Sekulerisme dan Lingkaran Kejahatan Narkoba


Oleh : Taufik Setia Permana 
(Mahasiswa Universitas Negeri Malang)

“Mereka yang mengatakan bahwa hukuman mati yang berlaku saat ini tidak bisa menyelesaikan persoalan narkoba, maka hukum penjara juga sama-sama tidak akan bisa menyelesaikannya. Karena pokok persoalannya ada pada sekulerisme yang menjadi landasan kehidupan masyarakat dan aturan demokrasi yang melahirkan hedonisme, memburu kesenangan, termasuk dengan konsumsi dan peredaran narkoba. Langkah tepat yang harus dilakukan hari ini adalah merombak tatanan kehidupan masyarakat mulai dari akar hingga ke batangnya. Semua elemen umat saatnya bersinergi untuk terapkan Syariah Islam secara kaffah” Kata Ustadz Umar Syarifudin Syabab HTI Kota Kediri.

Telah menjadi perbincangan publik eksekusi terpidana mata bandar narkoba Fredy Budiman. Sejak tahun 2009 hingga 2011 Fredy Budiman terhitung 2 kali keluar masuk penjara dengan kasus yang sama. Kasusnya pun berlanjut ketika Fredy Budiman di penjarakan setelah penangkapan di tahun 2011. LP Cipinang menjadi saksi kasus ini, di balik sel penjara Fredy mengorganisir untuk mendatangkan pil ekstasi dari China sebanyak 1.412.475 pil ekstasi dan 400.000 pil ekstasi dari Belanda. 

Tumbuh suburnya narkoba di Indonesia mestinya menjadi bukti bahwa masih banyaknya oknum-oknum nakal di negeri ini. Tidak menutup kemungkinan itu pejabat tinggi. Sesuai dengan hal tersebut Dimyati Natakusumah Anggota Komisi I DPR berkomentar, "Mungkin ada ya oknum-oknum yang melindungi hingga kenapa peredaran narkoba di Indonesia begitu subur. Saya meyakini ada oknum-oknum kuat yang terlibat hal itu, baik oknum birokrasi atau alat negara. Karena ini menguntungkan sekali. Kalau di dunia hitam ini bisa untung ribuan persen,"  dilansir oleh liputan6.com (1/8/16).

Ringannya hukuman yang diberikan oleh pengedar dan pemakai menyebabkan menjamurnya narkoba di negeri ini disamping itu tingkat kemiskinan yang tinggi memaksa untuk memperjual belikan barang terlarang tersebut. Penegakkan hukum yang lemah merupakan rentetetan dari segala permasalahan. Hukum bagaikan jarum yang runcing kebawah namun tumpul keatas. Kekebalan hukum seolah-olah hanya diberikan kepada para kolongmerat yang berkepentingan. 

Menurut berbagai sumber, di Indonesia diperkirakan setiap harinya 50 orang tewas akibat narkoba, atau sekitar 15 ribu menjadi korban setiap tahunnya. Sementara itu jumlah pemakai narkoba diduga mencapai 3,2 juta jiwa. Lalu mengapa mereka yang menjadi korban ini tidak diperhitungkan sebagai manusia yang seharusnya juga memiliki hak hidup dan hak mempertahankan kehidupan? Demikian pula dengan keluarga yang mereka tinggalkan dan seharusnya mendapatkan nafkah dari kepala keluarga mereka yang kemudian menjadi korban narkoba? Bukankah mereka juga harus dipertimbangkan kehidupannya oleh hukum?

Penyebab utama maraknya narkoba adalah akidah sekulerisme yang menjadi landasan kehidupan masyarakat saat ini. Falsafah pemisahan agama dari kehidupan itu menyuburkan gaya hidup hedonis dan permisif atau serba-boleh. Masyarakat diubah menjadi pemburu kesenangan dan kepuasan. Prinsipnya bukan halal-haram atau pahala-dosa, tetapi my body my right, “uang saya sendiri dan badan saya sendiri, terserah saya.” Akhirnya, miras, narkoba, perzinaan, seks bebas, pelacuran, dsb, menjadi bagian dari kehidupan sebagian masyarakat.

Sistem hukum yang diharapkan memberantas nyatanya tumpul. Menurut UU saat ini, pecandu narkoba tidak lagi dipandang sebagai pelaku tindak kriminal, tetapi hanya korban atau seperti orang sakit. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Gories Mere mengatakan (Kompas.com, 4/10): “Pencandu narkoba seperti orang yang terkena penyakit lainnya. Mereka harus diobati, tetapi menggunakan cara yang khusus.” Seolah itu memberi pesan bahwa mengkonsumsi narkoba itu tidak melanggar hukum. Pantas saja orang tidak takut lagi mengkonsumsi narkoba, sebab merasa tidak akan terkena sanksi hukum.

Disisi lain, sanksi hukum yang dijatuhkan terlalu lunak. Vonis mati yang diharapkan bisa menimbulkan efek jera pun justru dibatalkan oleh MA dan grasi presiden. Bandar dan pengedar narkoba yang sudah dihukum juga berpeluang mendapatkan pengurangan masa tahanan. Parahnya lagi, mereka tetap bisa mengontrol penyebaran narkoba dari dalam penjara

Inilah bukti bahwa sistem ini tidak memberikan jaminan kenyamanan di masyarakat. Berbagai organisasi-organisasi yang dibuat oleh pemerintahan untuk menanggulangi persoalan di masyarakat tidak memberikan solusi yang tuntas. Kondisi masyarakat yang semakin apatis akibat rasa putus asa dengan kondisi perpolitikan ala sistem demokrasi memperkeruh persoalan bangsa ini. 

Kemisikinan yang kian parah menyebabkan mereka menghalalkan segala cara untuk memperoleh uang. Tidak heran jika di negeri ini semakin bertambahnya para pengedar narkoba kelas internasioanl. Kasus Fredy Budiman mungkin hanya segelintir yang nampak, dibalik itu masih ada banyak para pengedar kelas kakap seperti halnya Fredy.

Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang membawa cahaya kebenaran. Seluruh aktivitas yang berkaitan dunia dan akhirat diatur dalam Islam. Islam juga membawa sistem persanksian (‘uqubat) yang jelas dan tegas sebagai tameng di masyarakat. 

Pengedar dan pengonsumsi narkoba dalam Islam di ganjar dengan hukuman yang keras yaitu bagi pengedar akan dihukumi mati melalui keputusan hakim karena termasuk pada ta’zir dan rehabilitasi bagi pengonsumsi untuk menanamkan sifat taqwa kepada Allah. [VM]

Posting Komentar untuk "Sekulerisme dan Lingkaran Kejahatan Narkoba"