Mencurigai RUU Tax Amnesty : Demi Siapa?
Oleh : Umar Syarifudin
(Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri)
UU Tax Amnesty atau yang disebut RUU Pengampunan Nasional terhadap para pengemplang pajak, kini menjadi RUU prioritas yg akan di bahas. Menteri Keuangan Bambang P.S Brodjonegoro menyebutkan, pemerintah tengah merumuskan dua skenario revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, yakni dengan atau tanpa memperhitungkan potensi penerimaan negara dari kebijakan pengampunan pidana pajak. Salah satunya baru akan dilipih dan diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setelah ada kejelasan nasib RUU Tax Amnesty di parlemen.
Rancangan Undang-undang Tax Amnesty atau pengampunan pajak melindungi seseorang dari jeratan hukum. Seseorang yang mengajukan pengampunan, tidak bisa serta merta diseret ke meja hijau. Sejumlah orang kaya Indonesia diketahui memarkir uangnya di sejumlah negara tax haven. Selain Panama, Singapura diduga salah satu negara favorit para pengemplang pajak ini.
Guna memberikan kenyamanan dan kepastian hukum bagi siapapun yang akan repatriasi atau memasukkan uangnya ke Indonesia, Rapat Terbatas (ratas) yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), memutuskan untuk membentuk tim bersama atau tim gabungan semacam task force, apabila Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty sudah diundangkan.
Apabila pada akhirnya tax amnesty tidak disahkan tahun ini, Menkeu mengatakan pemerintah pun bersiap menerima skenario terburuk. Tanpa kebijakan tax amnesty, diperkirakan penerimaan negara akan meleset dari target (shortfall) tahun ini mencapai Rp 290 triliun.
Menurut Seskab, seperti dilansir setkab.go.id, tim yang dipimpin oleh Menkeu bersama Dirjen Pajak ini, beranggotakan Kapolri, Jaksa Agung, PPATK, Menteri Hukum dan HAM, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu). Seskab kembali menegaskan, pembentukan task force itu dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan kenyamanan, bagi siapapun yang akan menjalankan tax amnesty.
Split Policy
Dari berbagi literatur, aturan pengampunan pajak merupakan strategi jangka pendek untuk menutupi defisit anggaran atau meningkatkan pendapatan. Dengan Tax Amnesty transaksi ekonomi bawah tanah (underground economy) yang selama ini tidak terjangkau aparat pajak akan masuk dalam sistem perpajakan sehingga berdampak dalam menambah penerimaan pajak.
Dimanakah pasal2 yg mengarah pada pencucian uang & melegalkan uang korupsi? dan dimana dalam RUU ini ternyata bukan untuk genjot pajak? Pasal 3 ayat 1 menyatakan Pengampunan diberikan atas seluruh Harta yang dilaporkan baik didalam dan diluar negeri. Pasal 3 ayat 2 menyatakan harta yang dimaksud itu adalah harta yang diperoleh sebelum berlaku UU ini. Pasal 3 ayat 1 dan 2 ini jelas.. harta hasil rampok selama ini disembunyikan sebelum ada UU ini bisa dilegalkan dan menjadi harta sah. Pasal 10, orang atau badan yg sudah mendaftar memperoleh pengampunan tindak pidana terkait perolehan kekayaan. ini jelas pencucian uang! Pasal 13 ayat 2, semua yg diampuni & mendapatkan fasilitas, tdk boleh diketahui oleh publik. ini jelas pencucian uang sah yg tersebung.
Pada pasal 9, semua org atau badan yg sdh dapat pengampunan mendapatkan fasilitas. fasilitas yg tidak didapatkan oleh org yg taat pajak. asal 9 huruf a, menghapus pajak terutang, sanksi administrasi dan sanksi pidana. jika harta kita 100 M tapi ngaku 1 M, tidak dpt sanksi. Karena ketika mengaku dan daftarkan harta kita 100M yg tertera selama ini 1M, maka 100M itu disahkan sebagai harta kita! tdk ada sanksi. Hanya diminta tebusan 3% dari harta. bagi para Koruptor, perampok, 3% itu sedikit! daripada mereka keluarkan uang untuk Money Laudry. Pasal 9 huruf c, orang atau badan yg sedang diperiksa mengenai masalah perpajakan, semuanya dihentikan. jadi dianggap tidak ada masalah.
Merujuk pada Draft RUU Pengampunan Pajak, dalam Pasal 9 ayat (1) bahwa Orang Pribadi atau badan yang memperoleh Surat Pengampunan Nasional akan memperoleh fasilitas dibidang perpajakan berupa penghapusan pajak terutang, sanksi administratif perpajakan, dan sanksi pidana dibidang pajak untuk kewajiban perpajakan sebelum undang-undang ini diundangkan yang belum ditertibkan ketetapan pajak dan Orang Pribadi atau Badan sedang dilakukan pemeriksaan pajak atau pemeriksaan bukti permulaan untuk kewajiban perpajakan sebelum undang-undang ini diundangkan, atas pemeriksaan pajak atau pemeriksaan bukti permulaan tersebut dihentikan.
Kita bisa menilainya, bahwa azas berlaku surut tersebut justru untuk kepentingan penguasa yang berselingkuh dengan komplotan pengemplang pajak. Dengan RUU Pengampunan pajak, sekali lagi dosa-dosa pengemplang pajak diampuni dengan syarat modal besar dikembalikan negara alasannya pun mulia, untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Rakyat yang mana?
Tidak fair, mereka sdh diampuni, bebas dari pidana, uang rampok jadi sah milik pribadi, dirahasiakan lagi! Sedangkan rakyat miskin dipaksa taat. yang taat malah tidak dapat fasilitas seperti yang tidak taat. malah yang tidak taat dilegalkan uang hasil rampokannya. Ironisnya lagi, ketika rakyat digenjot untuk membayar pajak, pada saat yang sama pemerintah semakin mudahnya mengobral kekayaan alam dan barang tambang dengan harga murah.
Hal itu dilakukan melalui projek privatisasi dan swastanisasi, yaitu penyerahan pengelolaan SDA ke swasta khususnya asing melalui peningkatan investasi yang dilegalkan melalui UU seperti UU SDA, UU Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Penanamaan Modal, dan lain-lain. Rakyat dikejar-kejar dengan pajak, sementara kekayaan barang tambang dan SDA lain yang melimpah ruah justru dinikmati perusahaan asing, seperti dalam kasus Freeport. Cadangan terbukti yang dikuasai Freeport yang total potensi pendapatannya bisa mendekati Rp 2.000 trilyun bukan diakhiri kontraknya tapi malah akan diperpanjang.
Melindungi Korporat Hitam
Kleptokrasi korporasi juga sejalan dengan praktik menyimpang demokrasi, mengingat partai politik sebagai aktor utamanya disesaki oleh anggota yang terdiri dari para korporat atau pengusaha. Mereka menjadi anggota parpol motifnya beragam, tetapi tujuan akhirnya adalah untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan finansial dengan mempengaruhi kebijakan politik.
Para korporat menguasai faktor dan alat produksi yang dibutuhkan negara, sehingga memaksa para pemimpin negara atau pemerintah mau tidak mau harus memperhatikan kepentingan para korporat yang secara politik disebut juga kapitalis itu. Awalnya para kapitalis itu melakukan kompromi dengan para elite partai politik. Dalam perkembangannya, mereka masuk menjadi anggota partai politik dan bahkan merebut posisi strategis dalam partai politik.
Kleptokrasi pada birokrasi, yaitu memperoleh keuntungan melalui korupsi sebagai tujuan organisasi mengakar kuat dalam sistem demokrasi. Tidak ada batas antara kepentingan negara dan kepentingan pribadi dari penguasa. Ciri-ciri suatu negara kleptokrasi, di antaranya tingkat korupsi yang dilakukan oleh birokrasi sangat tinggi, lalu korupsi dilakukan dengan persekongkolan antara birokrat dan korporat atau pengusaha dan disebut juga kleptokrasi korporasi.
Kleptokrasi mengandalkan pembiayaan negara, khususnya pada sumber daya alam (SDA) yang dieksploitasi secara tidak terkendali, lebih ditujukan untuk kemakmuran birokrat dan korporasi mitranya dari pada kemakmuran rakyatnya. Salah satu dampaknya, sektor pendidikan yang menurut konstitusi dianggarakan sebesar minimal 20% ternyata membuka peluang besar untuk korupsi, begitu pula dengan sektor kesehatan, rawan untuk dikorupsi.
Adapun wacana Tax Amnesty pun hanya mengorek luka masa lalu Indonesia. Bahkan, RUU Pengampunan Pajak ini terkesan memiliki niat terselubung untuk menutupi kasus korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada 1998. Total kotornya ada dana Rp 600 trilyun yang diberikan pada perbankan pasca krisis moneter sampai oktober 2003.
Dari Rp 600 trilyun itu, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPPN) sudah mengembalikan Rp 152, 4 trilyun. Alasannya pun tidak jauh berbeda dengan Tax Amnesty, karena Perbankan merupakan pondasi ekonomi negara yang berdampak langsung kepada rakyat. Selalu rakyat yang menjadi alasan luhurnya.
Nyatanya, BLBI hanya dinikmati oleh segelintir orang saja, yang sampai saat ini masih berkeliaran menikmati harta jarahan dari negara. Tax Amnesty seolah ingin menjadi karpet merah, menyambut kepulangan para pendosa-pendosa itu, tidak menutup kemungkinan pihak-pihak yang terlibat BLBI.
Patut disimak pengakuan John Perkins. Ia menyebut para korporat jahatlah yang sesungguhnya menjadi penguasa dunia dan biang dari segala kerusakan di dunia. Biasanya aksi para bandit ekonomi dalam melakukan penipuan yang bernilai triliunan itu bekerjasama dengan Bank Dunia; Bank Dunia dan IMF sebagai penyandang dana. Proyek-proyek yang didanai mereka sekilas tampaknya demi kepentingan rakyat miskin, padahal sebenarnya hanya untuk segelintir orang kaya (korporatokrasi). Langkah ini didukung oleh negara melalui para penguasanya.
RUU Tax Amnesty atau disebut RUU Pengampunan Nasional jika di sahkan maka UU itu dipkai utk melegalkan pencucian uang. Indonesia melegalkan pencucian uang & melegalkan uang Korupsi, karena semuanya bebas dari sanksi pidana. itu isi RUU nya. Pengampunan Nasional adalah penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, penghapusan sanksi pidana dibidang perpajakan, serta sanksi pidana tertentu dengan membayar uang tebusan, sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang ini.
Patut dicurigai RUU ini "dibiayai" oleh para koruptor yang ingin mencuci uangnya dan ingin menyelamatkan diri dari tindak pidana. Karena RUU ini jelas sekali utk mengakomodir pencucian uang & menghapus pidana. RUU ini tdk mengakomodir utk dapatkan peningkatan pajak. Walaupun terpublikasi bahwa RUU ini untuk peningkatan pajak. Tapi isinya tidak seperti itu. masyarakat harus mengetahui akal-akalan ini. Yang mendukung RUU ini disahkan, berarti ada kepentingan pribadi dan golongan untuk keuntungan pribadi. Jelaslah menuju dilegalkannya UU Tax Amnesty bagian dari cacat sistem demokrasi tidak pernah memihak pada rakyat. [VM]
Posting Komentar untuk "Mencurigai RUU Tax Amnesty : Demi Siapa?"