Sistem Sakit, Gagal Wujudkan Ketahanan Keluarga
Oleh : Ainun Dawaun Nufus (MHTI) – Pengamat Sosial-Politik
Dalam siaran pers memperingati Hari Pahlawan 2016 (10/11), Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, yang juga merupakan anggota Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mengatakan bahwa konteks berperang saat ini tidak lagi mengangkat senjata melawan penjajah. Namun berperang untuk mengatasi berbagai masalah bangsa, seperti kemiskinan, pengangguran, keterlantaran, ketunaan sosial, korban bencana, dan berbagai masalah sosial lainnya. Menurut Mensos, semangat dan nilai-nilai kepahlawanan harus bisa diimplementasikan dan didayagunakan untuk hal tersebut.
Upaya pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan diantaranya mengenalkan berbagai program bantuan sosial dan bantuan pangan, seperti Jaminan Kesehatan Nasional, Program Indonesia Pintar, dan program beras untuk keluarga sejahtera. TNP2K merupakan lembaga yang dibentuk untuk menyelaraskan berbagai kegiatan percepatan penanggulangan kemiskinan. TNP2K merupakan suatu wadah koordinasi lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan di tingkat pusat, dan memberikan masukkan kepada Ketua TNP2K, yaitu Wakil Presiden Republik Indonesia. Sekretariat TNP2K dapat memberikan pertimbangan suatu kebijakan baru, serta juga membantu evaluasi dari berbagai program penanggulangan kemiskinan yang sudah ada.
Demikian halnya pemerintah membumikan berbagai paket kebijakan mengatasi kejahatan seksual dengan Pendidikan Kesehatan Reproduksi (Kespro) masuk kurikulum SD, menutup lokalisasi prostitusi, mengganti kurikulum liberal dan mewujudkan kontrol masyarakat. Serta kampanye untuk menghadirkan konsep baru perlindungan anak, Kota Layak Anak serta Pemberdayaan ekonomi dan politik bagi Perempuan.
Program Tambal Sulam
Karena masyarakat kapitalis Barat dan Timur sakit. Masyarakat kapitalis, sekular dan liberal sedang tenggelam di bawah lautan masalah rapuhnya ketahanan keluarga, masalah ekonomi, sosial dan moral. Semuanya disebabkan oleh sistem nilai dan hukum yang cacat. Di negara-negara kapitalis, kejahatan telah mencapai derajat epidemi. Termasuk Indonesia.
Kesalahan paradigmatis dari pemerintah terhadap keluarga indonesia adalah memandang dari sisi ekonomis saja. Misal, menganggap peran wanita memiliki kemampuan untuk berperan ganda dalam kehidupan. Mereka dapat sukses bekerja tanpa meninggalkan kodrat sebagai ibu rumah tangga. Meskipun banyak supporting system mulai dari teknologi sampai peran keluarga besar, namun pesan yang disampaikan jelas : wanita Indonesia sudah mencapai work-life balance, bahkan peringkat ke dua dari 33 negara yang diteliti. Dengan kata lain perempuan Indonesia yang bekerja, tidak mengakibatkan masalah karena para perempuan tersebut dapat mencapai menyeimbangan pekerjaan dan urusan kehidupan lainnya.
Ketika perempuan bekerja full time sebagaimana para laki-laki, jelas akan membuat keseimbangan dalam keluarga terganggu. Perempuan memiliki peran dan tanggung jawab sebagai ibu dan pendidik generasi. Peran sebagai ibu dan pendidik generasi tidak akan dapat tertunaikan dengan optimal, bahkan bisa jadi akan terabaikan.
Selama sistem ekonomi kapitisme diterapkan dan riba dibiarkan, kemiskinan tak bisa dientaskan. Yang terjadi justru pemiskinan sistematis dan konsentrasi kekayaan para para kapitalis. Jika ditelaah secara mendalam, setidaknya ada dua masalah amat menonjol yang menghimpit keluarga dan memicu munculnya beragam persoalan dalam keluarga. Dua persoalan tersebut adalah kemiskinan struktural dan rusaknya tatanan sosial.
Kemiskinan struktural dan rusaknya tatanan sosial tentu tidak lepas dari sistem (tata kelola) negara. Dan senyatanya, negara saat ini dikelola dengan tatanan demokrasi, sebuah tatanan bernegara yang berasal dari Barat. Demokrasi menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, baik kebebasan ekonomi, kebebasan berperilaku dan berpendapat, hingga kebebasan berkeyakinan. Nilai-nilai inilah yang memberikan imbas secara langsung pada dua kondisi tersebut hingga menyeret keluarga di titik kerusakan yang paling parah. Kerusakan institusi keluarga adalah buah pahit diterapkannya sistem demokrasi.
Sebagaimana kita ketahui, kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah ternyata tak bisa dirasakan kemanfaatannya oleh rakyat sepenuhnya. Sumber daya alam (SDA) yang sejatinya adalah bentuk kepemilikan umum ternyata telah beralih kepada negara yang berkolaborasi dengan para pengusaha baik asing maupun lokal. Padahal sejatinya, sumber daya alam adalah milik umum yang pengelolaannya seharusnya dapat dimanfaatkan bagi seluruh rakyat Indonesia. .
Akibatnya rakyat hidup serba kekurangan. Kalaupun dapat hidup hanya sekedar menjangkau kebutuhan pokoknya saja. Inilah kemiskinan yang diciptakan oleh demokrasi dengan liberalisasi ekonominya. Bukan hanya kepemilikan umum (sumber daya alam) yang diliberalisasi, demokrasi juga melahirkan liberalisasi layanan umum. Negara seharusnya menguasai dan bertanggung jawab atas layanan umum warga negaranya. Namun demokrasi telah mengalihkan fungsi negara tersebut kepada korporasi (swasta). Tentu saja, korporasi tidak mungkin melakukan pelayanan karena mereka pasti mengejar keuntungan. Akhirnya, layanan umum pun dibisniskan kepada rakyat. Rakyat harus membayar mahal untuk menikmati infrastruktur yang berkualitas. Untuk menggunakan jalan, jasa transportasi, kesehatan yang memadai bahkan sekolah yang berkualitas, rakyat harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Kondisi ini tentu semakin membuat miskin keluarga yang sudah dibuat miskin melalui liberalisasi SDA.
Kemiskinan yang menghimpit keluarga tentu berimbas luas pada pemenuhan berbagai kebutuhan keluarga. Betapa banyak keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan hingga kelaparan dan kurang gizi.Sulit mendapatan rumah layak huni, hingga harus rela hidup berdesakan di rumah sempit hingga memungkinkan munculnya berbagai kejahatan seksual terhadap anak di rumahnya sendiri.
Sulit memperoleh pendidikan yang memadai. Karena sekolah-sekolah swasta yang berkualitas identik dengan biaya mahal maka rakyat terpaksa mencukupkan diri dengan pendidikan gratis yang diselenggarakan negara (sekolah negeri) dengan resiko rendahnya kualitas pendidikan dan kerawanan sosial yang selalu membayang-bayangi dunia pendidikan sekuler.
Keluarga pun harus menanggung rasa was-was yang berkepanjangan karena keamanan tak bisa dimiliki oleh keluarga miskin. Hanya orang kaya yang bisa membangun sistem keamanan serba canggih, mampu membayar satpam, hingga tinggal dalam lingkungan nyaman dan aman. Sementara sebagian besar keluarga di Indonesia harus mencukupkan diri tinggal berdesak-desakan yang rawan kejahatan bahkan bencana (seperti kebakaran, kebanjiran dan sebagainya).
Butuh Solusi yang Menyentuh ke Pokok Masalah
Keluarga Indonesia sepatutnya menyadari persoalan yang dihadapinya. Berbagai langkah pemerintah dengan paradigma ekonomi kapitalisme dan demokrasi liberal, terbukti gagal mengatasi dampak kemiskinan bahkan melahirkan persoalan-persoalan baru. Kebijakan menggiatkan program Keluarga Berencana (KB) adalah solusi salah arah yang mengalihkan kita dari penyelesaian akar masalah.
Hal ini dapat langsung disambungkan ke sistem liberal kapitalis yang diimplementasikan. Kapitalisme yang menetapkan jaminan kesenangan maksimum sebagai tujuan hidup, menetapkan benar dan salah berdasarkan keinginan individu serta mengejar keuntungan pribadi dan kepentingan ekonomi sebagai pijakan dalam tindakan telah membangun pola pikir berbahaya: “Lakukan apa pun, kepada siapa pun, untuk tujuan apa pun.” Ini telah menciptakan lingkungan yang didominasi oleh sikap materialistik-konsumeristik. Semua ini telah memicu kejahatan hingga ke tingkat yang tidak dapat diterima dalam masyarakat. Ini telah menghasilkan individualisme yang merajalela karena perhatian utama individu adalah memuluskan kepentingan pribadi dengan biaya berapa pun, lebih dari menjaga mentalitas adanya tanggung jawab terhadap orang lain. Konsekuensinya adalah pengabaian anak-anak, orangtua lanjut usia, pengabaian hak-hak tetangga dan orang-orang yang memiliki posisi rentan dalam masyarakat. Kapitalisme yang menghargai dolar lebih tinggi daripada martabat wanita telah memberikan legalitas atas eksploitasi tubuh perempuan demi iklan, hiburan serta industri kecantikan dan seks. Ini adalah devaluasi (penurunan nilai) dan menganggap murah status perempuan dalam masyarakat. Hal ini telah memberikan kontribusi terhadap tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan.
Nilai-nilai liberal juga harus disalahkan atas terjadinya kekacauan sosial dan moral yang melanda masyarakat. Kebebasan pribadi telah menghasilkan budaya gratify (ingin kepuasan maksimum), mengakibatkan terjadinya epidemi alkohol dan penyalahgunaan narkoba. Kebebasan seksual memberikan hak setiap individu untuk memiliki hubungan intim dengan siapa pun yang mereka sukai. Hal ini telah menyebabkan meningkatnya hubungan luar nikah, rusaknya kehidupan keluarga serta hilangnya hak-hak anak untuk dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kasih dengan keberadaan ibu dan ayah. Kebebasan berekspresi telah memberikan izin bagi individu untuk menghina, memfitnah dan mengejek keyakinan agama Muslim dan lainnya sebagaimana kasus penistaan al Qur’an yang dilakukan Ahok.
Selama Indonesia terus menerapkan sistem liberal kapitalis tidak akan pernah mampu memecahkan masalah ini. Pasalnya, mereka gagal untuk memahami atau mengakui bahwa jurang masalah sosial dan moral yang menjatuhkan adalah ideologi mereka. Akibatnya, mereka hanya memperkenalkan berbagai hukum atau kebijakan baru dalam upaya untuk menekan jumlah kejahatan atau masalah sosial seperti meningkatkan hukuman penjara, menyediakan CCTV lebih banyak di jalan-jalan untuk menangkap penjahat, atau bahkan mengajarkan pendidikan seks untuk anak usia dini di tengah keputus asaan untuk mengurangi kehamilan di kalangan remaja putri akibat dari gaya hidup liberal perzinaan. Namun, ini hanyalah solusi tambal-sulam yang telah gagal untuk mengatasi akar penyebab masalah ini, yakni nilai-nilai liberal kapitalis.
Berbeda dengan kepercayaan dan nilai-nilai hidup sekular yang cacat, Islam memberikan jawaban yang jelas tentang tujuan hidup manusia. Islam menolak filsafat sekular yang tidak rasional bahwa manusia (yang lemah dan terbatas dalam pengetahuan) dibandingkan dengan Al-Khaliq) berhak memutuskan bagaimana cara hidupnya atau bagaimana memecahkan masalah mereka (Lihat: QS 45:18).
Hasilnya, orang yang beriman menjalani hidup dengan ketenangan dalam hati mereka. Pengetahuan mereka menuntun melakukan tindakan yang benar dalam hidup dan mereka memecahkan masalah mereka dengan cara yang sehat.
Ketika keyakinan, nilai-nilai dan hukum sebagaimana di atas dilaksanakan pada level masyarakat sebagaimana terjadi dalam Negara Khilafah, warga merasakan kemaslahatan hakiki hidup di bawah sebuah tatanan sistem. Kejahatan, amoralitas, ketidakadilan, kemiskinan, perpecahan keluarga, pelecehan dan ketegangan antara orang-orang dari keyakinan yang berbeda bisa diminimalkan. Meluasnya depresi dan kecemasan bisa dicegah. Berbagai penderitaan yang terjadi dalam masyarakat kapitalis karena cacat nilai dan hukum buatan manusia bisa dihapuskan. Karena itu, sesungguhnya Islamlah obat mujarab untuk penyakit-penyakit dan kesehatan sosial yang buruk di negara ini. Khilafahlah model sejati bagi dunia Muslim untuk menciptakan masyarakat progresif yang harmonis, aman, dan beradab. [VM]
Posting Komentar untuk "Sistem Sakit, Gagal Wujudkan Ketahanan Keluarga"