MEA : Wajah Penjajahan Gaya Baru
Oleh : Lilis Holisah, S.Pd.I
(DPD I Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Provinsi Banten)
Pasca diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) awal Januari 2016 lalu, arus masuknya tenaga kerja luar ke dalam negeri mengalir deras. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Hanif Dhakiri mengatakan pekerja asal China jumlahnya fluktuatif sekitar 14.000-16.000 orang dalam satu tahun. Setiap tahun, tenaga kerja China di Indonesia jumlahnya hanya sekitar 20-22 persen. Data 30 Juni 2016, jumlah total tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia sebesar 43.816 ribu orang asing.
Sementara itu, demi bisa bersaing dengan pengusaha luar yang datang ke Indonesia karena pemberlakuan MEA, pengusaha kecil menengah dibekali kegiatan bimbingan teknis pendampingan oleh Kementerian Koperasi dan UKM. Tujuan diadakan kegiatan bimbingan teknis pendampingan bagi Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah (KUMKM) tersebut adalah untuk mengetahui kesiapan KUMKM dalam menghadapi zona perdagangan bebas tersebut.
Uji kesiapan KUMKM tersebut dilaksanakan di enam provinsi, yakni Bali, Sulawesi Selatan, Yogyakarta, Jawa Barat (Tasikmalaya), dan Kota Batam. Enam lokasi tersebut ditengarai menjadi pusat dan strategis sebagai tujuan wisata dan perdagangan, serta daerah perbatasan.
Menurut Deputi Bidang Restrukturisasi Usaha Kementrian Koperasi dan UKM Yuana Setyowati di Jakarta, Rabu (24/8/2016), Kemenkop memberikan pembekalan dari para narasumber yang kompeten untuk meningkatkan daya saing produk dan usaha, serta kompetensi SDM-nya.
Diantaranya, dari Badan Standarisasi Nasional (BSN) tentang standarisasi produk, Garuda Preneur mengenai membuka wawasan tentang MEA dan persaingan global (mindset pengusaha dan e-commerce), dan para narasumber dari pelaku usaha yang memaparkan tentang strategi memasuki pasar ASEAN.
Banyak kalangan yang menganggap bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini sebagai sebuah tantangan. Namun tidak sedikit pula yang menganggap ini sebagai sebuah ancaman.
ASEAN memiliki posisi strategis dari aspek ekonomi, politik dan keamanan, hal ini yang kemudian menarik minat negara-negara Barat untuk menancapkan pengaruhnya dalam rangka meraih keuntungan yang besar.
ASEAN menjadi pasar empuk bagi negara-negara maju untuk mengeruk keuntungan karena selain potensi ekonominya yang luar biasa, juga karena didukung dengan kesadaran politik penguasanya yang lemah dan cenderung mengikuti cara pandang Barat. Sehingga banyak yang tidak memahami bahwa MEA sebenarnya adalah skenario Barat untuk mengeksploitasi kekayaan alamnya. Dengan kata lain, MEA ini sebagai alat penjajahan Barat untuk mengeruk keuntungan dari negeri-negeri kawasan ASEAN.
ASEAN merupakan satu-satunya organisasi regional di kawasan ini menjadi sarana tersendiri bagi negara-negara Barat untuk mencapai kepentingannya masing-masing. AS dan negara-negara Barat lainnya terus berupaya untuk memperebutkan sepotong kue bernama ASEAN ini.
Hal ini terlihat dari beberapa forum kerjasama bilateral, regional, dan multilateral yang digagas sejak regionalisme ASEAN mulai didirikan pada tahun 1967. Keberadaan forum kerjasama ASEAN + 1 dengan negara dan kawasan mitra wicara; ASEAN + 3 (China, Jepang, Korea Selatan); ASEAN + 6 atau sekarang + 8 (East Asia Summit/EAS) yang mampu menarik minat Amerika Serikat dan Rusia untuk terlibat didalamnya; serta ASEAN Regional Forum/ARF (8 + Bangladesh, Pakistan, Sri Lanka, Korea Utara, Mongolia, Timor Leste, Papua New Guinea, Uni Eropa, dan Kanada) yang mengusung tema kerjasama di bidang politik dan keamanan, serta berbagai macam kerjasama sub-kawasan, intra dan ekstra regional lainnya seperti misalnya Pacific Forum Island (PIF), US Lower-Mekong Initiative, South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC), Shanghai Cooperation Organization (SCO), serta Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), mengindikasikan dengan kuat bahwa posisi dan peran strategis ASEAN dalam politik internasional telah dimanfaatkan oleh berbagai pihak (terutama Barat) dalam rangka mencapai tujuan dan kepentingan masing-masing.
Tujuan yang ingin dicapai MEA, yakni menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi dengan ciri adanya aliran bebas barang, jasa, dan tenaga kerja terlatih, modal, serta aliran investasi yang lebih bebas.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dibuatlah Master Plan of ASEAN Connectivity (MPAC) yang menjadi acuan rencana aksi pelaksanaannya. MPAC tegak atas 3 pilar ASEAN Connectivity, yakni physical connectivity (pembangunan infrastruktur fisik), Institutional Connectivity (kelembagaan, mekanisme, dan proses yang efektif), dan People-To-People Connectivity (penguatan antar-penduduk yang ditandai dengan peningkatan mobilitas masyarakat ASEAN).
Di Indonesia sendiri, upaya untuk menunjang ASEAN Connectivity ini dituangkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Kebijakan pasar bebas memang dirancang untuk mengubah dunia menjadi pasar terbuka bagi produk barang dan jasa negara maju. Aliran barang dan jasa dari negara maju bebas keluar masuk tanpa hambatan (bea cukai, birokrasi yang rumit dll).
MEA disinyalir sebuah potensi yang akan membawa bangsa ini menuju kemandirian ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Tujuan MEA yang digembar-gemborkan secara ekonomi akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.
MEA akan mengarahkan ASEAN memiliki 4 karakteristik utama, yaitu (a) sebagai pasar tunggal dan basis produksi, (b) sebagai kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi, (c) sebagai kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata, dan d) sebagai kawasan yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global. Karakteristik-karakteristik tersebut memiliki kaitan erat dan saling memperkuat satu sama lainnya.
Tetapi benarkah dengan karakteristik diatas ASEAN akan mampu menjadi kawasan dengan kondisi ekonomi yang stabil dan mampu mengurangi kemiskinan?
Dari 4 karakteristik utama yang dikembangkan dalam MEA, sebenarnya yang menjadi tujuan akhir adalah terwujudnya perdagangan bebas di ASEAN. Ini terlihat dari karakteristik ke-4 yang menjadikan ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global. Ekonomi global saat ini memang diarahkan menuju sebuah bentuk pasar bebas sebagaimana yang digagas WTO dan tercantum dalam Bogor Goals tahun 1994.
Sebagaimana dimaklumi, dalam pasar bebas semua pihak diberikan kebebasan untuk melakukan persaingan. Tidak ada pembatasan apapun, siapa yang ingin bersaing dipersilakan untuk masuk ke pasar tersebut. Ibarat bermain tinju, semuanya bisa masuk ke ring tinju tanpa memperhatikan kelas-kelasnya, apakah kelas berat, kelas ringan ataupun kelas terbang. Semua dipersilakan bermain dan bertanding secara langsung. Maka sangat mudah dipahami siapa yang kuat dialah yang akan memenangkan pertandingan.
Sebuah contoh yang lebih mudah dipahami adalah jika di sebuah kampung ada 100 toko kelontong yang kecil-kecil kemudian tiba-tiba dibangun sebuah mall. Maka seiring dengan berjalannya waktu, mau-tidak mau, toko-toko kelontong tersebut satu persatu akan gulung tikar.
Demikian pula sebenarnya yang terjadi dalam pasar bebas nantinya. Perusahaan-perusahaan kelas gajah milik asing akan ikut bermain dan bersaing bersama dengan perusahaan-perusahaan kelas pelanduk milik masyarakat bawah. Bisa ditebak, sesuai dengan pepatah jika dua gajah bertarung maka pelanduk mati ditengah-tengah. Artinya, fenomena persaingan di pasar bebas hanya berlaku untuk perusahaan raksasa di tingkat nasional dan internasional saja. Bukan persaingan bebas untuk rakyat semuanya yang hanya memiliki perusahaan di kelas “gurem”.
Jadi jika demikian, maka untuk siapakah sebenarnya desain pasar bebas ini dibuat? Secara gamblang ini pernah ditegaskan oleh seorang penasehat Clinton untuk keamanan nasional dalam sebuah pidatonya tanggal 21 September 1993 yang mengatakan, ”Kita harus menyebarkan demokrasi dan ekonomi pasar bebas karena hal ini akan dapat menjaga kepentingan-kepentingan kita, memelihara keamanan kita dan sekaligus mendemonstrasikan nilai-nilai anutan kita, nilai-nilai Amerika yang luhur”.
Bahkan Clinton sendiri pun pernah mengungkapkan hal senada dengan mengatakan, “Sesungguhnya blok-blok perdagangan itu lebih penting daripada blok-blok militer. Saat ini posisi ekonomi di dunia telah menggantikan posisi politik. Oleh karena itu Amerika membentuk Dewan Ekonomi Nasional yang serupa dengan Dewan Keamanan Nasional”.
Negarawan AS, Henry Clay, menyatakan, “Sebagaimana kita, bangsa-bangsa lain tahu, apa yang kita maksud dengan ‘perdagangan bebas’ tidak lebih dan tidak kurang dari keuntungan besar yang kita nikmati, untuk mendapatkan monopoli dalam segala pasar produksi kita, dan mencegah mereka agar tidak menjadi negara produsen”.
Jadi sangat jelas bahwa pasar bebas adalah tujuan utama Barat untuk mengeruk keuntungan yang sebesar besarnya dari kawasan ASEAN.
Menilik tujuan MEA tersebut, menjadi jelaslah bahwa pasar bebas adalah strategi Barat untuk semakin memperkokoh penjajahan ekonominya di kawasan ASEAN. Tentu hal ini tidak boleh dibiarkan. Apalagi berdiam diri dengan menganggap bahwa MEA adalah suatu tantangan yang bermakna positif.
Akibat berbahaya dari pasar bebas adalah dampak sosial yang bermuara tidak hanya pada kehancuran keluarga namun juga kehancuran peradaban. Ketika persaingan semakin ketat, para laki-laki yang menjadi tulang punggung keluarga akan kesulitan mencari pekerjaan. Alhasil, kondisi ini menyebabkan kaum perempuan akhirnya keluar dari rumah-rumah mereka untuk bekerja membantu ekonomi keluarga.
Ketika kaum perempuan meninggalkan kewajiban mereka sebagai pengurus dan pengatur rumah tangga, anak-anak mereka kemudian 'terlantar' dari pengasuhan dan pendidikan orang tua. Anak-anak bahkan ada yang dititipkan di tempat penitipan anak (day care). Anak-anak akhirnya akan mencari perhatian dari luar yang membuat mereka menjadi anak-anak jalanan atau kalaupun tidak, mereka tidak menjadi generasi yang berkualitas.
Maka, dapat dipahami bahwa ini akan menyebabkan selain kehancuran keluarga juga akan menyebabkan kehancuran peradaban, ketika secara massif kaum perempuan dibiarkan meninggalkan kewajiban mereka untuk mencari penghasilan.
Kita harus memandang bahwa MEA adalah sebuah ancaman, sehingga kita bisa bahu membahu untuk melawan imperialisme Barat. Dengan begitu, tidak ada jalan bagi bangsa Barat untuk menguasai kaum muslimin yang mayoritas tinggal di kawasan negara-negara berkembang.
Untuk melawan imperialisme Barat diperlukan sebuah persatuan dari seluruh kaum muslimin. Namun harus dipahami bahwa persatuan ini bukanlah sekedar berkumpulnya individu untuk menentukan kesamaan sikap terhadap MEA. Sebab hegemoni Barat yang sudah sangat kuat ini tidak mungkin bisa dilawan dengan bersatunya kelompok-kelompok masyarakat, atau berkumpulnya individu-individu atau bahkan berkumpulnya para perempuan.
MEA adalah sebuah strategi dari suatu sistem. Maka yang mampu melawannya adalah kekuatan sistem pula, bukan kekuatan kelompok apalagi kekuatan individu. Karena itu menegakkan sebuah sistem yang akan menata perekonomian dunia dengan cara yang tepat adalah sebuah keniscayaan. Dan hal ini hanya bisa dilakukan ketika ada sebuah institusi yang akan menerapkan sistem ekonomi tersebut. Dan Islam yang diterapkan dalam sebuah Negara dengan sistem ekonomi yang diridloi oleh Allah adalah jawaban atas semua ini. [VM]
Posting Komentar untuk "MEA : Wajah Penjajahan Gaya Baru"