Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menyoal Dialog Antar Agama


Oleh : Ryang Adisty Farahsita, M.A.
(Pengamat Politik, Budaya, dan Pendidikan) 

Pertengahan Oktober 2016 ini Yogyakarta akan menjadi tuan rumah dialog  antar agama dan antarbudaya yang diikuti oleh lima negara Miktan Group (Meksiko, Indonesia, Koreal Selatan,Turki. Acara tersebut akan dibuka oleh Menteri Luar Negeri dan Gubernur DIY  dengan peserta para llmuwan, tokoh budaya, pemerintah, pemuda, dan media. Duta Besar Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Esti Andayani mengatakan bahwa dari dialog ini diharapkan bisa memberikan hasil konkret yang bisa melahirkan kehidupan yang lebih harmoni untuk perdamaian dunia. Harapannya acara tersebut akan menjadi pendekatan lunak untuk bisa meredakan ketegangan dan mengurangi terorisme dan radikalisme.
(http://m.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/08/10/obo10y368-yogyakarta-tuan-rumah-dialog-antaragama-dan-budaya-5-negara)

Berbicara tentang dialog antar agama, sebenarnya apabila yang dimaksudkan adalah percakapan biasa antar pemeluk agama yang berbeda maka tidak ada masalah. Bahkan apabila dialog dimaksudkan agar terjadi dakwah Islam kepada kaum non muslim maka justru Islam menganjurkannya. Allah berfirman: "Janganlah kalian mendebat Ahli Kitab, kecuali dengan argumen yang lebih baik (sempurna)." (TQS. al-Ankabut [29]: 46). Namun, dialog antar agama yang didasari atas asas pluralisme (semua agama benar) tidak dibenarkan dalam Islam. 

Pluralisme lahir dari  keinginan untuk melenyapkan truth claim sebuah agama yang dianggap sebagai pemicu munculnya ekstrimitas, radikalisme agama, perang atas nama agama, konflik horizontal, serta penindasan antar umat agama atas nama agama. Padahal kalimat syahadat yang menjadi syarat muslimnya seseorang menafikkan ketiadaan Tuhan yang lain selain Allah SWT. Allah SWT juga menyatakan, bahwa selain Islam tidak akan Dia terima:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ..
"Siapa saja yang memeluk selain Islam sebagai agama, maka sekali-kali tidak akan pernah diterima, dan di Akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi." (QS Ali ‘Imran [3]: 85).

Dalam ayat di atas dengan tegas Allah SWT menyebut selain Islam tidak akan diterima oleh Allah. Allah SWT juga menegaskan, bahwa ketika seorang Muslim menyatakan beriman kepada Allah, pada saat yang sama, dia wajib mengingkari yang lain [thaghut].

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدْ اِسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُسْطَى.
Siapa saja yang mengingkari taghut dan mengimani Allah sesungguhnya dia berpegang teguh pada tali yang amat kuat (QS al-Baqarah [2]: 256).

Itu artinya, keyakinan seorang Muslim pada akidah Islam meniscayakan harus menolak yang lain. Singkat kata, dari beberapa dalil diatas dapat disimpulkan dialog antar agama yang berdasar asas pluralisme bertentangan dengan aqidah Islam. 

Dialog antar agama pada hakekatnya lahir dari ideologi kapitalis-sekuler yang tidak memberi kesempatan agama mengatur ruang kehidupan dan memiliki metode pecah belah untuk mengukuhkan hegemoninya. Ada dua keuntungan metode pecah belah ini. Pertama, dengan pecah belah maka tidak akan ada kesatuan umat dalam memandang masalah dan mencari solusinya. Umat akan berfokus pada konflik antar golongan/suku/agama hingga tidak dapat melihat musuh sebenarnya yang sedang menjajah dan mengeksploitasi berbagai sumber daya. Kedua, untuk mengatasi konflik yang terjadi, berbagai program dialog digulirkan (termasuk dialog antar agama) yang akan menjadi ruang masuknya nilai-nilai kapitalis-sekuler dimana nilai-nilai tersebut bertentangan dengan Islam.

Selain itu, umat harus waspada karena dialog antar agama yang akan diselenggarakan di Yogyakarta tersebut diatas (yang ditujukan sebagai pendekatan lunak untuk bisa meredakan ketegangan dan mengurangi terorisme dan radikalisme) akan menjadi forum propaganda menyerang Islam. Walau pada faktanya radikalisme yang mengarah pada terorisme tidak selalu berkaitan dengan Islam, namun saat ini dua istilah tersebut didekatkan dengan Islam. Radikalisme yang mengarah pada terorisme kerap diarahkan pada 6 hal: (1) penegakan syariah dan khilafah, (2) dalil dalam Quran dan Sunnah, (3) paradigma pemikiran islam, (4) penolakan pemikiran barat, (5) penyatuan Islam dan politik, (6) jihad fii sabilillah. Padahal 6 hal ini berasal dari Islam yang perlu dijaga, didakwahkan, dan diamalkan. Maka ketika pembahasan dialog antar agama tersebut berfokus pada pembahasan perdamaian dunia dengan mengurangi radikalisme dan terorisme, haqqul yakin pembahasan akan mengarah pada penyerangan terhadap Islam, ajarannya, dan pemikirannya.

Umat Islam dan penguasa khususnya yang ada di Yogyakarta hendaknya mengecam dan menolak terselenggaranya dialog antar agama tersebut karena telah jelas kebathilannya dan dampak buruknya bagi Islam. Disamping itu, sistem demokrasilah yang memberikan ruang pada hal-hal yang berpotensi menyerang dan merusak Islam. Maka sudah sewajarnya bila sistem ini ditinggalkan dan digantikan dengan sistem yang akan terus menjaga dan meninggikan kemuliaan Islam yaitu Khilafah Rasyidah 'ala Minhajjin Nubuwwah. Wallahu a'lam bi showwab. [VM]

Posting Komentar untuk "Menyoal Dialog Antar Agama"

close