Beratnya Amanah Kepemimpinan
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap
kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR
al-Bukhari dan Muslim).
Kepemimpinan—baik dalam level pribadi,
masyarakat ataupun negara—adalah amanah. Sesuai dengan sabda Rasul SAW
di atas, siapa saja yang memegang amanah kepemimpinan ini pasti akan
dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT di akhirat nanti.
Hakikat kepemimpinan tercermin dalam sabda Rasulullah SAW berikut,
“Sayyid al-qawm khadimuhum (Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka).”
(HR Abu Nu‘aim).
*****
Tahun ini adalah tahun pemilu di
tanah air. Melalui pemilu, banyak orang bernafsu—bahkan dengan segala
cara—untuk menjadi pemimpin, baik sebagai wakil rakyat ataupun penguasa.
Fenomena ini bertolak belakang dengan generasi salafush-shalih pada
masa lalu, yang umumnya takut dengan amanah kepemimpinan (kekuasaan).
Pasalnya, berbeda dengan generasi hari ini, generasi Muslim pada masa
lalu amat paham tentang betapa beratnya amanah kekuasaan. Banyak nash
yang menegaskan demikian. Rasulullah SAW, misalnya, bersabda, “Tidak
seorang hamba pun yang diserahi oleh Allah untuk memelihara dan
mengurusi kemaslahatan rakyat, lalu dia tidak melingkupi rakyat dengan
nasihat, kecuali ia tidak akan mencium bau surga.” (HR al-Bukhari).
Rasulullah SAW juga bersabda, “Tidaklah seorang penguasa diserahi
urusan kaum Muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan
tersebut, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya.” (HR
al-Bukhari dan Muslim).
Terkait dengan hadits ini, Imam Fudhail
bin Iyadh menuturkan, “Hadits ini merupakan ancaman bagi siapa saja yang
diserahi Allah SWT untuk mengurus urusan kaum Muslim, baik urusan
agama maupun dunia, kemudian ia berkhianat. Jika seseorang berkhianat
terhadap suatu urusan yang telah diserahkan kepadanya maka ia telah
terjatuh pada dosa besar dan akan dijauhkan dari surga. Penelantaran itu
bisa berbentuk tidak menjelaskan urusan-urusan agama kepada umat, tidak
menjaga syariah Allah dari unsur-unsur yang bisa merusak kesuciannya,
mengubah-ubah makna ayat-ayat Allah dan mengabaikan hudûd (hukum-hukum
Allah). Penelantaran itu juga bisa berwujud pengabaian terhadap hak-hak
umat, tidak menjaga keamanan mereka, tidak berjihad untuk mengusir
musuh-musuh mereka dan tidak menegakkan keadilan di tengah-tengah
mereka. Setiap orang yang melakukan hal ini dipandang telah
mengkhianati umat.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim).
Selain
itu, jika pemimpin (penguasa/pejabat/wakil rakyat) menzalimi rakyat dan
tidak menyayangi mereka, pemimpin seperti inilah seburuk-buruknya
pemimpin. Rasul SAW bersabda, “Sesungguhnya seburuk-buruk pemimpin
adalah al-Hathamah (mereka yang menzalimi rakyatnya dan tidak menyayangi
mereka).” (HR Muslim).
Karena itu, Islam sangat mendorong agar
para pemimpin/penguasa selalu bersikap adil. Sayangnya, pemimpin adil
tidak mungkin lahir dari rahim sistem demokrasi sekuler yang memang
kufur. Sistem zalim ini hanya bisa menghasilkan para pemimpin zalim,
tidak amanah dan jauh dari sifat adil. Pemimpin yang adil hanya mungkin
lahir dari rahim sistem yang juga adil. Itulah sistem Islam yang
diterapkan dalam institusi pemerintahan Islam (Khilafah).
Sejak
Rasulullah SAW diutus, tidak ada masyarakat yang mampu melahirkan para
penguasa yang amanah dan adil kecuali dalam masyarakat yang menerapkan
sistem Islam. Kita mengenal Khulafaur Rasyidin yang terkenal dalam
kearifan, keberanian dan ketegasannya dalam membela Islam dan kaum
Muslim. Mereka adalah negarawan-negarawan ulung yang sangat dicintai
oleh rakyatnya dan ditakuti oleh lawan-lawannya. Mereka juga
termasyhur sebagai pemimpin yang memiliki budi pekerti yang agung dan
luhur Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq adalah sosok penguasa yang terkenal
sabar dan lembut. Namun, beliau juga terkenal sebagai pemimpin yang
berani dan tegas. Tatkala sebagian kaum Muslim menolak kewajiban zakat,
beliau segera memerintahkan kaum Muslim untuk memerangi mereka.
Meskipun pendapatnya sempat disanggah oleh Umar bin al-Khaththab, beliau
tetap bergeming dengan pendapatnya. Stabilitas dan kewibawaan Negara
Islam harus dipertahankan meskipun harus mengambil risiko perang.
Khalifah Umar bin al-Khaththab sendiri terkenal sebagai penguasa yang
tegas dan sangat disiplin. Beliau tidak segan-segan merampas harta para
pejabatnya yang ditengarai berasal dari jalan yang tidak benar (Lihat:
Târîkh al-Islâm, II/388; dan Tahdzîb at-Tahdzîb, XII/267).
Tidakkah kita merindukan kembali kehadiran sistem Islam di tengah-tengah
kita yang bisa melahirkan para pemimpin yang adil dan amanah?
Wama tawfiqi illa bilLah. [abi]
Posting Komentar untuk "Beratnya Amanah Kepemimpinan"