Pajak, Liberalisasi SDA, Harga Rokok


Oleh : Taufik Setia Permana 
(Aktivis Islam Universitas Negeri Malang)

Nasib para perokok di negeri ini akan semakin ketar-ketir karena harus merogoh kocek yang dalam untuk membeli batang berasap tersebut. Wacana mengenai kenaikan harga rokok semakin kencang terdengar setelah Dirjen Bea dan Cukai, Heru Prambudi memastikan bahwa ada kenaikan tarif cukai rokok reguler di tahun depan. Menurut rencana, kenaikan tarif cukai rokok akan diumumkan tiga bulan sebelum diberlakukan pada 1 Januari 2017, dilansir oleh Jawa Pos (23/8/16).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indoenssia (FKM UI) menyebutkan bahwa sekitar 72% peserta yang ditelitinya menyebutkan bahwa dengan dinaikkannya harga rokok menjadi Rp 50.000 akan memiliki rasa enggan untuk membeli rokok kembali. Namun wacana tersebut segera ditanggapi oleh Menkeu, Sri Mulyani yang menjelaskan bahwa belum adanya aturan baku mengenai harga jual eceran maupun tarif cukai rokok.

Apabila kita melihat lewat kacamata kritis maka bukan hanya faktor turun naiknya harga cukai dan harga ecer rokok. Namun dibalik itu semua ada efek kekawatiran pemerintah terhadap industri-industri rokok di negeri ini. 

Faktor yang paling dominan ketika harga dinaikkan adalah masalah pajak, lalu bagaiamana dengan ketenagakerjaan?. Jelas itu bukan faktor dominan karena entah naik atau turunnya pendapatan industri rokok tetap saja para buruh pabrik akan di PHK. Para kapitalis pemilik industri rokok tersebut lebih memilih mesin-mesin operator yang memiliki keefesiennan dalam kerja dan terlebih irit. Sehingga ada meminimalisir peran manusia dalam bekerja.

Kembali ke faktor pajak. Jika kita melihat dari pemasukan terbesar APBN di negeri ini adalah berasal dari pajak. Pajak bagaikan primadona yang dielu-elukan kehadirannya. Industri rokok menjadi salah satu penyumbang pajak terbesar ke kantong negara. Dari tahun 2011-2016 diperkirakan kucuran pajak dari industri rokok yang masuk ke khas negara sebesar Rp 601,14 T. 

Dari pemasukan yang fantastis tersebut menyebabkan Kemenkeu, Sri Mulyani dan jajaran petinggi cukai sampai angkat bicara terkait wacana kenaikan harga rokok. Ya..wajarlah mereka kawatir dengan keadaan industri perokokkan di negeri ini. 

Bayangkan, baru dihembuskan wacana kenaikkan harga rokok beberapa industri rokok langsung mengalami penurunan di bursa saham. Perusahaan seperti PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM) tergerus diterpa kabar kenaikan harga rokok. Saham HMSP turun 20 poin (0,50%) menjadi Rp 4.020 dan GGRM tergerus 875 poin (1,29%) menjadi Rp 67.150 perlembar dilansir oleh Jawa Pos (23/8/16).

Menaikan harga rokok hingga Rp 50.000 dirasa hal yang mustahil bagi pemerintah karena baru saja dinaikkan beberapa rupiah sudah banyak perusahaan rokok yang gulung tikar. Menilik penyampaian Dhanny S.Sutopo Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Berawijaya mengungkapkan bahwa pada tahun 2005 ada sekitar 5 ribu pabrik rokok yang tersebar di seluruh Indonesia, pada tahun 2013 jumlahnya menurun menjadi 1.700 pabrik dan bahkan pada 2015 tergerus lagi tinggal 600-an pabrik. Mungkinkah menaikkan harga hingga setinggi langit secara tiba-tiba?, jawabannya tidak mungkin terjadi. Industri rokok itu sudah jadi anak kesayangan. Mau-kah negri kita tercinta ini menghancurkan salah satu penyumbang terbesar APBN?

Sebenarnya lembaga/organisasi/komunitas yang peduli lingkungan dan kesehatan masyarakat aktivitasnya sungguh mulia. Namun sayang, perkumpulan-perkumpulan semacam ini hanya memberikan solusi pragmatis yang berpandangan bahwa dengan hanya menaikan harga rokok dapat menyelesaikan masalah. Tentu saja tidak, jika negara ini masih memprimadonakan pajak sebagai pemasukan khas negara. Bukankah negara ini masih memiliki Sumber Daya Alam berpotensi sebagai pemasukan khas negara yang lebih besar dari pada pajak?

Inilah jawabannya, jika negara sangat jeli untuk memanfaatkan SDA sehingga dari SDA yang ada dikelola oleh pemerintah tanpa ada ikut campur pihak asing yang nantinya akan menghasilkan komoditi unggul. Maka sangat memungkinkan negeri kita ini tidak akan memprimadonakan salah satu pemasukan khas negara yang hanya bertumpu di pajak, namun masih banyak primadona-primadona yang bisa menjadi pemasukan negara dan pasti jika dimanfaatkan benar-benar SDA di negeri ini sangat cukup untuk membayar hutang-hutang negera kepada negara-negara imperealis. Tentu saja jika melihat seperti ungkapan diatas pemerintah tidak akan mempermasalahkan jika negara ini harus kehilangan industri rokok, wong..pemerintah juga tahu rokok itu membahayakan manusia dan harus dihindari.

Namun sepertinya itu hanya keingingan yang terpendam. Pasalnya negara ini sedang dijajah oleh negara imperialis dan parahnya pemimpin kita hanya pemimpin boneka yang hanya unggah-ungguh kepada pemilik modal. Lihat saja sudah berapa RUU peliberalisasian SDA dinegeri ini. Sudah berapa perusahaan asing yang menguasai penuh SDA di negri ini?. 

Mungkin bisa dikatakan ini efek domino dari segala permasalahan. Pangkal masalahnya adalah negara ini menggunaka sistem kapitalis demokrasi. Jika negara ini masih menggunakan sistem kapitalis demokrasi niscaya akan muncul problem-problem baru yang lebih mengkhawatirkan. [VM]

Posting Komentar untuk "Pajak, Liberalisasi SDA, Harga Rokok "