Demokrasi, Kekerasan, Intoleransi


Oleh : Umar Syarifudin – Syabab HTI

Aktivis Pemuda Muhammadiyah Saleh Partaonan Daulay mengatakan tantangan terbesar umat Islam Indonesia adalah kebodohan dan kemiskinan. Pernyataan Saleh tersebut menanggapi sambutan Presiden Joko Widodo dalam pembukaan World Islamic Economic Forum (WIEF) yang menyebut toleransi merupakan tantangan terbesar negara muslim. Menurut mantan Ketua Komisi VIII DPR RI ini, kebodohan dan kemiskinan menjadi tantangan besar bagi Muslim Indonesia karena masih terus diwariskan pada setiap periodisasi pemerintahan.  "Banyak problematika sosial yang terjadi di masyarakat berawal dari persoalan kemiskinan dan kebodohan," ujar Saleh kepada Republika, Rabu (3/8/2016).

Bersamaan dengan perang melawan terorisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutunya, tuntutan agar umat Islam merubah agama mereka menjadi Islam moderat. Siapa saja yang mau menerima dan mengakomodasi kepentingan penjajahan Barat akan disebut Muslim moderat. Mereka akan diberikan ‘carrot’, dipuji habis-habisan dan dipromosikan. Sementara siapa saja yang bertentangan dengan hal itu akan disebut Muslim radikal dan teroris. Mereka mendapatkan ‘stick’, artinya legal diperangi dengan cara apapun.

Beberapa lembaga survey yang menyimpulkan bahwa umat Islam Indonesia semakin tidak toleran menjadi suatu bentuk polarisasi  dan stigma negatif terhadap umat Islam di negeri ini. Fakta bahwa intoleransi juga banyak dialami oleh umat Islam di berbagai tempat ketika umat Islam menjadi minoritas. Ini membuktikan adanya ketidakadilan dan diskriminasi terhadap umat Islam.

Apa yang disampaikan para pengusung liberalisme dan pluralisme bahwa kaum muslimin intoleran, justru bertolak belakang fakta. Data yang dikeluarkan Kementrian Agama (Kemenag) Republik Indonesia pun membantah data intoleransi umat Islam. Pertumbuhan rumah ibadah dari 1977-2004 terjadi peningkatan. Gereja Kristen dari 18.977 buah menjadi 43.909 buah (naik 131,38 persen); gereja Katolik dari 4.939 menjadi 12.473 (naik 152,8 persen); Pura Hindu dari 4.247 menjadi 24.431 (naik 475,25 persen); dan Vihara Budha dari 1.523 menjadi 7.129 (naik 368,09 persen). Bandingkan dengan sedangkan masjid hanya bertambah 64 persen dari  392.044 menjadi 643.843.

Penyebaran demokrasi dan Islam Moderat ke Dunia Islam adalah salah satu strategi penting yang ditempuh Barat, khususnya untuk mengontrol perubahan di Timur Tengah agar jauh dari kebangkitan Islam. Jauh sebelum terjadi Arab Spring, strategi ini telah dirumuskan oleh berbagai lembaga think-tank AS. Pada 2007 Institut Amerika untuk Perdamaian (United States Institute of Peace-USIP) mengeluarkan hasil penelitian seputar “Islam Moderat” yang berjudul, “Integrasi Para Aktivis Islam dan Promosi demokrasi: Sebuah Penilaian Awal.” Penelitian memutuskan bahwa pertempuran Amerika Serikat dengan arus kekerasan dan ekstremisme harus dilakukan dengan mendukung dan memperkuat proses demokratisasi di dunia Arab.

AS sebagai Negara adidaya yang paling heroik mengusung kapitalisme dengan berbagai sistem hidupnya seperti demokrasi, liberalisme, pluralisme, ibarat kapal rapuh yang akan tenggelam. Pertanyaannya negeri ini melaju mengekor pada demokrasi dari Barat ataukah kembali ke jalan Islam?

Pada era kelam ini, sistem kapitalisme benar-benar telah gagal dalam memberikan kebutuhan dasar masyarakat, sehingga meningkatkan angka pengangguran, kemiskinan dan ketidakmampuan masyarakat untuk meraih hidup layak bagi dirinya dan keluarganya. Semua ini membuat tekanan terhadap masyarakat yang setiap harinya terus bertambah. Sedang sistem ini tidak cukup dengan menciptakan semua tekanan, namun ia juga berusaha memalingkan masyarakat dari agamanya, dengan menyebarkan kebebasan berpikir dan bertingkah laku; serta memerangi sikap konsisten dengan agama, dan menganggapnya sebagai jenis ekstremisme dan intoleran. 

Kaum Muslim selama berabad-abad di bawah naungan khilafah tidak mengenal fenomena demokrasi yang menghasilkan krisis yang akut, meskipun mereka ditimpa berbagai krisis, politik, ekonomi dan militer, namun mereka tetap terikat dengan hukum-hukum Allah, sehingga mereka dengan segera mampu memulihkan kembali keadaan. Dengan demikian, kekuatan akidah dan kejernihannya akan membuat mereka mampu memikul kesulitan dunia, bahkan menganggapnya kecil dibanding pahala di sisi Allah. Sehingga yang terlintas dalam pikirannya adalah ketakutan mengakhiri hidupnya dengan cara yang dimurkai Allah.

Sementara hari ini, dalam naungan sistem kapitalisme yang rusak, yang mengabaikan pemeliharaan terhadap masyarakat, merusak pikirannya, dan membuatnya hidup dalam sebuah masyarakat rimba, dimana dengan legal yang kuat memakan yang lemah. Dengan ini, wajar akan terjadi penyebaran fenomena ini. Kita melihat bagaimana seorang melakukan bunuh diri karena tidak lagi mampu melaksanakan tanggung jawabnya, kehilangan bisnisnya, rahasianya terbongkar, kekasihnya pergi, dan banyak lagi. Semua alasan ini sangatlah mudah jika diselesaikan dengan sudut pandang syariah Islam.

Tidak pantas sama sekali kita menerima Islam demokratis. Sesungguhnya keduanya, yakni antara Islam dan demokrasi, memiliki landasan pemikiran yang sangat berbeda dan bertolak belakang. Demokrasi menunjung prinsip kedaulatan di tangan rakyat (as-siyadah lis-sya’bi). Artinya, yang menentukan benar dan salah, atau halal dan haram, adalah manusia berdasar prinsip suara mayoritas. Sementara Islam menyerahkan kedaulatan kepada Allah SWT (as-siyadah lis-syar’i). Sumber hukum dalam Islam adalah Al Qur’an dan as Sunnah dan apa yang ditujuk oleh keduanya, bukanlah kehendak manusia, para penguasa, atau nafsu kelompok yang berkuasa.

Hizbut Tahrir telah membahas sebagian besar masalah yang menimpa umat manusia, dan memberinya solusi. Bahkan Hizbut Tahrir telah memaparkan secara rinci bentuk negara yang mampu menerapkan hukum-hukum Allah. Semua hasil kajian dan penelitian ini, tersedia di situs-situs Hizbut Tahrir, kantor-kantor medianya, dan para aktivisnya di semua negeri-negeri kaum Muslim. Untuk itu, Hizbut Tahrir Indonesia sering mengingatkan kepada masyarakat agar mengkaji tsaqāfah (pemikiran Islam yang telah diadopsi) Hizbut Tahrir, menghubungi para aktivisnya, dan menjadikan tsaqāfah ini obyek diskusi dalam kapasitasnya sebagai tsaqāfah (pemikiran) Islam, dan solusi praktis yang rinci bagi semua masalah manusia, juga kesempitan dan kesengsaraan yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme. 

Berkali-kali Hizbut Tahrir Indonesia sudah mengingatkan kepada masyarakat. dengan tegas Hizbut Tahrir  menyatakan, siapapun presidennya, kalau sistemnya masih sistem Kapitalis maka tidak akan ada perubahan mendasar. Kebijakan yang diambil tetap saja  berdasarkan kapitalisme untuk kepentingan pemilik modal, bukan untuk kepentingan rakyat. Berulang-ulang pula Hizbut Tahrir menegaskan solusi bagi bangsa ini adalah menerapkan syariah Islam di bawah naungan Khilafah Islam dengan mencampakkan ideologi dan sistem Kapitalis yang yang pangkal penyebab penderitaan rakyat di negeri ini. [VM]

Posting Komentar untuk "Demokrasi, Kekerasan, Intoleransi"