Madura Jadi Provinsi, Sebuah Persoalan Paradigmatis


Oleh: Ibnu Rusdi (*)

Opini Madura sebagai propinsi masih hangat untuk diperbincangkan. Sebagaimana Bali yang terpisah dari daratan Jawa, Madura juga sama. Secara geografis, demografi, dan dinamika kemasyarakatan, Madura layak disepadankan dengan Bali. Potensi sumber daya alam, sekalipun sebagian jenis lahannya batu bertanah, tetapi kualifikasi tanah suburnya terhampar luas. Belum lagi perut bumi Madura ditengarai menyimpan beberapa jenis tambang potensial. SDM pun terestimasi cukup untuk keperluan menjalankan pemerintahan dan kemasyarakatan selevel provinsi. Kultur pesantren yang masih cukup kental mewarnai langgam interaksi pemuka agama dan masyarakatnya merupakan modal utama tumbuhnya masyarakat yang dinamis.


Dari aspek material, dapat dikatakan bahwa mengangkat Madura menjadi propinsi tidak bermasalah. Akan tetapi, kita perlu bertimbang latar belakang lahirnya kebijakan pemekaran wilayah sejauh ini. Dua pemicu lahirnya promosi tersebut adalah kondisi kemiskinan yang dominan, serta fakta pembangunan antara pusat dan daerah yang tidak merata. Perspektif umum yang terbangun mendeskripsikan bahwa pemekaran wilayah merupakan pintu pemecahan paling solutif. Akhirnya, masyarakat menuntut perubahan pada upaya meningkatkan hirarki pemerintahan wilayahnya.

Sebelum lebih lanjut memberi keputusan setuju atau menolak agenda pemekaran ini, ada baiknya dilakukan telaah kritis atas mata rantai 'sejarah'. Mengingat suara pro dan kontra memperlihatkan argumentasi yang sama-sama rasional dan kuantitas pendukung yang ditaksir tidak jauh berbeda.

Tinjauan pertama ialah bacaan terhadap kondisi faktual kemiskinan masyarakat Madura. Jika jumlah keluarga penerima "beras miskin" bisa dijadikan tolok ukur, maka angka kemiskinan di Madura tergolong cukup tinggi. Desa secara umum menerima bantuan Raskin kisaran sepertiga jumlah total seluruh keluarga. Berarti 30% masyarakat Madura terkategori miskin.

Penyebab kemiskinan dapat ditelusuri kemudian. Miskin alamiah disebabkan kondisi alam yang tidak produktif, agaknya bukan sifat bumi Madura. Ataukah miskin kultural berupa keumuman masyarakat emoh bekerja, juga bukan karakter orang Madura. Etos kerja yang tinggi dibuktikan dengan besarnya jumlah warga Madura menjadi kaum urban di banyak daerah perkotaan yang berhasil secara ekonomi. Belum lagi yang 'terpaksa' menjadi tenaga kerja di negeri-negeri jiran. Ataukah kualifikasi terakhir, yaitu miskin struktural yang diakibatkan salah urus nasib rakyat oleh negara. Miskin kategori terakhir inilah agaknya duduk masalah sebenarnya. Kebijakan negara yang berpedoman pada paradigma ekonomi kapitalistik menjadi sumber kemiskinan yang akut. Negeri beruntai manikam, hamparan pasir putih, dan taman-taman bunga yang seluruhnya mengandung nilai komersial, ternyata memilih paradigma dan mekanisme ekonomi yang menyebabkan kondisi kemiskinan terus-menerus menurun: dari kakek, ke bapak, ke cucu, dan belum mau berhenti meskipun telah menurun ke cicitnya.

Tinjauan Kedua ialah efektivitas pemekaran wilayah menuju masyarakat lebih sejahtera. Untuk acuan atas variabel ini, kita pun dihadapkan pada kenyataan yang kurang menggembirakan. Hasil kajian pemerintah atas 205 daerah pemekaran interval tahun 1999 – 2010, didapati potret buruk dengan 78% daerah hasil pemekaran gagal dalam dua isu utama: gagal menyejahterakan rakyat dan meningkatkan kualitas layanan publik.

Jika pada domain paling penting tujuan dimekarkannya wilayah peluangnya tertutup, tentu melanjutkan opini Madura provinsi bukanlah arus yang sangat penting. Sebab, jadi provinsi atau tetap sebagai pulau dengan empat kabupaten tidaklah memberikan banyak pengaruh. Boleh jadi peningkatan pada level provinsi justru akan menambah jumlah pejabat publik yang menampilkan performa seperti raja-raja kecil sebagaimana selama ini banyak terjadi. Akan lebih bijaksana dan adil bila energi perubahan itu diarahkan kepada terwujudnya paradigma baru. Sistem pengaturan ekonomi liberal kapitalistik yang nyata-nyata gagal menyediakan dan memberi perlindungan bagi ketahanan ekonomi, harus digantikan dengan tata kelola yang lain yang menyajikan konsep antitesis atas kerusakan kapitalisme. Itulah sistem ekonomi Islam. Satu-satunya wujud pengaturan ekonomi yang menjadikan halal haram sebagai background aktivitasnya. Dan sensitivitas pemimpin bagi pemeliharaan hidup setiap jiwa dari rakyatnya.

Tugas pemeliharaan keberlangsungan hidup setiap jiwa dari rakyat disajikan oleh Pemerintahan Islam pada derajat paling cemerlang konsepnya, paling gemilang riwayat historisnya, dan paling siaga menyongsong kepemimpinan masa depannya.

Di tangan Khalifah bergantung tugas pemeliharaan urusan rakyat dengan paradigma: 1) Memastikan tersedianya bahan dan tersampaikannya distribusi pemenuhan hajat dasar manusia berupa sandang, pangan, dan papan untuk seluruh rakyat hingga warga yang teridentifikasi paling lemah; 2) Memberi secara berkecukupan peluang usaha dan pembangunan sarana prasarana untuk memenuhi kebutuhan penyempurna sesuai kesanggupan perseorangan tanpa ada deskriminasi; 3) Memberikan secara simultan pendidikan pengusahaan kepemilikan serta pengelolaan harta dan kekayaan secara Islami.

Sebuah anatomi pengelolaan urusan kesejahteraan rakyat bersumberkan wahyu Allah dan dibuktikan keagungannya oleh sejarah panjang 13 abad kekuasaan Khilafah Islam dengan berkelimpahan harta. Saatnya telah tiba bagi umat Islam, termasuk kaum Muslimin Madura, untuk bergerak mewujudkan kembali kerahmatan agamanya atas segenap umat manusia. [VM]

(*) Departemen Politik HTI Madura

Posting Komentar untuk "Madura Jadi Provinsi, Sebuah Persoalan Paradigmatis"