Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Budaya Utang Ancam Kedaulatan Negeri


Oleh: Mauliddani Latifah, S.T.,M.T.
(Dosen Pengajar – Aktivis MHTI Tangerang)

Indonesia sebagai negara berkembang yang baru merdeka pasca Perang Dunia II, masih sangat membutuhkan pembiayaan besar dalam rangka mewujudkan pembangunan. Pemerintah selaku pengelola negara tentunya berperan mengatur belanja negara untuk berbagai kepentingan, baik untuk kegiatan rutin pemerintahan, politik, ekonomi, pertahanan, pendidikan, kesehatan, subsidi, pembangunan sarana dan prasarana, infrastruktur dan lain-lain melalui kementerian, badan dan lembaga negara. Faktanya, pengeluaran belanja melebihi besaran pendapatan negara sehingga memaksa pemerintah untuk mencari solusinya, salah satunya yaitu dengan berutang. Bahkan, Indonesia pun harus berutang guna pembayaran bunga utang.

Dalam pembahasan RAPBN 2017, anggaran belanja negara mencapai Rp 2.070,5 triliun. Sedangkan penerimaan negara hanya Rp 1.737,6 triliun (Kompas.com, 17/8/2016). Keuangan negara mengalami defisit keseimbangan primer sebesar Rp 111,4 triliun akibat pendapatan negara lebih rendah dibanding belanja atau pengeluaran. Hal ini disampaikan oleh Menteri Keungan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati saat ditemui di kantor pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa (16/8/2016). Beliau juga menyatakan bahwa APBN dengan keseimbangan primer yang defisit dianggap APBN yang ‘kurang sehat’ dan menandakan pinjaman atau utang yang dilakukan untuk membayar bunga utang. (Liputan6.com, 16/8/2016). 

Data Kementerian Keuangan menyebutkan pemerintah mengalokasikan pagu anggaran pembayaran bunga utang sebesar Rp 221,4 triliun di RAPBN 2017. Jumlah ini lebih tinggi dibanding APBN-P 2016 yang dipatok 191,2 triliun (Liputan6.com, 16/8/2016). Direktur Jendral Pengelolaan Pembiayaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Negara, Robert Pakpahan menyatakan sebagian dari angka tersebut untuk pembayaran utang sebelumnya. Total utang pemerintah berkisar Rp 3.400 triliun. Jika dibandingkan, pembayaran bunga utang jatuh tempo pada 2017 lebih besar Rp 30 triliun dari bunga utang pada tahun 2016 yang ada dikisaran Rp 180 triliun. (Kompas.com, 17/8/2016). Dalam hasil audit BPK, Laporan Keungan Pemerintah Pusat (LKPP), diperkirakan tahun 2016 bunga utang saja akan dibayarkan sebesar Rp 184 triliun dengan cicilan pokok Rp 295 triliun. Jadi untuk tahun 2016 saja, cicilan pokok ditambah bunga, pemerintah membayar sekitar Rp 480,324 triliun (detik.com, 23/8/2016).

Fakta-fakta ini sungguh menyedihkan. Padahal jika dibayangkan, anggaran sebesar Rp 480,324 triliun tentu akan mampu membiayai pendidikan sehingga mengurangi angka putus sekolah. Indonesia masih sangat membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan memiliki daya saing. Pembiayaan kesehatan yang masih jauh dari kata layak, juga masih membutuhkan alokasi anggaran yang tidak sedikit. Pembukaan lapangan kerja sebagai bentuk upaya peningkatan derajat kesejahteraan juga menjadi hak rakyat yang masih banyak diabaikan.

Perangkap dalam Utang Luar Negeri

Tradisi utang bangsa Indonesia telah ada sejak Indonesia merdeka. Pemerintah Soekarno telah berutang US$ 6,3 miliar yang terdiri dari US$ 4 miliar merupakan warisan utang Hindia Belanda dan sisanya sebesar US$ 2,3 miliar sebagai utang baru (Republika, 17/4/2006). Meskipun demikian, Presiden Soekarno, sang proklamator telah mengingatkan bahwa bantuan utang luar negeri akan mengurangi kedaulatan negara. Slogan ‘Go to hell with your aid’ adalah bentuk pernyataan sikap presiden pertama ini sebagai respon adanya campur tangan asing, dalam hal ini IMF. Memasuki pemerintahan Orba, keran asing dibuka, terlebih saat badai krisis moneter yang menimpa Asia Tenggara pada tahun 1997, IMF tetap dijadikan dewa penyelamat dengan ditanda-tanganinya Letter of Intent (ILO) pertama pada tanggal 31 Oktober 1997 yang berisikan perjanjian 3 tahun dengan kucuran utang sebesar US$ 7,3 miliar. Namun, pemerintahan Orba pun berakhir menyedihkan, alih-alih menyelamatkan perekonomian, kehadiran IMF justru memperparah perekonomian Indonesia. Pengangguran meningkat, nilai tukar rupiah terus merosot tajam. Hingga pada tahun 1998, krisis moneter melanda Indonesia dan mengakibatkan lebih dari 50% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Tragis!

Pada dasarnya, utang luar negeri diberikan sebagai senjata politik negara-negara kapitalis guna memaksakan kebijakan politik, ekonomi terhadap negara-negara peminjam yang kebanyakan merupakan negeri-negeri Muslim. Pinjaman tersebut bertujuan untuk kemaslahatan, keuntungan dan eksistensi mereka sendiri, bukan semata untuk membantu negara lain. Dalam dokumen luar negeri AS hasil kajian debat publik yang dikeluarkan pada Maret 1963 dan diketuai oleh Jenderal Lucay Clay telah terungkap bahwa tujuan bantuan luar negeri AS adalah untuk mengamankan kepentingan AS sendiri dan dunia bebas (negara-negara kapitalis lainnya). Sehingga dengan kata lain, bantuan atau pinjaman luar negeri itu menjadikan negara-negara peminjam tunduk di bawah dominasi AS sehingga membela kepentingan-kepentingan mereka di negeri-negeri tersebut. Hal ini semakin diperparah dengan masuknya Indonesia pasar bebas seperti MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) dan yang sedang dalam pembahasan, yaitu TPP (Trans Pasific Partnership).

Bagi Indonesia, berutang telah menjadi candu. Sebuah budaya perekonomian yang berpotensi menimbulkan banyak resiko dan kekacauan di masyarakat, bahkan bagi perekonomian itu sendiri. Pola pembiayaan melalui utang guna membayar utang seperti ini akan menjadikan Indonesia sangat tergantung pada utang dan sulit untuk mencapai kemandirian bahkan mengancam kedaulatan. Lebih parah lagi, pembengkakan porsi utang akan membuka resiko kebangkrutan suatu negara akibat ketidakmampuan pembayaran utang. Negara Yunani, Ekuador, Zimbabwe adalah contoh negara-negara yang bangkrut karena utang. Sudah selayaknya hal tersebut menjadi semacam warning bagi pemerintah. Ketergantungan pada utang menunjukkan kurangnya produktifitas dan efisiensi dalam perekonomian negara.

Begitulah cerminan keuangan negara yang dikelola dalam sistem kapitalis. Pemasukan yang sumbernya hanya didominasi dari pajak atau cukai semata tidak akan mampu memenuhi APBN. Pengambilan kebijakan keuangan dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan pemilik modal dan terperangkap dalam jerat utang dan bunga utang yang mencekik dan sarat dengan aktivitas ribawi. 

Utang dan Pengelolaan Anggaran dalam Islam

Pada dasarnya, hukum asal utang baik bagi individu maupun negara adalah mubah. Namun, apabila utang tersebut membawa pada bahaya maka utang tersebut diharamkan. Sebagaimana suatu kaidah syara’ menyebutkan, “Apabila terjadi (kerusakan) akibat bagian diantaranya satuan-satuan yang mubah, maka satuan itu saja yang dilarang”. Selain, utang luar negeri yang terjadi saat ini tidak bisa lepas dari aktivitas riba yang sangat jelas haram hukumnya. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 275, “Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. Terlebih lagi utang luar negeri ini telah menjadi sarana penjajahan asing terhadap perekonomian negara. Padahal itu secara tegas telah dilarang dalam Islam, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa ayat 141, “Allah tidak memperkenankan orang-orang kafir untuk menguasai kaum Mukmin”.

Islam memiliki aturan yang khas dan jelas dalam pengelolaan ekonomi. Fakta tersebut sangat jauh berbeda bila ditinjau dari pengelolaan perekonomian dalam Islam. Islam menetapkan bahwa pemerintah wajib bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyat. Rasulullah SAW bersabda, “Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan mereka” (HR. Muslim). Ditinjau dari pemasukan negara dalam sistem pemerintahan Islam, sumber-sumber pendapatannya diperoleh dari kepemilikan negara (milkiyyah ad-daulah) seperti ‘usyur, fa'i, ghonimah, kharaj, jizyah dan lain sebagainya. Selain itu dapat pula diperoleh dari pemasukan pemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) seperti pengelolaan hasil pertambangan, minyak bumi, gas alam, kehutanan dan lainnya. Negara bertanggung jawab atas optimalisasi dari harta kepemilikan umum dan negara tersebut tanpa adanya liberalisasi dalam lima aspek ekonomi, yaitu liberalisasi barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil. Dengan demikian, kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga dan potensi penutupan kebutuhan anggaran dari utang luar negeri dapat dihindari.

Baitul mal sebagai lembaga yang mengelola pemasukan tersebut dan akan dikeluarkan atau dibelanjakan untuk keperluan negara dan rakyat. Termasuk diantaranya proyek-proyek infrastruktur. Hal tersebut bukanlah tanggung jawab kaum muslimin melainkan tanggung jawab baitul mal, yang berarti bagian dari tanggung jawab negara. Disini terlihat jelas, sumber-sumber pemasukan negara didapatkan tanpa membebani rakyat. Kalaupun ada pengambilan pajak (dhoribah), hanya akan dibebankan jika baitul mal sedang kosong dan pelaksanaannya sesuai dengan apa yang telah diwajibkan oleh syariat atas kaum muslimin.

Namun, semua aturan ini akan sulit tercapai dan tidak mampu mengantarkan umat pada keridhaan Allah SWT bila masih menggunakan sistem demokrasi-kapitalis. Sungguh, hanya dengan sistem Islam yang kaffah, semua permasalahan yang ada bisa teratasi, baik dalam bidang perekonomian, pendidikan, politik, sosial budaya dan lain sebagainya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Thaha ayat 124, "Siapa saja yang berpaling dari perintahku, sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit". Wallahu’alam bi al-shawab. [VM]

Posting Komentar untuk "Budaya Utang Ancam Kedaulatan Negeri"

close