Pro Kontra “Nikah Dini”


Oleh : Endang Noviyani
(Ibu Rumah Tangga tinggal di Bandung)

Saat ini publik tengah diramaikan dengan kabar pernikahan anak sulung Ustadz Arifin Ilham yang bernama Muhammad Alvin Faiz, dan mendadak jadi perbincangan hangat Pada Sabtu, 6 Agustus 2016 ,Alvin resmi meminang Larissa Chou, gadis keturunan Tionghoa yang juga menjadi seorang muallaf. Pernikahan Alvin hangat diperbincangan karena ia memutuskan untuk menikah di usia yang terbilang muda, yakni di usia 17 tahun. Begitupun dengan larissa chou yang juga masih berusia 20 tahun. Akad nikah diselenggarakan pada pagi hari pukul 06.00 WIB di Masjid Az-zikra, sentul, Bogor, Jawa Barat. Tetapi disisi lain perjuangan Alvin untuk melangsungkan pernikahan tidaklah semulus yang dibayangkan karena Alvin sempat ditolak oleh KUA Bogor saat mengurus surat – surat nikah, alhasil alvin pun harus mengurus permohonan izin negara untuk pernikahan dibawah umur di Pengadilan Agama Cibinong.

Polemik Nikah Dini

Fenomena pernikahan dini di Indonesia masih cukup menyita perhatian pemerintah maupun publik. Sebagai bukti, pada tahun 2011 ini BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) makin gencar melakukan kampanye untuk mendorong agar jangan sampai terjadi pernikahan dini, Lembaga ini memang termasuk pihak yang paling gencar mengimbau masyarakat agar tidak menikah muda. Pasalnya, di Indonesia masih banyak orang yang menikah pada usia di bawah 20 tahun. Menurut lembaga ini, idealnya perempuan menikah di usia 20-35 tahun, sedangkan untuk pria usia 25-40 tahun dengan pertimbangan sudah matang secara medis dan psikologis.  Mereka berpandangan bahwa ketidakmatangan menikah di usia dini cenderung menyebabkan kehancuran rumah tangga dan resiko yang bersifat medis. Polemik pun bergulir.  Sayangnya, perbincangan seputar nikah dini ini cenderung menyudutkan pelaku nikah dini.  Masyarakat pun latah untuk ikut ‘mengharamkan’ nikah dini menyusul munculnya beberapa kasus yang tidak diinginkan pada pelaku nikah dini.  Mereka lupa untuk mencari sebab hakiki terjadinya problematika yang muncul dari pernikahan dini ini.  Mereka hanya spontan menolak, tanpa memberi solusi lain bilamana pernikahan dini adalah perkara yang terpaksa harus dijalani.Namun, di tengah gencarnya propaganda larangan menikah dini ini, tak sedikit pula yang justru mempertahankan konsep pernikahan dini.  Menurut kalangan ini, problematika yang menimpa pelaku nikah dini bukanlah disebabkan oleh faktor usia, namun oleh kesiapan saat menikah.  Sebab, tak semua pelaku nikah dini bermasalah.  Demikian pula, tak semua pelaku nikah di usia matang tidak menuai persoalan.  Intinya terletak pada kesiapan saat menikah yang harus dipenuhi baik oleh mereka yang masih dini (belia) maupun yang berusia matang. Pergaulan bebas muda mudi pun bisa jadi menjadi pelarian karena mereka belum memahami konsep pernikahan atau tidak mampu mempersiapkan pernikahan sehingga cenderung menunda pernikahan.

Menurut Pandangan Islam 

Di dalam agama islam tidak disebutkan bahwa seseorang baru boleh menikah setelah berusia sekian, sehingga didalam islam tidak ada batasan minimal usia pernikahan. Ketidak jelasan keterangan mengenai batasan usia minimal seseorang untuk menikah inilah yang kemudian menghasilkan pendapat yang berbeda-beda. Adapun banyaknya dalil, baik dari hadits Nabi saw maupun dari Al Quran adalah anjuran untuk mengawalkan nikah bagi yang sudah mampu.

"Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan . Jika mereka miskin Allah akan mengkayakan mereka dengan KaruniaNya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui." (QS. An Nuur : 32)

"Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah mampu untuk kawin, maka hendaklah dia menikah. Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai baginya" (HR. Bukhori-Muslim).

Islam hanya menganjurkan bagi mereka yang sudah mampu. Orang yang akan menikah hendaknya benar-benar yang sudah mampu, baik secara jasmani, rohani, dan ekonomi. Tetapi di zaman sekuler seperti saat ini, banyak pemuda yang sebenarnya mereka sudah siap untuk menikah tetapi terkendala dalam masalah ekonomi sehingga mereka enggan untuk segera menikah, dan merekapun menempuh jalan haram seperti pacaran untuk menyalurkan Gharizah Nau ( Naluri berkasih sayang ). Dari situlah Hukum nikah yang asalnya sunnah berubah menjadi wajib bagi seseorang yang sudah tidak bisa menahan Gharizah Nau tersebut. Berbeda halnya jika syariat islam diterapkan, justru negaralah yang akan memfasilitasi dan mempermudah para pemuda untuk menikah jika pemuda itu sudah siap untuk menikah sehingga tidak akan ada permasalahan seperti pergaulan bebas yang ada pada saat ini, karena islam menjaga kehormatan dan kesucian pada diri seseorang. Wallohu’alam bish shawwab. [VM]

Posting Komentar untuk "Pro Kontra “Nikah Dini”"