Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Berkaca pada Kasus Sony Sandra - Kediri : Kapitalisme Menyuburkan Predator Se[k]s

Foto Sony Sandra [radarkediri.net]
Oleh : Umar Syarifudin 
Syabab Hizbut Tahrir Indonesia (Praktisi Politik)

Selain kasus korupsi, kejahatan lain yang patut mendapat perhatian adalah tindak kekerasan dan kejahatan Se[k]sual pada anak dan perempuan. Dunia anak masih dalam duka. Hidup dan kehidupan anak terus ternoda dan dinodai oleh berbagai aksi kekerasan baik yang datang dari keluarga, sekolah, lingkungan sekitar, bahkan negara. Dari tahun ke tahun berbagai aksi kekerasan tersebut terus mengalami peningkatan.

Nama Sony Sandra menjadi terkenal setelah berhasil menggandeng Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kediri dan menguasai hampir seluruh proyek fisik Pemkab Kediri, termasuk Monumen Simpang Lima Gumul, yang mulai dibangun pada 2002 dengan anggaran lebih dari 350 milyar.

Proyek tersebut dibiayai secara voorfinanciring dan multi years dan ditengarai penuh dengan potensi tindak pidana korupsi. Bangunan yang menjiplak Monumen Arch de Thriompe di Paris ini digadang-gadang menjadi pusat kegiatan bisnis. Kini Direktur PT Triple S Kediri itu ditetapkan sebagai tersangka kasus pencabulan belasan anak di bawah umur. Sony ditangkap di Bandara Internasional Juanda Surabaya. Pengusaha ternama yang juga rekanan Pemkab Kediri dalam pembangunan monumen Simpang Lima Gumul (SLG) itu diduga hendak kabur ke luar negeri.

Sebelumnya pelaku pencabulan kerap dipanggil Koko. Ia diidentifikasi sebagai lelaki berusia 60 tahun berketurunan Tionghoa. Sony alias Koko dilaporkan telah meniduri sejumlah gadis dengan usia 13-17 tahun. Sedikitnya lima anak telah melapor ke kepolisian. Informasi pada Juli 2015 jumlah korban mencapai 15 anak. Hanya saja tidak semuanya bersedia membuka diri. Para korban berlatar belakang keluarga broken home. Usai merenggut kehormatan korbanya, Sony memberi imbalan Rp 400 ribu -Rp 800 ribu. "Korban ditangkap saat hendak terbang ke negara Eropa, " terang Kapolres Kota Kediri AKBP Bambang Widjanarko (okezone.com 14/7/2015).

Sebelum dicabuli, korban yang masih pelajar SD dan SMP itu dicekoki obat terlarang. Saat ini kasusnya sedang disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Kota Kediri dan PN Kabupaten Kediri. Berbagai kalangan mendesak Majelis Hakim memberikan hukuman mati kepada penguasaha yang sebelumnya sempat lolos dari jerat hukum.

Tim Peduli Kediri untuk kasus pemerkosaan terhadap 58 anak, terdiri dari tokoh masyarakat, yakni Sofyano Zakaria, M Hatta Taliwang, Ferdinand Hutahean,  berhasil menemui orangtua korban di Kediri. TPK didampingi aktivis dari Yayasan Kekuatan Cinta Indonesia Jeane Latumahina, dan Habib SH Mhum Ketua LSM Brantas/OKP/Ormas.

Di Kediri, Soni pria keturunan ini dikenal ditakuti karena kemampuan ekonominya yang sangat mapan. Dia juga disebut menguasai proyek ABPD dan bisa melakukan apa saja dengan uang yang dia miliki, bahkan hingga mengintimidasi masyarakat supaya bungkam.

Tim Peduli Kediri menyebutkan, anak-anak yang diperkosa sebelumnya diberi obat dan diperkosa berbarengan dalam satu kamar hotel yang berisikan 3 sampai 5 anak. Perbuatan jahat ini dilakukan oleh pelaku berulang-ulang tanpa ada yang mengusik dan bebas hingga pada satu ketika satu korban bernama AK umur 12 tahun selama 4 hari tidak kembali ke rumah dan akhirnya ditemukan di jalan oleh ibunya dalam keadaan seperti hilang akal. Akhirnya korban bersama ibunya melaporkan kejadian yang menimpanya ke polisi dan diproses hingga membuka tabir jahat ini ke tengah publik.

harianterbit.com (14/5) dalam sebuah judul berita  Pengusaha Ternama Perkosa 58 Anak, Layak Dihukum Mati, mengabarkan perbuatan jahat ini dilakukan oleh pelaku berulang ulang tanpa ada yang mengusik dan bebas hingga pada satu ketika satu korban bernama AK umur 12 tahun selama 4 hari tidak kembali kerumah dan akhirnya ditemukan dijalan oleh ibunya dalam keadaan seperti hilang akal. Akhirnya korban bersama ibunya melaporkan kejadian yang menimpanya ke polisi dan diproses hingga membuka tabir jahat ini ketengah publik.

Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) bahkan pernah menetapkan Sony Sandra bersama tiga pejabat Pemkab Kediri sebagai tersangka, namun status tersebut kemudian dicabut kembali. Tak heran jika Sony Sandra juga dikenal sebagai “orang kuat” di Kediri.

Namun hari ini takdir menentukan lain. Orang kuat yang selalu lolos dari jeratan tindak pidana korupsi, ternyata terjeblos dalam tindak pidana pencabulan anal-anak di bawah umur (tabloidsergap. wordpress.com 13/7/15).

Kapitalisme Menyuburkan Kejahatan Se[k]sual

Di Tanah Air kekerasan Se[k]sual terhadap anak dan perempuan menjadi persoalan yang belum kunjung tuntas. Alih-alih tuntas, justru kuantitas dan kualitas kekerasan ini mengalami peningkatan. Ada asap pastinya ada api. Jika direnungkan, maraknya pencabulan dan perkosaan berujung pada sekulerisme dan kebebasan. Sekulerisme meminggirkan keimanan dan ketakwaan.  Jadilah, masyarakat sekarang ibarat mobil remnya blong.  Sementara paham dan praktek kebebasan ibarat gas yang mendorong, memacu dan membuka peluang terjadinya pencabulan dan perkosaan.

Tak bisa dipungkiri bahwa maraknya kekerasan dan kejahatan Se[k]sual terhadap anak-anak dan perempuan adalah dampak dari liberalisme nilai-nilai sosial. Pornografi yang semakin deras ke tengah masyarakat telah mendorong bagi banyak orang melakukan kejahatan Se[k]sual. Kaum perempuan sekarang tidak lagi merasakan keamanan, bahkan di tempat umum dan keramaian sekalipun. Beberapa kali pelecehan Se[k]sual terjadi di tengah keramaian seperti angkutan umum, pasar. Anak-anak juga semakin tak terlindungi, bahkan dari perbuatan kawan sebayanya sendiri! Selain kasus Sony Sandra, beberapa kasus tindak pemerkosaan justru dilakukan oleh teman sepermainan dan masih duduk di bangku SD.

Semakin banyaknya perempuan dan anak-anak yang menjadi korban membuat klaim demokrasi sebagai sistem yang mengusung prinsip egaliter patut diragukan. Di mana-mana demokrasi gagal memberikan jaminan kesetaraan dan perlindungan kepada kelompok masyarakat lemah, termasuk kaum wanita dan anak-anak, termasuk di AS yang disebut kampiun demokrsi. Lebih dari 22 juta wanita di AS pernah mengalami tindak pemerkosaan dalam hidup mereka (National Intimate Partner and Sexual Violence Survey 2010). Berdasarkan perhitungan dari National Crime Victimization Survey pada tahun 2012, setiap 90 detik terjadi satu kekerasan Se[k]sual di AS (Bureau of Justice Statistics, U.S. Department of Justice). Ancaman terhadap kaum perempuan bukan saja terjadi di AS, tetapi bisa ditemukan di negara-negara yang mengusung ideologi demokrasi-kapitalisme. Padahal salah satu prinsip yang menjadi jargon demokrasi adalah kesamaan hak, atau egaliter.

Sudah begitu, berbagai pemicu syahwat dan berbagai hal yang membuka peluang terjadinya kejahatan itu begitu marak dan tersebar luas.  Tindakan penguasa untuk mencegah, menindak dan menanggulanginya juga terlihat sangat minim. Disisi lain, sistem hukum yang seharusnya berfungsi sebagai palang terakhir nyatanya begitu lemah dan malfungsi.

Pemicu syahwat seperti pornografi dan pornoaksi begitu marak beredar di masyarakat.  Konten pornografi dan pornoaksi tetap begitu banyak meruyak di dunia maya.  Dengan kecanggihan alat komunikasi atau gadget, konten pornografi makin mudah diakses dan disebar. Kasus pencabulan oleh 5 siswa SD kepada kawannya salah satu bukti begitu merusaknya efek film porno. Bila bocah SD saja bisa mengakses video porno apalagi orang dewasa.

Muatan pornografi juga banyak terpampang di media cetak dan elektronik. Banyak tayangan majalah dan di televisi mengarahkan pada kehidupan bebas dan mengumbar aurat wanita. UU Pornografi tidak melarang produksi dan penyebaran foto atau gambar maupun film yang memperlihatkan aurat wanita atau adegan persetubuhan yang disamarkan. Film-film yang banyak muatan erotis terus marak di layar bioskop.

Semakin banyaknya kejahatan Se[k]sual menandakan semakin banyak pria berperilaku menyimpang. Mereka tidak lagi punya rasa hormat kepada kaum wanita. Bagi mereka kaum perempuan hanyalah makhluk lemah dan obyek pelampiasan hawa nafsu yang bisa ditindas.  Hal itu seakan melengkapi anggapan dan perlakuan dunia bisnis yang memperlakukan perempuan layaknya obyek bisnis atau pemanis barang dagangan. Ada beberapa faktor sehingga kasus-kasus kejahatan Se[k]s berulang-ulang terjadi kepada anak :

Pertama, semakin gampangnya orang mengakses pornografi. Dampaknya bisa ditebak; pelaku menjadi porn addict dan akhirnya mencari pelampiasan. Korban yang paling mudah disasar adalah anak kecil. Mereka mudah dibujuk, diancam, atau dibunuh sekalian. Kedua, banyak wanita yang senang memakai busana minim dan ketat. Pria dewasa normal akan terangsang dan sebagian dari mereka akan mencari pelampiasan hasrat Se[k]sualnya. Lagi-lagi, korban yang paling gampang disasar adalah anak-anak.

Ketiga, keteledoran orang tua. Banyak bocah perempuan didandani dengan pakaian tanktop, rok mini, dsb. Ini menimbulkan godaan bagi kaum pedofil untuk menyasar mereka. Orang tua seharusnya memberikan pakaian yang wajar, lebih baik lagi menutup aurat kepada anak-anak laki atau perempuan sekalipun mereka belum baligh. Keempat, orang tua lengah dalam mengawasi lingkungan pergaulan anak.

Kelima, orang tua tidak membekali anak etika pergaulan. Sekalipun masih kanak-kanak, orang tua sudah semestinya mengajarkan rasa malu bila aurat mereka terlihat, ajarkan juga dimana tempat membuka pakaian, larangan mencium dan dicium lawan jenis, termasuk berani bercerita bila ada orang yang berani memegang organ kelamin mereka. Keenam, sanksi yang berlaku tidak membuat efek jera. Hukum tajam ke bawah tumpul ke atas.

Berbeda halnya dengan sistem sekuler kapitalis, Islam yang menjadikan aqidah Islam, Laa Ilaaha illallah Muhammad Rasulullah sebagai asas, wahyu Allah sebagai pijakannya. Islam memiliki aturan yang sangat rinci dan sempurna, mencakup seluruh aspek kehidupan.

Faktor lemahnya hukum turut memicu kian derasnya kejahatan kelamin ini. Hukuman bagi pelaku yang ada dinilai banyak kalangan tidak memberikan efek jera dan melindungi kaum wanita. Hukuman bagi pelaku pelecehan Se[k]sual, pencabulan atau perkosaan begitu ringan, tidak punya efek jera.

Semua itu jadi bukti, sekulerisme demokrasi dengan sistem dan hukum produk manusianya, tak berdaya membangun masyarakat yang bersih, berakhlak mulia dan menjunjung nilai-nilai luhur. Sistem saat ini justru menjadi bagian dari pemicu dan sebab mendasar berbagai kejahatan yang terjadi itu.

Syariah Islam sebagai Solusi

Melihat tren penanganan kasus kejahatan ini, tampaknya masih sulit bagi kaum wanita dan anak-anak mendapatkan rasa aman. Demokrasi dan sistem hukumnya tidak menunjukkan keberpihakan kepada kelompok masyarakat lemah seperti perempuan dan anak-anak. Meningkatnya jumlah kejahatan ini adalah bukti meyakinkan kegagalan demokrasi dan liberalisme memberikan perlindungan kepada masyarakat.

Selain itu liberalisme telah menciptakan masyarakat bak hidup di dunia binatang. Siapa yang kuat akan menindas yang lemah. Bahkan lebih buruk lagi dari dunia hewan karena kerap pelaku kejahatan Se[k]sual adalah orang terdekat, kerabat bahkan orangtua sendiri kepada anak-anaknya. Solusi tuntas untuk menyelesaikan problem darurat kejahatan Se[k]sual adalah kembali kepada Islam. 

Sistem Islam adalah sistem kehidupan yang unik, dimana Negara bertanggungjawab menerapkan aturan-aturan Islam secara utuh dalam rangka mengatur seluruh urusan umat, sehingga umat mendapatkan jaminan keamanan dan kesejahteraan secara adil dan menyeluruh. Dan ini semua hanya akan bisa diterapkan dan dilaksanakan jika aturan Islam diterapkan secara keseluruhan dalam sebuah institusi Negara, yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah, yang menjadikan aqidah dan syariat Islam sebagai pijakannya.

Negara juga akan mencegah masuknya segala komoditas yang berpotensi melemahkan, termasuk melemahkan akidah dan kepribadian kaum muslim ke dalam negeri.  Dengan 3 pilar ini, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan peran negara, maka umat manusia akan tercegah dari perbuatan maksiyat, termasuk pelecehan Se[k]sual pada anak.

Islam telah menetapkan bahwa ’keselamatan anak’ bukan hanya menjadi tanggung jawab bagi keluarganya saja, tetapi masyarakat dan negara. Benar bahwa Islam telah memberikan kewajiban pengasuhan anak kepada ibu hingga tamyiz serta pendidikan anak kepada ayah ibunya akan tetapi hal ini belumlah cukup.  Pembentukan lingkungan yang kondusif di tengah-tengah masyarakat menjadi hal yang juga penting bagi keberlangsungan kehidupan anak.  Dan hal ini tidak lepas dari peran masyarakat dan negara.  Lingkungan masyarakat  yang baik tentunya ikut menentukan corak anak untuk kehidupan selanjutnya.   Budaya beramar ma’ruf nahi mungkar di tengah-tengah masyarakat pun akan menentukan pula sehat tidaknya sebuah masyarakat.

Karenanya   upaya pencegahan terjadinya kekerasan terhadap anak hanya akan bisa terwujud dengan 3 pilar, yaitu ketakwaan individu dan keluarga, yang akan mendorongnya senantiasa terikat dengan aturan Islam secara keseluruhan. Keluarga, dituntut untuk menerapkan aturan di dalam keluarga, seperti memisahkan tempat tidur anak sejak usia 7 tahun, membiasakan menutup aurat dan tidak mengumbar aurat, tidak berkhalwat, dan sebagainya.  Aturan inilah yang akan membentengi individu umat dari melakukan kemaksiyatan  dan dengan bekal ketakwaan yang dimiliki, seseorang akan mencegah dirinya dari melakukan perbuatan maksiyat.

Pilar kedua, kontrol masyarakat. Ia akan menguatkan apa yang telah dilakukan oleh individu dan keluarga, sangat diperlukan untuk mencegah menjamurnya berbagai rangsangan di lingkungan masyarakat.  Jika masyarakat senantiasa beramar ma’ruf nahi mungkar, tidak memberikan fasilitas dan menjauhi sikap permisif terhadap semua bentuk kemungkaran, tindakan asusila, pornoaksi dan pornografi, niscaya rangsangan dapat diminimalisir.

Begitu juga Islam mewajibkan negara untuk menjamin kehidupan yang bersih dari berbagai kemungkinan berbuat dosa.  Negara menjaga agama, menjaga moral dan menghilangkan setiap hal yang dapat merusaknya seperti terjadinya pornoaksi atau peredaran pornografi, minuman keras, narkoba dan sebagainya.  Dalam pandangan Islam, negara adalah satu-satunya institusi yang dapat melindungi anak dan mengatasi persoalan kekerasan terhadap anak ini secara sempurna.

Di samping itu, Negara sebagai pelaksana utama diterapkannya Syariat Islam, maka iapun berwewenang untuk memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku tindak kejahatan Se[k]sual terhadap anak ini. Negara akan menerapkan aturan sosial yang bersih sekaligus melakukan internalisasi pemahaman melalui aktivitas dakwah dan pendidikan, sehingga setiap anggota masyarakat memahami tujuan hidup dan makna kebahagiaan hakiki, dan pada akhirnya secara otomatis akan menghindarkan rakyatnya melakukan berbagai tindakan kemaksiyatan, termasuk kekerasan Se[k]sual terhadap anak. [VM]

Posting Komentar untuk "Berkaca pada Kasus Sony Sandra - Kediri : Kapitalisme Menyuburkan Predator Se[k]s"

close