Toleransi dalam Hegemoni Tirani


Oleh : Ainun Dawaun Nufus (MHTI Kab. Kediri)

Konflik Tanjung Balai memantik keprihatinan tidak seharusnya terjadi dan jangan terulangi lagi. Arus pembahasan dengan terma toleransi hari-hari ini menguat, harapannya agar situasi kondusif, kerukunan antar umat beragama terjaga, guyub dan adem. Menyikapi beberapa letupan-letupan dari masyarakat akhir-akhir ini terkait SARA, maka perlu dicermati, diteliti, jangan salah dalam persepsi dan solusi. 

Toleransi menjadi perbincangan hangat di Dunia Islam. Namun, pernahkah Anda mendengar isu toleransi ini di dunia Barat? Hampir tidak ada. Kalaupun ada itu tidak sampai mengemuka sebagai isu publik yang besar. Sebaliknya, di Dunia Islam, sedikit saja kasus yang menerpa minoritas, opininya begitu besar bahkan bisa meng-internasional. Aneh, kan?

Kalangan liberal menggunakan terminologi ini dalam melihat berbagai persoalan di tengah masyarakat Muslim. Namun demikian, mereka tidak konsisten dengan konsep mereka sendiri untuk ‘tidak/tanpa protes’ terhadap pendapat yang berbeda dari pemikiran/konsep yang mereka bawa. Kaum Muslim dipaksa  tunduk pada argumentasi mereka, kendati itu menyalahi konsep mereka sendiri.

Ketika toleransi berbicara pada ‘penghormatan perbedaan’, konsep ini tidak pernah dipakai oleh kalangan liberal. Mereka memaksa pihak lain (baca: Muslim) untuk sama persepsinya dengan pandangan ala Barat. Barat sendiri tak pernah melihat sesuatu—termasuk agama—itu  dari benar atau salah. Menurut cara pandang ini, semua agama adalah sama. Mereka menganggap semua agama sedang menuju hakikat yang sama, yaitu “The One”. Inilah yang dikenal kemudian dengan konsep “pluralisme”;  semua umat beragama harus menjauhkan perbedaan-perbedaan dan meleburnya menjadi satu keyakinan.

Cara pandang yang stereotif Barat ini membuahkan penilaian negatif terhadap kaum Muslim. Dalam soal kekerasan dan terorisme, misalnya. Kalangan liberal begitu antusiasnya menghakimi kaum Muslim seolah-olah kaum Muslim   adalah orang-orang yang tidak memiliki adab dan kasih sayang. Sedikit saja ada aksi kekerasan, opini yang dikembangkan begitu besar. Tidak hanya ditujukan kepada pelaku kekerasan, tetapi langsung diarahkan untuk ‘menembak’ kaum Muslim yang lebih besar.

Namun, mereka membisu jika yang melakukan aksi kekerasan adalah orang-orang non-Muslim. Kasus pembantaian kaum Muslim di Ambon dan Poso oleh orang-orang Kristen tak pernah disorot sama sekali oleh kalangan liberal ini. Mereka seolah membenarkan aksi brutal kelompok Kristen ini.
Istilah ‘kerukunan umat beragama’ harus disadari realitasnya. Hendaknya umat Islam jangan seperti seekor katak yang berada di dalam panci yang dipanaskan bertahap yang tanpa disadarinya mematikannya secara pelan-pelan. Umat tidak sadar bahwa akidah mereka akan tergerus melalui slogan ‘kerukunan umat beragama’.

Begitupula frase ‘tirani mayoritas‘ adalah istilah kosong yang tidak berpijak dari kenyataan. Menarik pernyataan mantan ketua PBNU Hasyim Muzadi soal toleransi umat beragama. Dia mengatakan, “Selama berkeliling dunia, saya belum menemukan negara Muslim manapun yang setoleran Indonesia…Seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri, pasti tidak dipersoalkan oleh umat Islam. Kalau yang jadi ukuran adalah GKI Yasmin Bogor, saya berkali-kali ke sana, namun tampaknya mereka tidak ingin selesai. Pengurus gereja itu lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia untuk kepentingan lain dari pada masalahnya selesai. ”

Dia juga mengatakan kalau ukurannya pendirian gereja maka faktornya adalah lingkungan. Di Jawa pendirian gereja sulit, tapi di Kupang (Batuplat) pendirian masjid juga sangat sulit dan belum lagi pendirian masjid di Papua. Pernyataan KH. Hasyim ada benarnya meski harus lebih dipertajam, bahwa umat Islam sebagai mayoritas justru yang paling banyak mengalami keterpasungan beragama di negerinya sendiri.  Misalnya, saat umat Hindu bebas menjalankan Hari Raya Nyepi di candi Prambanan di pulau Jawa yang berada di tengah-tengah umat Islam, tapi umat Islam di Pulau Bali dilarang mengumandangkan azan saat perayaan Nyepi.

Sebagai contoh kecil, di pusat-pusat pertokoan menjelang dan saat perayaan Natal, kita sering menjumpai banyak karyawan mall yang dipaksa oleh pihak manajemen yang rata-rata diduduki non-muslim untuk mengenakan busana ala sinterklas. Padahal saat perayaan Idul Fitri tidak ada paksaan bagi karyawan atau karyawati yang non-muslim untuk mengenakan busana muslim/muslimah.

Logika minoritas yang ditindas oleh mayoritas juga sangat menyesatkan. Umat Islam memang mayoritas dari segi jumlah , namun umat Islam di Indonesia justru menjadi korban dari elit-elit minoritas sekuler baik secara ekonomi maupun politik. Dengan kebijakan kapitalisme elit-elit minoritas ini menyengsarakan rakyat Indonesia yang mayoritas muslim. Kalau kita jujur, siapa sebenarnya yang paling diuntungkan dengan kebijakan kapatalis-Liberal ini ? Jelas bukan mayoritas umat Islam.

Jadi siapa sebenarnya yang mengalami penindasan? Umat yang minoritas, ataukah umat Islam yang mayoritas? Siapa yang melanggar HAM? Umat Islam ataukah kaum minoritas? Kasus kerusuhan 1998 dan konflik Timor Timur hingga sekarang terus menerus diangkat oleh media massa sebagai pelanggaran HAM serius terhadap warga minoritas.

Berbeda dengan kasus Tanjung Priok yang menewaskan ratusan muslim akibat tindakan represif aparat keamanan tidak pernah lagi dipersoalkan. Demikian pula kasus Talangsari di Lampung yang menewaskan ratusan warga tidak pernah diangkat sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Atau serangan bersenjata oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka) terhadap aparat keamanan TNI dan Polri juga terhadap warga sipil tidak pernah dianggap sebagai serangan teroris maupun pelanggaran HAM. Dunia internasional termasuk Dewan HAM PBB pun tidak pernah mempersoalkan hal-hal tersebut, semata karena korbannya warga mayoritas muslim.

Jika isu toleransi dan sebaliknya intoleransi ini dilihat dari cara pandang yang sama, mungkin tidak terlalu masalah. Namun, fakta menunjukkan, isu ini sangat pro pada cara pandang orang kafir juga Barat yang memiliki landasan ideologi tertentu. Walhasil, ketika konsep toleransi dan intoleransi diterapkan, ada dominasi kepentingan Barat di Dunia Islam.

Ke mana juga suara Dewan HAM PBB saat muslimah di beberapa negara di Eropa seperti Prancis dilarang mengenakan busana muslimah? Atau saat Swiss melarang pembangunan menara mesjid? Mengapa mereka bungkam? Atau ketika rakyat Afghanistan, Irak, Pakistan menjadi korban kebiadaban tentara asing, mengapa tidak dipersoalkan? [VM]

Posting Komentar untuk "Toleransi dalam Hegemoni Tirani"