Konspirasi Dibalik Kebijakan Reklamasi
Oleh: Hasni Tagili, S. Pd., M. Pd
(Dosen Universitas Lakidende & Aktivis MHTI Konawe, Sulawesi Tenggara)
Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, tetap bersikeras melanjutkan reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta. Padahal, PTUN Jakarta telah mengeluarkan putusan untuk menghentikan reklamasi tersebut. Hal ini dinilai sebagai bentuk pembungkaman hukum oleh Kesatuan Nelayan Tradisional Seluruh Indonesia (KNTI) dan sejumlah elemen masyarakat Jakarta, sebab Luhut tidak mengakui putusan hukum tersebut (Tempo.co, 16/09/2016).
Reklamasi Merajalela
Reklamasi pada dasarnya merupakan upaya mengubah laut, pesisir, rawa-rawa, danau, sungai dan kawasan berair lainnya menjadi daratan dengan cara mengeruk, mengeringkan atau membuat drainase.
Dalam teori perencanaan kota, reklamasi pantai merupakan salah satu langkah pemekaran kota. Di Indonesia, aktivitas ini sudah berlangsung sejak tahun 80-an dan selalu menuai pro kontra. Pada Desember 2014, dikeluarkan Surat Keputusan Gubernur DKI No. 2238 Th. 2013 dan diberikan izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menilai, kebijakan tersebut melanggar karena kewenangan memberikan izin di area laut strategis berada di tangan KKP meski lokasinya ada di wilayah DKI Jakarta.
Akhir September 2015, KKP mengkaji moratorium reklamasi. Reklamasi diusulkan hanya untuk pelabuhan, bandara, dan listrik. Di luar itu tidak boleh ada reklamasi untuk hotel, apartemen, mal, dan sebagainya. Tapi Pemprov DKI pada Oktober 2015, malah mulai mempersiapkan tahap awal pengembangan pulau-pulau reklamasi. Pulau O, P, dan Q akan diintegrasikan dengan Pulau N untuk pembangunan Port of Jakarta.
Tahun 2016, Rizal Ramli sempat menganulir pemberian izin reklamasi dan memberlakukan moratorium. Ia juga membentuk tim dari berbagai kementerian teknis untuk mengkaji beberapa persoalan yang dilanggar pengembang. Bahkan, PTUN Jakarta telah memutuskan untuk menghentikan reklamasi tersebut. Namun, Menteri Koordinator Kemaritiman setelah Rizal Ramli, Luhut Binsar Pandjaitan, tetap ngotot melanjutkan reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta. Keputusan Luhut itu dianggap sebagai inkonsisten pemerintah pada keputusan sebelumnya (Tempo.co, 16/09/2016).
Ketua Komunitas Nelayan Tradisional (KNT), Iwan, mengatakan keputusan Luhut melanjutkan reklamasi bersifat serampangan. Menurutnya, reklamasi akan berdampak luas terhadap nelayan dan daerah pesisir Jakarta. Nelayan tradisional Jakarta akan musnah dan masyarakat pesisir akan habis karena reklamasi dikuasai kapitalis.
Pernyataan Luhut yang mengaku telah mengundang berbagai elemen masyarakat sebelum menghentikan moratorium reklamasi pun terbantahkan. Aktivis dan pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum DKI Jakarta, Tigor Hutapea, mengaku tak pernah dilibatkan saat pengambilan keputusan melanjutkan reklamasi. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Puput T.D. Putra. Ia memprotes kebijakan Luhut yang melanjutkan proyek reklamasi di Teluk Jakarta tanpa melibatkan aktivis lingkungan dan nelayan (Tempo.co, 10/09/2016).
Praktisnya, sebelum reklamasi Teluk Jakarta, reklamasi lainnya sudah pernah bergulir. Reklamasi tersebut diantaranya terjadi di pantai Mamuju (Sulawesi Barat), gugusan Pulau Serangan di Bali (Denpasar), pantai di Manado (Sulawesi Utara), pesisir pantai di Semarang, pulau di Tangerang, pantai di Makassar, wilayah pesisir di Ternate, dan Teluk Kendari (Sulawesi Tenggara).
Dibalik Arogansi Penguasa
Ketidaktegasan penguasa dalam memutuskan masalah reklamasi ini mencerminkan arogansi dan ketidakberpihakan mereka terhadap rakyat. Berbagai pihak bahkan memaksakan kehendaknya berdasarkan berbagai kepentingan untuk meraup keuntungan dalam proyek ini. Alhasil, liberalisasi ekonomi tak dapat terhindarkan.
Liberalisasi meniscayakan tata pemerintahan dan ekonomi yang bebas. Tata pemerintahan liberal sesuai dengan konsep Reinventing Government, yakni tata kelola pemerintahan dengan prinsip pemerintah berorientasi pada mekanisme pasar (market oriented government). Sehingga fungsi pemerintah diarahkan hanyalah sebagai regulator pasar melalui sinkronisasi undang-undang.
Proyek reklamasi juga sarat kepentingan kapitalis. Alasan untuk menyediakan lahan karena sudah tidak mungkin perluasan lahan di darat tidak sepenuhnya benar. Menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP), Bernardus Djonoputro, reklamasi di Singapura, Dubai, dan New York memang untuk penyediaan lahan karena dipicu keterbatasan ruang di darat. Tapi, bagi Jakarta, reklamasi lebih didorong karena anggapan ongkos pembangunan di laut lebih murah, daripada menciptakan ruang pembangunan baru di daratan yang jauh lebih mahal akibat terlalu birokratis, harga tanah tak terkendali, serta banyak masalah sosial seperti kawasan kumuh dan penghuni liar. Reklamasi lantas dijadikan opsi yang dipilih oleh para pengembang (Kompas.com, 04/04/2016).
Di sisi lain, reklamasi berpotensi sebagai lahan korupsi. Pasalnya, para pembuat kebijakan dan legislator perlu biaya politik yang besar. “Produk” yang dimiliki pajabat dan legislator tidak lain adalah kebijakan dan peraturan. Dalam hal ini, kepentingan kapitalis bisa langsung bersambut dengan kepentingan politisi dan pejabat. Karenanya, dalam proyek-proyek besar dengan keuntungan menggiurkan seperti mega proyek reklamasi, peluang terjadinya perdagangan kebijakan dan peraturan menjadi terbuka. Dari sini bisa tergambar bahwa proyek reklamasi mengandung potensi korupsi, kolusi dan nepotisme yang besar.
Tertangkapnya M. Sanusi, ditersangkakannya Presiden Direktur Agung Podomoro Land Tbk, Ariesman Widjaja, karena suap, serta pencekalan Aguan dan Suny Tanuwidjaya, hanyalah mengkonfirmasi aroma tak sedap yang sudah menyeruak sejak awal proyek reklamasi Teluk Jakarta digulirkan.
Dari segi regulasi pun, beberapa proyek reklamasi menyalahi aturan, antara lain undang-undang soal lingkungan hidup dan pengelolaan wilayah pesisir. Namun, pembangunan kawasan tersebut seolah dipaksakan meski mendapat penolakan. Ketua KPK, Agus Rahardjo, mengatakan bahwa pihak swasta maupun legislasi yang terlibat dalam perkara reklamasi jelas-jelas mengabaikan kepentingan yang lebih besar. Dalam kasus ini terlihat bagaimana pengusaha memengaruhi Pemda dan pembuat UU tanpa menghiraukan kepentingan rakyat yang lebih besar, terutama yang berkaitan dengan lingkungan (Kompas.com, 01/04/2016).
Pandangan Islam
Reklamasi dalam pandangan Islam berkaitan dengan 2 hal. Pertama, berkaitan dengan lahan milik umum seperti danau, kawasan laut pesisir dan laut. Harta milik umum itu haram dikuasai atau dikuasakan kepada individu, kelompok atau korporasi. Negara harus memberikan peluang kepada seluruh rakyat untuk bisa memanfaatkan atau mendapatkan manfaat dari harta milik umum itu. Negara harus mengelola langsung harta milik umum, lalu semua hasilnya dikembalikan kepada rakyat baik secara langsung atau dalam bentuk berbagai pelayanan.
Berdasar ketentuan syariah tersebut, praktik pengaplingan reklamasi Teluk Jakarta atau sejenisnya jelas haram. Sebab, kawasan pesisir atau teluk adalah kekayaan milik umum. Ibnu Abbas meriwayatkan dari ash-Sha’ab bin Jatsamah yang berkata, bahwa Rasulullah SAW. pernah bersabda, “Tidak ada kewenangan untuk memproteksi kecuali Allah dan Rasul-Nya” (HR Abu Dawud). Artinya, yang berhak memproteksi adalah negara, sebab dalam pandangan Islam, negara berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari hukum-hukum Islam. Dari sini maka negara boleh memproteksi dan mengelola sebagian kawasan pesisir atau laut untuk keperluan pelabuhan, konservasi, pasar umum, fasilitas publik, pertahanan, benteng dan sebagainya.
Negara juga tetap harus memperhatikan ketentuan syariah lainnya. Reklamasi itu tidak boleh membahayakan baik secara fisik, lingkungan maupun sosial. Kajian amdal (analisis dampak lingkungan) dan semacamnya harus dilakukan dengan seksama.
Kedua, berkaitan dengan lahan milik negara, seperti kawasan rawa-rawa (bathâ`ih). Pengelolaan lahan milik negara diserahkan kepada Khalifah sesuai ijtihad dan pandangannya semata-mata demi kemaslahatan bagi kaum Muslim. Negara boleh saja mereklamasi kawasan perairan atau rawa-rawa yang merupakan milik negara itu. Lahan hasil reklamasi bisa dibagikan kepada rakyat, terutama yang tidak memiliki lahan. Hal seperti ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Beliau pernah mengeringkan daerah rawa-rawa di Irak lalu dibagikan kepada rakyat yang sanggup menghidupkan lahan tersebut. Hal yang sama juga dilakukan oleh Khilafah Umayyah dan setelahnya.
Karena itu, negara boleh saja memberikan tanah rawa atau semacamnya (yang menjadi milik negara) kepada individu, kelompok atau korporasi. Mereka yang diberi tanah rawa itu boleh mereklamasi dan mengelolanya. Namun, negara tetap harus memperhatikan berbagai ketentuan syariah lainnya. Di antaranya, negara harus memperhatikan keseimbangan ekonomi dan pemerataan kekayaan diantara rakyat (lihat QS al-Hasyr: 7). Negara juga harus memperhatikan kemaslahatan dari berbagai aspek termasuk kemaslahatan keselamatan lingkungan.
Ketentuan tentang reklamasi telah diatur oleh Syariah Islam dengan tetap memelihara harta milik umum dan memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk seluruh rakyat dan menjaga lingkungan. Sehingga, kemaslahatan bisa diwujudkan dan kemafsadatan bisa dicegah. Namun, hal ini hanya bisa terlaksana jika syariah diterapkan secara menyeluruh di dalam institusi Khilafah Rasyidah. Wallahu ‘alam bisshawab. [VM]
Posting Komentar untuk "Konspirasi Dibalik Kebijakan Reklamasi"