Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Banjir dan Lalainya Penguasa


Oleh : Retno Esthi Utami 
(Pemerhati Sosial)

Banjir di Sidoarjo menelan korban jiwa, Juniar Maulidin (16) asal Desa Sarirogo RT 16 RW 04, hanyut di Sungai Sumput. Tim gabungan Basarnas dan Ndantim Rescue mencoba mencari keberadaan Juniar dengan menyusuri aliran sungai sepanjang 3 km hingga jembatan di Jalan Raya Sumput. Selama menyusuri mereka mendapati dasar sungai banyak terdapat material, terutama ranting pohon dan batang-batang kayu. Mereka menduga, tubuh Juniar bisa jadi tersangkut material tersebut.

Selain menelan korban jiwa, delapan kecamatan di Kabupaten Sidoarjo terendam banjir. Banjir ini akibat hujan deras dengan intensitas cukup tinggi sejak Sabtu (8/10). Delapan wilayah yang terendam banjir adalah Kecamatan Taman, Kecamatan Gedangan, Kecamatan Sedati, Kecamatan Buduran. Kemudian Kecamatan Balongbendo, Kecamatan Krian, Kecamatan Sedati, Kecamatan Sidoarjo.

Pemicu banjir parah di Sidoarjo tahun ini adalah makin padatnya kota itu akan bangunan. Tidak hanya perumahan yang makin menjamur luar biasa di kota ini namun juga bangunan pabrik merajalela. Sementara daerah resapan dan daerah terbuka hijau makin menyempit. "Sudah saatnya diatur kembali kawasan di Sidoarjo harus sesuai peruntukannya. Pemerintah Sidoarjo harus memperhatikan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW)," kata Wakil Gubernur Jatim, Saifullah Yusuf (Gus Ipul) usai meninjau lokasi banjir di Tropodo, Kecamatan Taman, Sidoarjo, Senin (10/10/2016), dimuat  dalam http://surabaya.tribunnews.com.

Selain di Sidoarjo Jawa Timur, Jakarta juga tak pernah absen dari bencana banjir. Kawasan Kelurahan Pejaten Timur, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan diterjang banjir setinggi 10 sampai 90 centimeter. Hal ini, berdasarkan informasi dari akun resmi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta. Banjir ini merupakan air kiriman dari Bogor, yang mengalami hujan deras hingga bendung Katulampa, Bogor, Jawa Barat meningkat hingga berstatus Siaga 3 pada sore kemarin. "(Tinggi air) sekira 10-90 cm di Kelurahan Pejaten Timur," tulis @BPBD Jakarta yang dikutip , Selasa (11/10/2016).

Prof Dr Ing Fahmi Amhar menyatakan, kalau banjir itu cuma insidental, maka itu persoalan teknis belaka. Tetapi kalau banjir itu selalu terjadi, berulang, dan makin lama makin parah, maka itu pasti persoalan sistemik. “Kalau banjir sistemik itu dapat selesai dengan bendungan baru, pompa baru, kanal baru dll, maka itu sistem-teknis,” ungkap peneliti utama di Geospatial Information Agency (former Bakosurtanal). Namun, kalau itu menyangkut tata ruang yang tidak dipatuhi, kemiskinan yang mendorong orang menempati sempadan sungai, keserakahan yang membuat daerah hulu digunduli, sistem anggaran yang tidak sesuai untuk mengatasi bencana, pejabat yang tidak kompeten dan abai mengawasi semua infrastruktur, dsb, maka itu sudah terkait dengan sistem-non teknis.

Bencana seperti banjir ini menunjukkan buruknya pengelolaan urusan masyarakat oleh negara. Negara lebih mendahulukan bisnis ketimbang melayani kebutuhan pokok hidup masyarakat. Banyak diketahui pula jika pemerintah, baik pusat maupun daerah tunduk pada kepentingan para pengusaha. Termasuk pula mengalihfungsikan lahan yang seharusnya menjadi kawasan resapan air dan pencegah longsor menjadi daerah pembangunan mall, gedung, pemukiman; pembangunan vila sembarangan, penambangan, dsb. Tidak menafikkan pula, warga yang berperilaku buruk, seperti kebiasaan membuang sampah di sungai atau membangun pemukiman di bantaran kali, yang kebanyakan dilakukan oleh rakyat kecil. Namun harus diingat, itu hanya sebagian dari faktor penyebab banjir.

Semua itu masih diperparah dengan buruknya ri’ayah dalam menangani dan mengatasi bencana. Kompas (21/1/2014) menulis, “meski rutin menghadapi banjir atau tanah longsor, penanganan bencana hidrometeorologis di berbagai daerah tetap kedodoran. Keterlambatan evakuasi korban dan kurang terurusnya pengungsi masih terjadi. Lemahnya koordinasi antar lembaga dan rendahnya kesadaran masyarakat memperburuk keadaan.”

Saat bencana datang, politisi serta penguasa sibuk mencari kambing hitam, menyalahkan penguasa sebelumnya, lempar tanggung jawab, bahkan menyalahkan hujan. Kepemimpinan pun tidak tampak dalam mengantisipasi, menangani dan mengatasi bencana. Lemahnya koordinasi antar lembaga dan antar daerah menjadi bukti. Pemerintahlah yang bisa memobilisasi, mengkoordinasi dan mengatur semua sumber daya termasuk swasta dan masyarakat sehingga bisa mencegah, mengantisipasi, menangani dan mengatasi bencana, sayangnya hal itu belum terlihat. 

Terjadinya bencana alam, banjir (bandang), tanah longsor serta dampak dari bencana tersebut bukanlah hanya masalah teknis, akan tetapi merupakan masalah sistemis. Karena pula menyangkut akan sistem tata ruang yang tidak dipatuhi, kemiskinan yang mendorong orang untuk menempati bantaran-bantaran sungai, serta keserakahan dari pengusaha membuat daerah resapan air digunduli digantikan oleh gedung, mall dan pemukiman demi pendapatan daerah, pejabat dan petugas yang abai serta tidak kompeten dalam mengawasi  infrastuktur, serta penguasa dan politisi yang lalai dalam mengurusi dan menjamin kemaslahatan rakyatnya. Dan kesemuanya itu saling terkait dan berpusat kepada paham politik kapitalisme ide mendasar bahwa semua itu diserahkan kepada mekanisme pasar dan proses demokratis.

Bagaimana dengan Islam ? Untuk mengatasi banjir dan genangan, Khilafah Islamiyyah tentu saja memiliki kebijakan canggih dan efisien. Kebijakan tersebut mencakup sebelum, ketika, dan pasca banjir. Disampaikan oleh Ustadz Syamsuddin Ramadhan An Nawiy dikutip dari mediaumat (6/1/2013)

Pertama, pada kasus banjir yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletsyer, rob, dan lain sebagainya, maka Khilafah akan menempuh upaya-upaya sebagai berikut;
  1. Membangun bendungan-bendungan yang mampu menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan, dan lain sebagainya.
  2. Khilafah akan memetakan daerah-daerah rendah yang rawan terkena genangan air (akibat rob, kapasitas serapan tanah yang minim dan lain-lain),  dan selanjutnya membuat kebijakan melarang masyarakat membangun pemukiman di wilayah-wilayah tersebut; atau jika ada pendanaan yang cukup, Khilafah akan membangun kanal-kanal baru atau resapan agar air yang mengalir di daerah tersebut bisa dialihkan alirannya, atau bisa diserap oleh tanah secara maksimal.
  3. Khilafah membangun kanal, sungai buatan, saluran drainase, atau apa namanya untuk mengurangi dan memecah penumpukan volume air; atau untuk mengalihkan aliran air ke daerah lain yang lebih aman.  Secara berkala, Khilafah mengeruk lumpur-lumpur di sungai, atau daerah aliran air, agar tidak terjadi pendangkalan.
  4. Membangun sumur-sumur resapan di kawasan tertentu.  Sumur-sumur ini, selain untuk resapan, juga digunakan untuk tandon air yang sewaktu-waktu bisa digunakan, terutama jika musim kemarau atau paceklik air.
Kedua, dalam aspek undang-undang dan kebijakan, Khilafah akan menggariskan beberapa hal penting berikut ini:
  1. Khilafah membuat kebijakan tentang master plan, di mana dalam kebijakan tersebut ditetapkan sebuah kebijakan sebagai berikut; (1) pembukaan pemukiman, atau kawasan baru, harus menyertakan variabel-variabel drainase, penyediaan daerah serapan air, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya.
  2. Khilafah akan mengeluarkan syarat-syarat tentang izin pembangunan bangunan. Jika seseorang hendak membangun sebuah bangunan, baik rumah, toko, dan lain sebagainya, maka ia harus memperhatikan syarat-syarat tersebut.  Hanya saja, Khilafah tidak menyulitkan rakyat yang hendak membangun sebuah bangunan.  Bahkan Khilafah akan menyederhanakan birokrasinya.
  3. Khilafah akan membentuk badan khusus yang menangani bencana-bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengobatan,  dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana.  Selain dilengkapi dengan peralatan canggih, petugas-petugas lapangan juga dilengkapi dengan pengetahuan yang cukup tentang SAR (search dan rescue), serta ketrampilan yang dibutuhkan untuk penanganan korban bencana alam. 
  4. Khilafah menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai daerah cagar alam yang harus dilindungi. Khilafah juga menetapkan kawasan hutan lindung, dan kawasan buffer yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan izin.   Khilafah menetapkan sanksi berat bagi siapa saja yang merusak lingkungan hidup tanpa pernah pandang bulu.
  5. Khilafah terus menerus menyosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, serta kewajiban memelihara lingkungan dari kerusakan.  Ketetapan ini didasarkan ketetapan syariat mengenai dorongan berlaku hidup bersih dan tidak membuat kerusakan di muka bumi.

Ketiga, dalam menangani korban-korban bencana alam, Khilafah akan segera bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Khilafah menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai. Selain itu, Khalifah akan mengerahkan para alim ulama untuk memberikan taushiyyah-taushiyyah bagi korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa mereka, sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah swt.

Inilah kebijakan Khilafah Islamiyyah mengatasi banjir.  Kebijakan tersebut tidak saja didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional, tetapi juga disangga oleh nash-nash syariat.  Dengan kebijakan ini, insya Allah, masalah banjir bisa ditangani dengan tuntas. [VM]

Posting Komentar untuk "Banjir dan Lalainya Penguasa"

close