Banser Jangan Pukul Saudara Sendiri!
Oleh : Suryo Sucipto
(Divisi Litbang Garda Rakyat 1945)
Belum usai perang melawan terorisme ala BNPT. Secara global langkah sistemik yang dilakukan oleh BNPT adalah sesuai dengan arahan RAND Corporation, ICG (International Crisis Group), dan tekanan asing lainnya (AS, Australia, dll). Hal ini sebagaimana laporan mereka “Indonesian Jihadism: Small Groups Big Plans” Asian Report No. 204 pada tanggal 19 April 2011. ICG memberikan rekomendasi kepada BNPT dan Menteri Hukum-HAM. Implementasi rekomendasi itu dalam bentuk program deradikalisasi di Indonesia oleh BNPT secara masif. Diantaranya BNPT harus melakukan kolaborasi kerjasama dengan berbagai pihak. Selain yang terbaru ini bekerjasama dengan Dewan Pers, BNPT sebelumnya sudah menggandeng beberapa ormas Islam (MUI, NU, LDII, dll), LSM (The Wahid Institute, dll) dan sekolah/kampus (UI, dll). NU sudah menandatangani MoU pada 11 Agustus 2011.
Secara teknis NU diminta membantu pemberantasan terorisme melalui langkah persuasif berupa deradikalisasi. Sebagaimana beberapa pernyataan pengurusnya. “Deradikalisasi memang tugasnya ormas, tapi kalau pemberantasan terorismenya itu kewajiban aparat. NU sangat mendukung kerjasama ini, yang prakteknya akan memberikan pemahaman ke umat agar menghindari sikap radikal,” ungkap Kang Said di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya No.164, Jakarta Pusat, Senin, 15 Agustus 2011. Pengurus Muslimat NU juga menandatangani MoU 16 Februari 2012.
BNPT juga membangun kemitraan sampai di level provinsi. Diantaranya di Jawa Timur, sebanyak 100 mubaligh (juru dakwah) LDII se-Jawa Timur mengikuti Latihan Dakwah Deradikalisasi di auditorium IAIN Sunan Ampel Surabaya pada 19-20 Mei 2012, kerja sama DPW LDII Jawa Timur dengan Jurusan Siyasah Jinayah Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Konsep deradikalisasi telah menjadi salah satu bagian dari “MoU” yang ditandatangani DPP LDII dengan PBNU pada Rakernas LDII.
Tidak hanya membangun kemitraan di level lokal nasional, langkah BNPT juga diback up oleh penguatan opini internasional di kawasan Asia Pasifik. Masih segar dalam ingatan kita misalnya tentang berita direleasenya dua “teroris” oleh Departemen Keuangan AS menjelang diselenggarakannya forum APEC di Bali. Pasca sebelumnya, terdapat forum Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) tanggal 7-19 April 2013 di Hotel JW Marriot dan Sheraton Surabaya yang dihadiri kurang lebih delegasi 21 negara. Dimana di forum itu Indonesia didaulat sebagai tuan rumah dan dianggap negara paling sukses menjalankan proyek "war on terrorism" dengan strategi soft powernya (deradikalisasi ala BNPT).
Bangunan kemitraan oleh BNPT dengan berbagai pihak secara sistemik seolah-olah sebagai upaya menutupi pengabaian terhadap undang-undang. Padahal beberapa tindakan yang melanggar hukum atas nama "war on terrorism" dalam bentuk beragam ekstra judicial killing dan ekstra judicial action kepada masyarakat sipil adalah bentuk terorisme oleh negara secara sistematis. Yakni pelanggaran terhadap aturan-aturan yang dibuat oleh negara ini sendiri seperti pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J, UU Nomer 5 tahun 1988, UU Nomer 39 tahun 1999, UU Nomer 23 tahun 2002, UU Nomer 11 tahun 2005, UU No 12 tahun 2005, Keppres Nomer 36 tahun 1990, Peraturan Kapolri Nomer 8 tahun 2009. Termasuk juga pelanggaran terhadap konvensi internasional seperti DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia).
Jadi, yang sedang terjadi sebenarnya adalah upaya membungkam orang dan organisasi yang secara tegas menyuarakan penyelamatan Indonesia. Lantas siapa yang diuntungkan? Tentu, mereka yang tidak menginginkan Indonesia kuat. Mereka ingin putra-putri negeri Muslim terbesar ini terus porak-poranda. Mereka yang diuntungkan adalah kaum asing dan aseng. Menarik dicatat, sebagian tokoh pendukung Ahmadiyah itu adalah para tokoh penting di balik Reformasi 1998 yang mendapat bantuan dana 26 juta dolar AS dari USAID untuk menjalankan agenda AS. Bantuan dana ini dapat dilihat dalam The New York Times (20 Mei 1998). Bahkan, salah satu rekomendasi The Rand Corporation dalam menundukkan Islam adalah mencegah aliansi antara kaum tradisionalis dan kaum fundamentalis. Caranya adalah dengan mengadu-domba.
Dan Kini, seperti yang dilansir beberapa media massa. Ribuan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) dari berbagai wilayah khususnya di Jawa menggelar apel siaga. Mereka menunjukkan keseriusan dalam menghadang paham radikalisme yang masuk di Indonesia. Ratusan Banser menggelar apel dan mendesak aparat kepolisian membubarkan pelaksanaan muktamar HTI yang diselenggarakan berbagai kota.
Studi Kasus dalam apel yang diikuti oleh ratusan Banser dari 26 PAC Ansor-Banser se-Kabupaten Kediri melakukan empat tuntutan. Pertama, Polri sebagai alat negara agar menjunjung tinggi azas Pancasila sebagai ideologi negara dan menjaga keutuhan NKRI. Kedua, Polri harus bersikap tegas terhadap organisasi yang tidak sehaluan dengan empat pilar kebangsaan yaitu, Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika.
Ketiga, demi menjaga kondusifitas masyarakat Kabupaten Kediri, Polri diminta menganulir acara muktamar tokoh umat yang disinyalir membawa misi penyebaran khilafah Islamiyah. Dan keempat, PC GP Ansor dan Satkorcab Banser Kabupaten Kediri siap bekerjasama dengan siapapun untuk menolak gerakan penyebaran ajaran Khilafah Islamiyah di Kabupaten Kediri dan akan menurunkan spanduk dan tulisan yang tidak sejalan dengan Pancasila dan NKRI.
Sampai saat ini kami mendapat kabar dari kawan-kawan HTI, bahwa agenda Muktamar HTI di beberapa kota sukses dibatalkan karena ada pressure pihak-pihak tertentu. Jelas ini diskriminatif, melanggar HAM dan anti-rakyat. Pasalnya, HTI dalam berbagai agendanya kita kenal tertib dan tanpa ada cacatan kriminal kekerasan. Yang lebih penting lagi di situasi demokrasi liberal ini, HTI sungguh-sungguh menunjukkan watak nasionalisme-nya; terbukti berbagai even dan tulisan yang menolak segala undang-undang yang pro-swasta, dalam demo-demonya selalu berkoar-koar anti intervensi Amerika Serikat, China dan Inggris. Semangat anti penjajahan anak-anak muda HTI ini juga termasuk manifestasi semangat founding father NKRI, Bung Karno Amerika digilas, Inggris dilinggis, namun dalam format gerakan Islam. Ingat dan pelototi Bung, HTI berjuang secara konseptual dan memproduksi jalan keluar dari krisis dan penjajahan negeri kita dalam formula yang santun. Jika diganggu-ganggu, penulis khawatir akan ada bencana dahsyat di NKRI tercinta ini. Kepada kawan-kawan HTI, hendaknya jangan terpancing dan jangan reaktif terhadap ujian kecil ini.
Saatnya kita duduk berdampingan, lebih dari 200 juta Muslim Indonesia terus menjadi sasaran empuk dari serangan politik Identitas yang merupakan teror psikologis bagi kepercayaan diri umat dan penindasan identitas bagi mereka yang ingin melaksanakan Islam Kaffah. Barat menginginkan sosok seorang Muslim harus diukur dari kategorisasi “buatan Barat” dimana sosok “Muslim moderat” disenangi dan dipuja, “Muslim Radikal” harus dimusuhi dan dibasmi. Demonologi Islam dan setanisasi Khilafah terus diproduksi untuk mendeskriditkan organisasi dan kelompok Islam yang dianggap radikal, meski definisi radikalisme agama itu masih sangat dipertanyakan keabsahannya dan bias kepentingan.
Jelas ini adalah bagian tidak terpisahkan dari imperialism yakni penjajahan non fisik seperti kata ikon orientalis Asia Tenggara, Snouck Hurgronje, “Tidak ada faedahnya kita memerangi kaum Muslimin atau berkonfrontasi untuk menghancurkan Islam dengan kekuatan senjata. Itu semua bisa kita lakukan dengan mengadu domba mereka dari dalam dengan menanamkan perselisihan agama, pemikiran, dan mazhab, dan menumbuhkan keraguan kaum Muslimin pada kebersihan pemimpin-pemimpin mereka.” [VM]
Posting Komentar untuk "Banser Jangan Pukul Saudara Sendiri!"