Khilafah ar-Rasyidah dan Filosofi Bernegara dalam Islam
Ilustrasi : Menyongsong Abad Khilafah |
Dalam sebulan terakhir ini media massa banyak memberitakan tentang
Daulah Islam dan Khilafah ala ISIS yang diklaim telah diproklamasikan di
Irak. Berita tersebut dikaitkan dengan berita tentang berbagai tindakan
kekerasan, penindasan bahkan kekejaman; juga tentang perlakuan otoriter
terhadap warga termasuk warga sipil dan non-Muslim. Semua itu boleh
jadi bisa menimbulkan pemahaman keliru tentang syariah dan Khilafah di
tengah-tengah umat.
Waspadai Pengaburan Potret Khilafah
Di tengah isu tentang Khilafah ala ISIS, seminggu terakhir ini juga
tersebar berita bahwa Amerika Serikat membantu Irak dan kelompok Kurdi
untuk menyerang ISIS. Alasannya adalah demi kemanusiaan, yaitu untuk
mencegah genosida (pemusnahan massal) dan pembantaian. Padahal motif
kemanusiaan itu hanyalah kebohongan. Pasalnya, jauh sebelum ini,
genosida dan pembantaian juga terjadi di Suriah, Afrika Tengah, Myanmar
dan belahan dunia lainnya. Namun, AS tidak melakukan campur tangan
dengan alasan kemanusiaan. AS dan Barat tidak melakukan apa-apa.
Sebaliknya, AS dan Barat sebelumnya telah melakukan tindakan brutal
di Irak di Afganistan, Somalia dan belahan dunia lainnya. Tindakan AS
dan Barat telah memakan korban ratusan ribu bahkan jutaan orang tewas
maupun terluka.
Karena itu berbagai berita itu haruslah disikapi dengan benar. Jika
pun berita-berita tentang apa yang terjadi itu benar, tindakan seperti
yang diberitakan itu jelas tidak dibenarkan oleh syariah. Bahkan metode
memproklamasikan dan menegakkan negara yang diklaim itu sejak awal sudah
keliru. Sekali lagi, jika memang berita-berita itu benar maka: Pertama,
kita tidak boleh terperdaya dan tersesatkan sehingga menilai AS dan
Barat sebagai penyelamat. Tindakan AS dan Barat serta rezim-rezim
diktator dukungan mereka seperti di Suriah, bahkan kebiadaban Israel,
jauh lebih brutal dan kejam. Kedua, kita tak boleh terpalingkan dari kewajiban syar’i untuk terus berjuang menegakkan Khilafah ar-Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian.
Khilafah yang Sebenarnya
Khilafah adalah negara kaum Muslim di seluruh dunia untuk menerapkan
Islam, baik di dalam maupun luar negeri. Negara adalah organisasi
politik yang berfungsi untuk menerapkan kumpulan pemahaman (mafahim), standarisasi (maqayis) dan keyakinan (qana’at) yang diterima dan diemban oleh umat.
Karena itu mendirikan negara Khilafah tak bisa serta-merta dengan
mengambil-alih kekuasaan, kemudian semuanya dianggap selesai begitu
kekuasaan di tangan. Pasalnya, yang paling mendasar dalam bernegara
adalah penerimaan umat terhadap kumpulan pemahaman, standarisasi dan
keyakinan yang akan diterapkan kepada mereka. Jika tidak, maka negara
itu adanya seperti tidak ada; keberadaannya tidak bisa mewujudkan tujuan
bernegara.
Nabi saw. telah mengajarkan metode baku dalam mendirikan Negara Islam
di Madinah. Beliau memulai langkahnya dengan proses pembinaan serta
penanaman (tatsqif) kumpulan pemahaman, standarisasi dan keyakinan yang hendak diterapkan itu kepada umat; juga kepada ahlul quwwah (para pemilik kekuasaan) sekaligus meminta nushrah (dukungan) mereka. Ketika umat dan ahlul quwwah menerima dan mengembannya, mereka lalu memberikan mandat kekuasaan mereka (taslim al-hukm) kepada Nabi saw. untuk menerapkan kumpulan pemahaman, standarisasi dan keyakinan tersebut kepada mereka.
Sebagai organisasi yang berfungsi untuk menerapkan kumpulan
pemahaman, standarisasi dan keyakinan kepada rakyat, negara memang
membutuhkan kekuatan (quwwah). Kekuatan juga dibutuhkan untuk menjaga dan melindungi negara. Namun, negara bukanlah kekuatan (quwwah) yang identik dengan militer. Negara juga tidak boleh menggunakan pendekatan militeristik, apalagi menjelma menjadi military state
(negara militer). Selain akan menjadi ‘monster’, penjelmaan negara
seperti ini juga menjadi madarat bagi umat. Padahal Nabi saw. bersabda:
«مَنْ رَوَّعَ مُسْلِمًا رَوَّعَهُ اللهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ، وَمَنْ أَفْشَى سِرَّ أَخِيْهِ أَفْشَى اللهُ سِرَّهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ.»
Siapa saja yang meneror seorang Muslim, Allah akan meneror dia
pada Hari Kiamat. Siapa saja yang menyebarkan rahasia saudaranya, Allah
akan menyebarkan rahasianya pada Hari Kiamat kepada para makhluk (Dikeluarkan oleh ar-Rabi’ bin Habib dalam Musnad).
Nabi saw. juga bersabda:
«لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ فِي الإسْلاَمِ»
Tidak boleh ada kemadaratan (dharar) dan sesuatu yang bisa memadaratkan (dhirar) dalam Islam (HR Ibn Majah, ad-Daruquthni dan Malik).
Karena itu negara militer (military state), negara totaliter atau negara otoriter jelas diharamkan dalam Islam (Al-Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 242 & 246, cet. VI, edisi Muktamadah, 1422 H).
Negara Khilafah, sebagaimana yang digariskan oleh Nabi saw.,
disyariatkan untuk mengurus urusan umat dengan menerapkan hukum syariah.
Nabi saw. bersabda:
«الأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى الناَّسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Pemimpin umat manusia adalah pengurus rakyat. Dia bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, Ibn Hibban, an-Nasa’i dan al-Baihaqi).
Karena itu negara (ad-dawlah) dan kekuasaan (as-sulthan)
dalam Islam ada untuk mengurus urusan umat. Tanpa itu tidak mungkin
urusan umat bisa diwujudkan. Maka dari itu, filosofi dasar bernegara
dalam Islam adalah mewujudkan kemaslahatan umum (al-mashlahah al-‘ammah) baik yang bersifat vital (al-mashlahah ad-dharuriyyah) seperti menjaga agama (hifdz ad-din), jiwa (an-nafs), akal (al-‘aql), keturunan (an-nasl), kehormatan (al-karamah), harta (al-mal), keamanan (al-amn) dan menjaga negara (hifdz ad-daulah); maupun kemaslahatan pelengkap (al-mashlahah al-takmiliyyah), dibutuhkan (al-mashlahah al-hajiyyah) dan kebaikan (al-mashlahah at-tahsiniyyah).
Kemaslahatan vital, seperti menjaga agama, akan terwujud jika negara
menerapkan Islam dengan benar dan konsekuen, serta menjaga Islam dari
berbagai penyimpangan. Caranya adalah dengan penerapan sanksi atas orang
murtad serta orang yang pahamnya salah. Jiwa akan terjaga jika qishash
diterapkan atas orang yang menghilangkan nyawa orang lain. Akal akan
terjaga ketika khamer, narkoba dan sejenisnya diharamkan dan siapa saja
yang terlibat dengan itu dikenai sanksi. Keturunan akan terjaga ketika
hukum pernikahan diterapkan, zina diharamkan dan sanksi bagi pelakunya
ditegakkan. Kehormatan juga akan terwujud ketika orang yang menuduh zina
dijatuhi sanksi sekaligus ditolak kesaksiannya. Harta akan terjaga
ketika pencurian, korupsi dan perampokan dikenai sanksi. Keamanan pun
akan terjaga ketika bughat, begal dan pengacau keamanan dilarang serta pelakunya dijatuhi sanksi yang berat.
Namun, kemaslahatan vital ini tidak bisa diwujudkan sendiri karena
membutuhkan seperangkat hukum syariah yang lain. Karena itu ada
kemaslahatan pelengkap (al-mashlahah al-takmiliyyah), seperti
larangan melihat lawan jenis, berdua-duaan dan membuka aurat, yang
melengkapi larangan berzina. Sebab, zina tidak hanya diharamkan, tetapi
semua pintu perzinaan juga wajib ditutup rapat-rapat.
Hukum syariah juga mewujudkan kemaslahatan yang dibutuhkan (al-mashlahah al-hajiyyah), seperti rukhshah
tidak berpuasa bagi musafir dan orang yang sakit; menjamak dan
memendekkan shalat bagi musafir; bertayamum bagi orang yang sakit dan
tidak menemukan air. Selain itu, hukum syariah juga mewujudkan
kemaslahatan kebaikan (al-mashlahah at-tahsiniyyah), seperti
bersuci dari najis, hadas besar dan kecil; larangan kencing di lubang,
atau air yang berhenti; memakai wangi-wangian, memotong kuku, menyisir
rambut, dan sebagainya. Semuanya ini merupakan kemaslahatan yang
bersifat tahsiniyyah.
Seluruh kemaslahatan ini hanya bisa diwujudkan dengan menerapkan
syariah Islam dengan sempurna, baik dan benar, sebagaimana firman Allah
SWT:
﴿وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعاَلَمِيْنَ﴾
Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Makna “rahmat[an]” adalah jalb al-mashalih (terpenuhinya kemaslahatan) dan daf’u al-mafasid
(terhindarkannya kerusakan dan kemadaratan). Ini berlaku bukan hanya
untuk orang Islam, tetapi juga non-Muslim; bukan hanya untuk manusia,
tetapi juga alam dan kehidupan. Itulah makna frasa rahmat[an] li al-‘alamin.
Hanya saja, seluruh kemaslahatan tersebut tidak akan terwujud jika
syariah Islam tidak diterapkan dengan sempurna, baik dan benar, di bawah
naungan Khilafah. Khilafah itu haruslah yang mampu menerapkan syariah
Islam dengan sempurna, baik dan benar. Itulah Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.
Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah ini dibangun dengan pondasi
umat Islam yang menerima dan meyakini kumpulan pemahaman, standarisasi
dan keyakinan Islam yang diterapkan kepada mereka; sebagaimana Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah yang pertama. Metode yang digunakan untuk membangun Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah
juga mengikuti sepenuhnya metode Nabi saw. dan para Sahabat dalam
mendirikan negara. Para pendiri dan pemangkunya juga mempunyai karakter
sebagaimana pendiri dan pemangku Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah yang pertama.
Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah menerapkan Islam secara
sempurna, dengan baik dan benar, di dalamnya darah, harta, kehormatan,
akal, keturunan manusia baik Muslim maupun non Mulsim akan terjaga dan
terlindungi.
Begitulah Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Itulah Khilafah yang wajib ditegakkan dan diperjuangkan oleh umat Islam di seluruh dunia. Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah ini akan menjadi pangkal kebangkitan dan kemuliaan umat Islam. Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah ini juga menjadi solusi dari berbagai masalah yang menyelimuti umat Islam. WalLahu a’lam. [Al-Islam edisi 718, 26 Syawal 1435 H-22 Agustus 2014 M]
Posting Komentar untuk "Khilafah ar-Rasyidah dan Filosofi Bernegara dalam Islam"