyol dan Portugis. Kemenangan kaum Muslim
atas pasukan Tartar terjadi pula pada bulan Ramadhan, yakni 25 Ramadhan
658 H. masih banyak lagi peristiwa lain yang terjadi bulan Ramadhan.
Namun, Ramadhan kali ini, rakyat bukan berjuang untuk memperluas dakwah
Islam. Mereka berjuang melawan kezaliman penguasa. Harga Bahan Bakar
Minyak (BBM) dinaikkan menjelang bulan Ramadhan. Harga-harga kebutuhan
pokok pun ikut melambung tinggi. Masyarakat sibuk berjuang
mempertahankan hidup di bawah bayang-bayang kebijakan bengis penguasa.
Bila Rasulullah saw. merupakan orang yang sangat lembut, dan paling
lembut lagi di bulan Ramadhan, tidak demikian dengan penguasa di
negeri-negeri Muslim. Mereka tidak menghentikan tindakan zalim terhadap
rakyatnya meski pada bulan Ramadhan. Malah bulan Ramadhan dijadikan
legitimasi untuk menerapkan kebijakan zalimnya. “Bulan Ramadhan itu
bulan kesabaran. Kita harus menerima kenaikan harga ini dengan sabar,”
dalihnya.
Ramadhan terus berlalu. Umat saat ini masih
terbelah. Namun, keinginan umat untuk bersatu amatlah besar.
Alhamdulillah, saya berkesempatan umrah hingga sehari menjelang
Ramadhan. Di sana bertemu dengan banyak orang dari berbagai negara.
Pernah ada perbincangan di pelataran tawaf, depan Ka’bah, menjelang
shalat zhuhur. “Kita saat ini hanya bisa bersatu saat naik haji atau
umrah saja,” ujar saya kepada Muhammad, orang Mesir.
“Ya, benar. Padahal Ka’bah kita satu, Rasul kita satu, al-Quran kita satu, dan Tuhan kita pun satu,” jawabnya.
Saya katakan kepada dia sambil menunjuk Ka’bah, “Aneh, kita ini
menyembah Rabb Ka’bah ini, tetapi tidak mau dihukumi oleh syariah-Nya.
Kita mengaku mencintai Nabi saw., tetapi mencukupkan diri dengan
berziarah ke kubur beliau. Padahal orang yang mencintai Nabi saw.
semestinya bersatu dalam Kekhalifahan sebagaimana diwajibkan oleh
beliau.”
Dia pun menjawab, “Memang, seharusnya begitu. Kita harus punya Khilafah.”
Rupanya perbincangan itu mendapatkan perhatian orang-orang di sekitar
kami. Akhirnya, diskusi menarik pun tak terhindarkan. Perbincangan
senada terjadi dalam beberapa peristiwa, saat istirahat setelah
melaksanakan sa’i dan tahalul di Bukit Marwa, ketika itikaf di Masjid
al-Haram dan Masjid Nabawi, bahkan di penginapan. Intinya, umat Islam
merindukan persatuan, dan persatuan sejati hanya ada di dalam Khilafah
Islamiyah. Di sisi lain, kita meyakini bahwa bulan Ramadhan adalah
bulan turunnya al-Quran. Marilah kita menghayati dan merenungkan
beberapa ayat berikut:
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan bagi petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
batil) (TQS al-Baqarah [2]: 185).
Apakah mereka tidak
memperhatikan al-Quran? Sekiranya al-Quran itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka menemukan pertentangan yang banyak di dalamnya (TQS
an-Nisa’ [4]: 82).
Tidaklah mungkin al-Quran ini dibuat oleh
selain Allah. Akan tetapi, al-Quran itu membenarkan kitab-kitab yang
sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya; tidak
ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam (TQS
Yunus [10]: 37).
Sesungguhnya al-Quran ini memberikan petunjuk
pada jalan yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang
Mukmin yang mengerjakan amal shalih bahwa bagi mereka ada pahala yang
besar (TQS al-Isra’ [17]: 9).
Kami menurunkan dari al-Quran
suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang beriman dan
al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang zalim selain kerugian
(TQS al-Isra’[17]: 82).
Berkatalah Rasul, “Tuhanku,
sesungguhnya kaumku menjadikan al-Quran ini suatu yang tidak
diacuhkan/ditinggalkan.” (TQS al-Furqan [25]: 30).
Orang-orang
yang kafir berkata, “Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh
al-Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya supaya kamu dapat
mengalahkan (mereka).” (TQS Fushshilat [41]: 26).
Apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran ataukah hati mereka terkunci? (TQS Muhammad [47]: 24).
Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan, dan kamu
sekali-kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. Beri
peringatanlah dengan al-Quran orang yang takut kepada ancaman-Ku (TQS
Qaf [50]: 45).
Ya, Allah, jadikanlah al-Quran sebagai cahaya
hidup kami, imam bagi kami. Jadikanlah kami dengan al-Quran ini mampu
merombak tatanan kehidupan Jahiliah menjadi kehidupan islami dalam
sistem Khilafah. Amin. [Muhammad Rahmat Kurnia (DPP HTI)]
Posting Komentar untuk "Ramadhan dan Al-Quran"