Suara Hati Seorang Guru
Oleh : Rumiatun S.Pd.
(Guru SMAN 1 Tambakboyo Tuban Jatim)
Masih hangat terdengar, masyarakat kita diresahkan dengan noda di dunia pendidikan. Kasus yang dialami oleh pak Dasrul salah seorang pengajar di SMKN 2 Makasar membuat kita miris sekaligus malu dengan kondisi ini. Ternyata, kasus serupa tidak hanya sekali ini terjadi. Beberapa bulan lalu kita juga mendengar kasus yang hampir sama di daerah Sidoarjo, Jawa Timur. Belum lagi kasus-kasus lainnya yang mungkin tidak sampai muncul dipermukaan tapi juga dirasakan masyarakat.
Dunia pendidikan merupakan dunia di mana para generasi bangsa ini dicetak. Di bidang inilah faktor terbesar yang menyumbang terbangunnya moral dan prestasi suatu bangsa. Ini yang mungkin harus kita pahami bersama bahwa ketika orang tua telah menyerahkan anaknya ke bangku sekolah (baca:guru) berarti secara tidak langsung mereka juga harus percaya sepenuhnya dengan bidang ini. Karena di sanalah mereka akan terdidik karakternya sekaligus terpelajar pikirannya. Jika orang tua tidak memahami hal ini maka upaya untuk mencerdaskan anak bangsa tentu sia-sia. Pun demikian, bukan berarti pihak sekolah juga semena-mena dalam meperlakukan anak didiknya.
Bersikap Bijak Mengambil Sikap
Bukanlah seorang guru, orang tua ataupun murid yang menjadi pihak tersalah dalam kasus ini. Mereka hanya bagian korban dari sebuah sistem. Sistem hidup kita yang jauh dari fitrah manusia. Kasus ini tentu tidak terjadi begitu saja. Ada faktor penyebab lain yang kronologisnya begitu panjang jika kita urai yang menyebabkan kenapa kasus yang demikian sampai hadir di permukaan. Terlebih dalam dunia pendidikan yang kita anggap mulia selama ini.
Generasi kita disuguhkan dengan “bad moral” lewat berbagai media sekaligus dalam dunia nyata. Sebagai contoh dalam bidang media sekaligus teknologi. Bagaimana kemudian content media saat ini banyak mengajak anak-anak kita untuk menjadi anak yang orientasinya hanya fashionable, terkenal dan hedonis daripada anak yang rajin membaca, menghargai orang lain ataupun hormat kepada orang tua. Hal ini dikampanyekan dengan berbagai program-program dalam media elektronik mapun cetak. Dalam dunia nyata, mereka juga menemukan kondisi yang sama karena hal tersebut merupakan akumulasi dari apa yang dilihat dan didengar dalam media. Para orang tua juga tak kalah serupa. Sebagian besar mereka juga menganggap keren ketika anaknya terkenal, penuh gaya sehingga berusaha dicukupi seagala kemauannya. Tanpa sedikitpun berusaha meluruskan apa yang salah dari mereka.
Sudah saatnya sistem pendidikan kita dirombak dari akarnya. Tidak hanya mengenai pergantian kurikulum saja tapi juga dari sisi dasar pendidikanya. Hal ini tentu merupakan tanggung jawab semua baik sekolah, masyarakat maupun negara. Para steak holder inilah yang harus berupaya menjadikan pendidikan ini benar-benar mencetak generasi yang berkarakter dan bermoral bukan hanya berprestasi. Pasalnya, tingginya prestasi tidak selalu berbanding lurus dengan tingginya moral seorang pelajar. Padahal, karena tingginya moral seseorang bisa menghargai, menghormati orang lain serta menghormati ilmu itu sendiri.
Dunia ini pernah merasa pendidikan yang berhasil mencetak generasi cemerlang. Dialah pendidikan berbasis akidah islam. Sebuah basis yang berasal dari Tuhan semesta alam. Pendidikan yang langsung menyentuh sisi dari kemanusiaan manusia. Sehingga terbentuk penghargaan yang tinggi kepada manusia sebagai saudara, teman guru ataupun orang tua melalui kesadaran bahwa mereka hanyalah sama-sama makhluk yang tidak mempuanyai apa-apa. Kita mengenal Imam Ahmad seorang ulama besar yang juga merupakan murid dari ulama besar Imam Syafi’i begitu menghormati gurunya. Begitupun beliau Imam Syafi’i juga sangat hormat kepada gurunya Imam Malik yang dibuktikan dengan kehati-hatiannya saat membuka lembaran-lembaran agar jatuhnya lembaran kertas tidak terdengar oleh gurunya. Abu Yusuf yang selalu mendo’akan gurunya Abu Hanifah terlebih dahulu sebelum mendoakan kedua orang tuanya. Serta masih banyak kisah fakta lain yang serupa. Dan terbukti para murid ini berhasil menjadi orang-orang besar yang dikenang sampai abad ini. Mungkin anak-anak kita tidak mampu mengikuti jejak mereka, tapi setidaknya jadikanlah kisah para pendahulu kita ini sebagai cermin untuk menata masa depan anak bangsa
Maka dari itu wahai para orang tua, bersikaplah bijak mengambil sikap. Ketika anak kita ditegur oleh seorang guru cobalah Anda berusaha untuk melakukan klarifikasi terlebih dahulu. Adalah sangat memalukakan ketika orang tua lebih mengedepankan emosi hanya untuk membela kesalahan anak mereka. Hal ini hanya akan melahirkan sebuah kesalahan-kesalahan baru bagi masa depan anakmu. Percayalah bahwa Bapak/Ibu guru mereka adalah orang tua kedua mereka yang menginginkan kebaikan bagi mereka sebagaimana Anda para orang tua menginginkan kebaikan untuk anak Anda.
Wahai para siswa, bersikaplah bijak mengambil sikap. Ketahuilah bahwa Bapak/Ibu guru kalian di sekolah adalah orang tua kedua kalian. Hormati dan hargailah mereka. Karena mereka adalah orang-orang yang akan mengantarkan pada kesuksesan kalian di masa depan. Dan keberkahan suatu ilmu hanya didapat karena ridho mereka. Maka, jangan pernah sekalipun menyakiti hati mereka. Yakinlah bahwa semua yang mereka lakukan dan berikan adalah untuk kebaikan masa depan kalian.
Wahai para guru, bersikaplah bijak mengambil sikap. Anda para guru adalah orang-orang yang mendapat tanggung jawab besar untuk mencerdaskan anak bangsa. Maka, laksanakanlah amanah tersebut dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhan. Bersabar dan teruslah bersabar untuk membangun moral dan karakter generasi bangsa ini. Ukirlah prestasi bangsa ini melalui tangan-tangan lembut kalian. Dan jangan sampai menyerah untuk mengentaskan negara ini dan kejahilan. [VM]
Posting Komentar untuk "Suara Hati Seorang Guru "