Muhasabah di Akhir Musim Haji


Oleh : Wardatus Sholihah
(Aktivis Dakwah)

Bulan Muharram ini, sebagian besar jamaah haji sudah kembali dari tanah suci. Musim haji telah usai, namun tugas pemerintah untuk membenahi pebgurusan haji belumlah usai. PR pemerintah untuk pengurusan haji kedepannya tidak sedikit. Diantaranya persoalan tipu-tipu haji  oleh biro haji ilegal yang selalu berulang stiap tahunnya. Sebagaimana kasus 177 calon jamaah haji Indonesia berpaspor Filipina yang ditahan di Filipina beberapa waktu yang lalu. Bahkan Metro TV memberitakan, ada sekitar 700 jamaah haji berpaspor Filipina yang dipulangkan oleh pemerintah melalui Filipina.

Buah Kebijakan Ribawi

Selama ini solusi pemerintah hanyalah memberi sangsi biro haji nakal dan meminta tambahan kuota kepada pemerintah Saudi. Namun spertinya solusi  ini belum menyentuh akar persoalan. Terbukti dengan adanya kasus yang berulang setiap tahun.  Biro-biro ilegal ini tidaklah jera dan justru semakin menjamur. Kasus tipu-tipu haji ini  setidaknya disebabkan oleh dual hal ; pertama minimnya kuota yang diberikan pemerintah Saudi, Kedua, meningkatnya jumlah pendaftaran calon jamaah haji. Jatah kuota yang diberikan pemerintah Saudi untuk Indonesia hanyalah 160 ribu. Sementara daftar tunggu jamaah haji Indonesia sebesar 3 juta orang.

Sehingga  tingginya kesadaran masyarakat untuk menunaikan ibadah haji tidak diimbangi dengan cukupnya kuota. Untuk pendaftraan tahun 2016 saja, di Aceh tercatat  tunggu haji "mencapai" 25 tahun. Sedangkan para jamaah haji yang mendaftar, tak sedikit diantara mereka yang sudah manula. Panjangnya antrean haji seringkali menjadi faktor utama masyarakat tergiur untuk berhaji lewat jalur ilegal. Termasuk melalui ONH plus dari biro haji ilegal atau biro legal dengan ongkos selangit sebagimana yanbg terjadi pada  ratusan jamaah haji yang berhaji dengan paspor Filipina tahun ini. Ongkos yang harus dikeluarkan para jamaah mencapai Rp.125 juta hingga Rp.150 juta. Jumlah uang yang sangat menggirukan para biro nakal
Meluruskan Kembali Kewajiban Haji

Jumhur ulama menetapkan lima syarat seseorang dikenai kewajiban haji. Yaitu Islam, berakal, baligh, merdeka & mampu (istitha’ah). Syarat mampu ditetapkan berdasarkan firman Allah dalam surat Ali Imron ; 97.

Dalam tafsir ibnu katsir penjelasan mengenai istitha’ah haji dalam surat Ali Imron ; 97 adalah sebagai berikut :

ولله على الناس حج البيت من استطاع اليه سبيلا

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. “

Sedangkan pada kasus calon jamaah haji yang mendaftar melalui dana talangan haji, mereka meminjam uang sebesar ONH untuk mendaftar haji.  Kalau pun mereka berangkat haji dan menjalankan semua syarat dan rukunnya, memang hukumnya sah. Tetapi kalau dilihat dari sisi syarat wajib, sebenarnya mereka ini belum termasuk kelompok yang wajib melaksanakan ibadah haji.

Sementara Al-Quran dengan tegas mensyaratkan bahwa hanya mereka yang mampu saja yang diperintahkan untuk melaksanakan ibadah haji. Sedangkan mereka yang tidak mampu, tidak diwajibkan bahkan bisa gugur kewajibannya.

Dampak negatifnya adalah antrean haaji akan semakin panjang.bahwa  yang sebenarnya punya uang dan mampu, kalau tidak cepat-cepat mendaftar akan kehilangan kesempatan. Sebab jatahnya sudah diambil oleh mereka yang sebenarnya belum mampu. Lebih-lebih saat ini semakin marak MLM haji dan umroh, juga mendaftarkan anak-anak atau bayi untuk berhaji jg sdh menjadi trend yang membuat daftar antrean semakin panjang. Diluar pro kontra mengenai halal atau haramnya dana talangan haji, bisa kita lihat kebijakan pemerintah terkait dana talangan haji membawa mudhorot bagi kaum muslimin di Indoneaia.

Solusi Islam Dalam Mengatasi Tipu-Tipu Haji

Dalam Islam, haji adalah sebuah kewajiban dan syariat agung. Kewajiban ini tentu saja tidak hanya melibatkan individu saja untuk serius melaksanakannya. Tapi Islam juga mewajibkan negara serius mengelolanya. Dan paradigma negara dalam pengurusan haji adalah sebuah kewajiban dari Allah untuk mengatur urusan rakyatnya, sebagai ro’in (pemelihara) yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Bukan paradigma bisnis semata, sehingga dalam membuat kebijakan tak terkotori “rayuan” lembaga keuangan berlabel syari’ah yang sekedar ingin mendapat untung, tak juga untuk meraih manfaat dari dana abadi ummat untuk menggunakan bunganya sebagai investasi. Keseriusan pengelolaan haji oleh pemerintah ini sudah dicontohkan oleh khulafaur Rasyidin dan para khulafa’ sesudahnya.Sedikitnya ada dua hal yang bisa dilakukan negara untuk mensolusi tipu-tipu haji.

Pertama, Pengaturan waiting list calon jamaah haji dan umrah: Negara berhak untuk mengatur masalah ini, sehingga keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jamaah haji dan umrah. Dalam hal ini, negara harus memperhatikan: Pertama, kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup. Kedua, kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jamaah yang belum pernah haji dan umrah, sementara sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan. Dan tentu saja hal ini mewajibkan pemerintah untuk menghentikan kebijakan dana talangan haji yang tidak hanya bermasalaha dari segi halal-haramnya, tapi sudah jelas membawa mudhorot.

Kedua, Negara harus menindak tegas biro-biro nakal. Maraknya biro-biro haji ilegal dikarenakan pengurusan haji lebih banyak diserahkkan pada swasta. Apadahal pengusuran ummat dalam Islam adalah tanggungjawab penuh negara. Dalam hal administratif, Islam memiliki prinsip basathah fi an-nidzam, sur’ah fi al-injaz birokrasi yg sederhana, kecepatan pelayanan dan ditangani oleh orang yang profesional, maka urusan ini bisa dilayani dengan cepat dan baik.

Ketiga, Penetapan ONH yang tidak memberatkan. Negara harus menetapkan ONH (ongkos naik haji), maka besar dan kecilnya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci. Dalam penentuan ONH ini, paradigma negara Khilafah adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi, apalagi menggunakan dana calon jamaah haji untuk bisnis, investasi, dan sebagainya.

Ketiga hal ini akan lebih sempurna jika diatur oleh negara yang bukan sekedar nation state. Akan tetapi negara yang oleh Islam dituntut hanya memiloko satu kepemimpinan bagi seluruh kaum muslimin tanpa tersekat nation state yaitu khilafah. Maka dengan diatur oleh negara selevel kekhilafahan, pengurusan haji dan umrah akan lebih maksimal karena khilafah akan memiliki basis data global untuk kesuluruhan kaum muslimin. Siapa yang sudah memenuhi syarat istitha’ah atau belum. Sehingga bisa mengatur persoalan kuota dengan benar. Negara khilafah juga akan membangun infrastruktur dengan memadai karena penerapan sistem ekonoomi Islamnya akan merebut kembali sumber daya alam dari tangan asing dan memanfaatkannya untuk pembangunan infrastruktur yang mendukung kebutuhan dan kenyamanan kaum muslin dalam berhaji. Baik itu di tanah suci sendiri, atau pembangunan infrastrukutr jalan dan transportasi di seluruh daerah-daerah yang dihuni kaum muslimin di penjuru negara khilafah.

Dengan demikian, harapan berhaji dengan mudah dan terjamin kesuciannya bisa terealisir, karena haji tak perlu melalui jalan ribawi. Sehingga, diharapkan setiap jamaah haji dapat meraih mabrur yang tentunya dapat berkontribusi bagi negara. Bagi tegaknya baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Allahu a’lam bis showab. [VM]

Posting Komentar untuk "Muhasabah di Akhir Musim Haji"