Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jihad dalam Perspektif Hizbut Tahrir

 
Pendahuluan

Tulisan ini bertujuan menjelaskan konsepsi jihad dalam perspektif Hizbut Tahrir (HT). Referensi utamanya adalah kitab-kitab yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, khususnya kitab Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah Juz 2 karya Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (pendiri HT), yang banyak membahas hukum-hukum fiqih, termasuk hukum-hukum jihad.

Namun konsepsi jihad dalam pandangan HT tidak hanya terdapat dalam kitab tersebut, tapi juga disinggung dalam kitab-kitab HT lainnya, seperti kitab Hizbut Tahrir (Ta’rif) dan Manhaj Hizbut Tahrir.

Akan digunakan pula referensi lain dari para ulama untuk memperjelas pembahasan, khususnya ulama dari kalangan syabab Hizbut Tahrir, seperti kitab Syarah Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah  Juz 2 karya Syaikh Hisyam Al-Badrani dan kitab Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Al-Syar’iyyah karya Syaikh Dr. Muhammad Khair Haikal.

Pengertian Jihad

Jihad menurut pengertian bahasa (lughah) artinya adalah mengerahkan segenap kemampuan (badzlul wus’i). Adapun menurut syariah, pengertian jihad adalah:

الْجِهَادُ هُوَ بَذْلُ الْوُسْعِ فِي الْقِتَالِ فِي سَبِيْلِ اللهِ مُبَاشَرَةً أَوْ مُعَاوَنَةً بِمَالٍ أَوْ رَأْيٍ أَوْ تَكْثِيْرِ سَوَادٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ

“Jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam perang di jalan Allah, baik secara langsung berperang, maupun dengan memberikan bantuan untuk perang, misalnya bantuan berupa harta, pendapat, memperbanyak pasukan perang, dan lain-lain.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/145; Hasyiyah Ibnu Abidin, 3/336).

Yang dimaksud berjihad dengan harta, adalah infaq harta yang terkait dengan perang secara langsung (mubaasyarah), misanya memberikan dana, pakaian, obat-obatan, kepada para mujahidin di medan perang. Jika infaq harta tidak terkait degan perang secara langsung, misalnya menyantuni fakir miskin dan anak yatim, membantu korban bencana alam, membangun lembaga keuangan syariah, memberi beasiswa, dan sebagainya, tidak dapat disebut jihad menurut pengertian syariah.

Demikian pula berjihad dengan pendapat. Yang dimaksud adalah pendapat yang terkait dengan perang secara langsung (mubaasyarah), seperti memberikan pendapat mengenai pengaturan lokasi pasukan di medan perang, pendapat tentang senjata apa saja yang dipakai dalam suatu serangan, dan sebagainya. Jika pemberian pendapat tidak terkait dengan perang secara langsung, misalnya menulis kitab fiqih, tafsir, hadits, dan sebagainya, maka tidak dapat disebut jihad dalam pengertian syariah.

Yang demikian itu dikarenakan yang menjadi pokok masalah bukanlah faidah atau manfaat dari suatu perbuatan, bukan pula faktor kesulitan (masyaqqah), bukan pula faktor pengerahan segenap kesungguhan (badzlul juhd), melainkan makna syar’i yang dikandung oleh suatu kata yang terdapat dalam nash-nash syariah.

Jadi, dalam pandangan HT, jihad dalam makna syar’i-nya memang khusus hanya digunakan untuk perang dan setiap-tiap apa saja yang terkait dengan perang secara langsung (al-qitaal wa kullu maa yata’allaqu bil qitaali mubaasyaratan). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/145).

Dengan demikian, menjadi jelas hubungan antara jihad dengan perang (qitaal). Jadi jihad pada pokoknya adalah perang (al-qitaal), yaitu khususnya di sini perang yang dilakukan oleh kaum muslimin melawan kaum kafir yang tidak mempunyai ikatan perjanjian dengan kaum muslimin (kafir ghairu dzi ‘ahdin). (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 16/124). Namun demikian, di samping berarti perang, jihad juga dapat berupa aktivitas lain yang bukan perang, asalkan masih ada kaitannya dengan perang secara langsung. Seperti memberi bantuan dana kepada para mujahidin yang sedang berperang, dan sebagainya.

Adapun perang, tidak selalu dapat dikategorikan jihad. Perang dapat dikategorikan jihad, jika yang menjadi sasaran perang adalah kaum kafir (non muslim), seperti kaum Yahudi atau Nasrani (lihat misalnya QS At-Taubah [9] : 29). Jika yang menjadi sasaran perang adalah sesama kaum muslimin, misalnya perang yang dilakukan Imam (Khalifah) melawan bughat (kaum pemberontak yang memberontak dengan senjata kepada Khalifah yang sah), tidak dapat disebut jihad, melainkan disebut perang saja. Sebab kaum bughat itu masih muslim, bukan kaum kafir (lihat QS Al-Hujuraat [49] : 9), maka definisi jihad tidak dapat diterapkan untuk aktivitas memerangi kaum bughat. (Muhammad Khair Haikal, Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Al-Syar’iyyah, 1/66).

Perlu ditambahkan, terkadang nash-nash syara’ baik Al-Qur`an maupun Al-Hadits menggunakan kata jihad bukan dalam makna syar’inya, melainkan dalam makna bahasanya. Menurut Muhammad Khair Haikal, ini berarti jihad diartikan secara majazi (kiasan), yaitu tidak diartikan menurut arti aslinya yang ditetapkan syariah, melainkan diartikan menurut makna bahasanya, dikarenakan terdapat qarinah (indikasi) yang mengalihkannya dari makna syar’inya yang asli. (Muhammad Khair Haikal, Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Al-Syar’iyyah, 1/48). Kaidah ushuliyah dalam hal ini menyebutkan : Al-ashlu fi al-kalaam al-haqiqah wa laa yushrafu ila al-majaaz illa bi-qariinah (Yang menjadi asal dalam memahami perkataan adalah mengikuti makna hakikinya, tidak dialihkan kepada makna majazinya kecuali terdapat qarinah).

Sebagai contoh, hadits dalam Bukhari dan Muslim bahwa seorang lelaki pernah minta izin berperang kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bertanya kepadanya,”Apakah masih hidup ibu bapakmu (a hayyun waalidaaka)?” Lelaki itu menjawab,”Ya.” Rasulullah SAW bersabda,”Maka berjihadlah kamu kepada ibu bapakmu (fafiihimaa fa-jaahid).” (HR Bukhari, no 5972; Muslim, no 254). Di sini terdapat qariinah haaliyah (indikasi berupa keadaan) yang tidak memungkinkan diartikan menurut arti aslinya, maka kata “jihad” dalam hadits tersebut diartikan secara majazi, yaitu berbuat baik kepada ibu bapak. Imam Ibnu Hajar mengartikan fafiihimaa fa-jaahid, dengan penafsiran fa-blugh juhdaka fi birrihima wal ihsaan ilaihima (maka bersungguh-sungguhlah kamu dalam berbakti dan berbuat baik kepada keduanya). (Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bari, 10/403).

Perlu juga ditambahkan, pendefinisian jihad dalam arti perang oleh HT, bukanlah suatu hal yang ekstrem atau aneh. Justru pendapat HT itu sejalan dengan pendapat madzhab empat (al-madzahib al-arba’ah) yang menjadi anutan kaum muslimin umumnya, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Muhammad Khair Haikal dalam kitabnya Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Al-Syar’iyyah, Juz 1 halaman 44, sbb :

Dalam mazhab Hanafi, Imam Al-Kasani dalam kitabnya Bada`i’u Al-Shana`i’ menjelaskan :

وفي عرف الشرع يستعمل في بذل الوسع والطاقة بالقتال في سبيل الله عز وجل بالنفس والمال واللسان أو غير ذلك 

“Dalam urf syariah, [jihad] itu digunakan dalam pengertian mengerahkan kemampuan dan kesanggupan dalam perang di jalan Allah Azza wa Jalla dengan jiwa, harta, lisan, atau yang lainnya.” (Imam Al-Kasani, Bada`i’u Al-Shana`i’ fi Tartib Al-Syara`i’, 7/97).

Dalam mazhab Maliki, Syaikh Muhammad Ilyas dalam kitabnya Manhul Jalil berkata :

الجهاد أي قتال مسلم كافرا غير ذي عهد لإعلاء كلمة الله …

“Jihad, artinya adalah perang oleh seorang muslim terhadap orang kafir yang tak mempunyai ikatan perjanjian, untuk meninggikan kalimat Allah.”  (Syaikh Muhammad Ilyas, Manhul Jalil Mukhtashar Sayyidi Khalil, 3/135).

Dalam mazhab Syafi’i, dalam kitab Hasyiyah al-Bujairimi disebutkan definisi jihad :

)الجهاد( أي : القتال في سبيل الله
[Jihad] artinya adalah perang di jalan Allah.” (Hasyiyah al-Bujairimi ‘Ala Syarah Al-Khathib, 4/225)

Masih dalam mazhab Syafi’i, Imam As-Syairazi dalam kitabnya Al-Muhadzdzab berkata :

أن الجهاد هو القتال
 “Sesungguhnya jihad itu tiada lain adalah perang.” (Imam As-Syairazi, Al-Muhadzdzab, 2/227).

Dalam mazhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni juga menjelaskan pengertian jihad yang semakna dengan mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, yaitu perang di jalan Allah. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 10/375).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengertian syar’i untuk jihad menurut HT kurang lebih sama dengan pengertian jihad menurut ulama madzhab yang empat.

Karena itu, tidaklah tepat jika ada yang menggunakan kata “jihad” di luar makna perang. Misalnya slogan “jihad melawan korupsi”. Mungkin maksud pembuat slogan ini bagus, yaitu ingin menunjukkan keseriusan yang tinggi dan hebat dalam memberantas korupsi, atau ingin menimbulkan rasa gentar di hati kaum koruptor. Namun jika kata “jihad” yang digunakan untuk tujuan itu, sungguh itu merupakan pemaksaan makna di luar konteks yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Hukum-Hukum Jihad

HT telah menjelaskan sejumlah hukum-hukum jihad dalam kitab Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah juz 2. Dibahas misalnya hukum jihad dari segi kapan fardhu kifayah dan kapan fardhu ‘ain, pengaturan jihad oleh Khalifah, hubungan jihad dengan keberadaan Khalifah, hukum orang yang mati syahiid, penjagaan perbatasan negara (ar-ribath), hukum meminta pertolongan orang kafir dalam jihad, tawanan perang, berdusta dalam perang, perdamaian (hudnah), dan sebagainya. (Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz 2 dari halaman 145 s/d halaman 231). Dalam kitab Hizbut Tahrir (Ta’rif), hlm. 115-116, dijelaskan secara ringkas hukum terpenting dalam jihad.

Jihad hukumnya fardhu berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan Al-Hadits. Nash Al-Qur`an misalnya QS Al-Anfaal : 39; QS Al-Baqarah : 193; QS At-Taubah : 29; QS Al-Baqarah : 216; QS At-Taubah : 39; QS At-Taubah : 132.

Nash Al-Hadits misalnya hadits shahih riwayat Imam Muslim :


مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ؛ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنَ النِّفَاقِ

“Barangsiapa yang mati dan belum pernah berperang dan belum pernah berniat untuk berperang, maka dia mati dengan membawa satu cabang [sifat] kemunafikan.” (HR Muslim, Kitabul Imarah, no 1910).

Jihad hukumnya fardhu kifayah untuk memulainya, dan fardhu ‘ain jika musuh menyerang. Yang dimaksud “fardhu kifayah memulainya” (fardhu kifayatin ibtidaa`an), adalah bahwa kita (kaum muslimin) secara fadhu kifayah wajib memulai perang meskipun musuh (kaum kafir) tidak memulai memerangi kita. Jika tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang melakukan jihad ini dalam zaman tertentu, maka berdosalah semua kaum muslimin karena meninggalkan kewajiban jihad. (in lam yaqum bil qitaali ibtidaa`an ahadun min al muslimiina fi zamanin maa atsimal jamii’u bi-tarkihi).(Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/148).

Namun demikian, tidak halal kaum muslimin memulai perang kepada kaum kafir, sebelum menyampaikan dakwah Islam. Jadi yang pertama-tama, adalah wajib lebih dulu menyampaikan dakwah mengajak kaum kafir masuk ke dalam agama Islam. Jika mereka tidak mau masuk Islam, maka kaum kafir itu diminta membayar jizyah. Dan jika mereka tetap tidak mau membayar jizyah, barulah kaum muslimin boleh memerangi mereka. (Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/149).

Hal ini berdasarkan hadits shahih dari Shahih Muslim dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya. (Lihat Shahih Muslim, kitabul Jihad, no. 1731, juga hadits yang semakna dalam Sunan Abu Dawud, no. 2858; Jami’ Tirmidzi, no. 1408). (Hisyam Al-Badrani, Syarah Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah  Juz 2, hlm. 176).

HT menolak pembatasan jihad hanya pada jihad defensif (jihad difa’i) saja, yaitu hanya disyariatkan dalam rangka bertahan terhadap serangan musuh. Pembatasan ini batil, karena dalam Islam juga terdapat jihad ofensif (jihad hujuumi/jihad thalab), yaitu jihad yang bersifat aktif menyerang musuh kafir lebih dahulu, tanpa menunggu diserang musuh. Jadi jihad defensif dan jihad ofensif kedua-duanya ada dan diakui dalam Islam, bukan hanya jihad defensif saja. (Lihat kitab HT berjudul Hatmiyyah Ash-Shira’ Baina Al-Hadharah Al-Islamiyyah wa al-Hadharah Al-Gharbiyyah).

Dalam Al-Qur`an terdapat dalil yang mensyariatkan jihad defensif (lihat QS Al-Baqarah : 190). Namun dalam Al-Qur`an juga terdapat dalil yang mensyariatkan jihad ofensif (misalnya QS At-Taubah : 29). Khalifah Umar bin Khaththab dulu banyak melakukan penaklukan (futuhat) yang hakikatnya adalah jihad ofensif yang tanpa menunggu serangan musuh lebih dulu.

Mereka yang membatasi jihad hanya pada jihad defensif sebenarnya telah melakukan ta`wil yang batil sebagai upaya membela diri dari serangan kaum orientalis yang kafir. Memang banyak kaum orientalis yang kafir yang telah menyerang dan mengecam jihad. Mereka memberi predikat-predikat buruk kepada jihad, misalnya disebut sebagai penyebaran agama dengan pedang, tindakan biadab, barbar, kejam, tak berperikemanusiaan, dan sebagainya. Dalam kitab Iftiraa`aat Haula Ghaayaat Al Jihad, karya Dr. Muhammad Na’im Yasin (Darul Arqam ; 1984) dapat dijumpai kutipan-kutipan serangan terhadap jihad yang dilontarkan oleh kaum orientalis yang kafir, seperti Philip K. Hitti, Ignaz Goldziher, Majid Khadduri, Arnold Toynbee, Lorents Brown, dan sebagainya.

Akhirnya sebagian umat Islam yang tersudut mencoba membela diri. Mereka ini sayangnya membela secara salah dan melakukan penakwilan yang batil dengan mengatakan bahwa jihad dalam Islam hanya jihad defensif saja. Jelas takwil ini seperti tak dapat diterima dan tertolak (marduud), karena bertentangan dengan nash syara’ dan realitas sejarah futuhat pada masa Khulafa`ur Rasyidin. (Lihat Busthomi Muhammad Said, Gerakan Pembaruan Agama (Mafhum Tajdid Ad-Diin), Bekasi : Wala Press, 1995, hlm. 317-321).

Jihad dan Penegakan Khilafah

Mungkin ada yang bertanya, apakah HT menggunakan jihad dalam perjuangannya menegakkan Khilafah?

Jawaban singkatnya : tidak. Dalam metode perjuangannya menegakkan kembali Khilafah, HT hanya melaksanakan dakwah dalam bentuk aktivitas politik (al-a‘maal as-siyasiyah), seperti mengkritik penguasa, menggalang aksi demonstrasi damai (masiirah), mengirim delegasi kepada para politikus, dan sebagainya. HT juga hanya melakukan dakwahnya dalam bentuk pergolakan pemikiran (ash-shira’ al fikri), seperti mengkritik  kapitalisme, demorasi, nasionalisme, pluralisme, dan sebagainya.

Jadi HT tidak menggunakan kekuatan fisik (al-quwwah al-maaddiyyah), yaitu perang atau mengangkat senjata untuk melawan penguasa atau siapa saja yang menentang dan menghalangi dakwah HT. (Hizbut Tahrir, hlm. 43).

Semua ini dilakukan HT dalam rangka meneladani Rasulullah SAW, karena  Rasulullah SAW pada fase Makkah hanya melakukan aktivitas dakwah saja, tidak mengangkat senjata melawan kaum kafir hingga hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah. Ketika orang-orang yang membaiat Rasulullah SAW dalam Baiat Aqabah Kedua mengajak kepada beliau untuk memerangi penduduk Mina dengan pedang, Rasulullah SAW menjawab,”Kita belum diperintahkan untuk itu [berperang] (lam nu`mar bidzalika].” (Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqat Al-Kubra; Ibnu Katsir, As-Sirah, 2/204; Al-Haitsami, Majma’uz Zawa`id, 6/48). (Hizbut Tahrir, hlm. 44; Muhammad Syuwaiki, Ath-Thariq ila Daulah Al-Khilafah, hlm. 40).

Namun demikian, jika suatu negeri Islam diserang kaum kafir, atau diduduki kaum kafir, seperti Palestina sekarang, maka syabab Hizbut Tahrir yang ada di negeri itu berkewajiban secara fardhu ‘ain untuk berjihad, sebagaimana kewajiban kaum muslimin yang lain. Para syabab Hizbut Tahrir dalam hal ini melaksanakan kewajiban jihad dalam kedudukan mereka sebagai individu muslim, bukan sebagai aktivis Hizbut Tahrir. Dan tujuannya adalah untuk membela diri, bukan untuk menegakkan Khilafah Islam dengan jalan jihad fi sabilillah. (Hizbut Tahrir (Ta’rif), hlm. 44).

Jihad dan Khilafah

HT memandang bahwa jihad adalah suatu kewajiban yang bersifat mutlak. Artinya, baik Khilafah itu ada maupun tidak ada, jihad tetap wajib dilaksanakan. Tidak dapat dikatakan bahwa kewajiban jihad hanya ada ketika Khilafah ada.

Yang demikian itu karena nash yang mewajibkan jihad bersifat mutlak (misal QS Al-Baqarah : 216), tanpa ada syarat atau taqyid (batasan) bahwa kewajiban jihad ini baru dapat dilaksanakan jika ada Khilafah.

Hanya saja, ketika Khilafah telah berdiri (insya Allah dalam waktu dekat ini), dan Khalifah telah dibaiat secara sah, maka urusan jihad diwakilkan kepada Khalifah yang sah ini. Umat Islam yang menjadi rakyat dalam negara Khilafah wajib mentaati Khalifah tersebut, termasuk mentaati Khalifah dalam urusan jihad, meski pun Khalifahnya fajir (fasik), asalkan dia tetap menjabat sebagai kepala negara Khilafah.

Sabda Rasulullah SAW dalam masalah ini telah jelas :

الْجِهَادُ وَاجِبٌ عَلَيْكُمْ مَعَ كُلِّ أَمِيْرٍ بَرّاً كَانَ أَوْ فَاجِراً

“Jihad itu wajib atas kalian bersama setiap pemimpin (amir), entah pemimpin yang baik entah pemimpin yang fajir (fasik).” (HR Abu Dawud, no. 2533; Daruquthni, 2/56; Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, no 5401).

Jihad bagi negara Khilafah mempunyai posisi yang sangat strategis. Karena jihad bukan saja berfungsi sebagai sarana pertahanan dari serangan musuh, namun lebih dari itu, jihad menjadi metode (thariqah) untuk mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Tentu cara melaksanakan jihad ini tidak boleh semena-mena, melainkan wajib berpegang dengan hukum syara’, yaitu tidak halal melancarkan jihad kepada suatu kaum kafir, kecuali disampaikan dulu kepada mereka ajakan masuk Islam dan membayar jizyah, sebagai hadits Sulaiman bin Buraidah RA dari ayahnya dalam Shahih Muslim yang telah dijelaskan di atas. (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 1/212; Ajhizah Daulah Al-Khilafah, hlm. 78). Wallahu a’lam.
 
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, MSI**

= = =
*Disampaikan dalam Diskusi Publik dengan tema “Jihad”, diselenggarakan oleh PCNU Kabupaten Cilacap, di Hotel Grand Liana, Cilacap, Sabtu, 23 Nopember 2013
** Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia DIY. Pimpinan (mudir) Pesantren Hamfara, Bantul, Yogyakarta. Pernah menjadi santri di PP Nurul Imdad, Bogor (diasuh oleh KH Ahmad Zaini Dahlan) tahun 1990-1992, dan PP Al-Azhhar, Bogor (diasuh oleh KH. Abbas Aula, Lc) tahun 1992-1994. Alumnus IPB Bogor (1997) dan Magister Studi Islam UII Yogyakarta (2009).

Posting Komentar untuk "Jihad dalam Perspektif Hizbut Tahrir"

close