Hukum Layanan Delivery Makanan Dengan Ojek
Layanan pesan-antar (delivery) makanan dengan ojek adalah layanan yang diberikan suatu perusahan ojek on-line untuk membelikan dan mengantarkan pesanan makanan kepada penggunanya. Layanan tersebut melibatkan 3 (tiga) pihak, yaitu pengguna, restoran, dan pihak ojek. Mekanismenya sbb: (1) pengguna membuka fitur tertentu pada aplikasi ojek on-line sehingga keluar daftar restoran dan rumah makan serta harga makanan; (2) pengguna memilih menu makanan yang akan dipesan; (3) pihak ojek membeli makanan dan membayar dulu harganya. Jadi, harga makanan dibayar dulu atau ditalangi dulu oleh pihak ojek; (4) pihak ojek mengantar makanan kepada pengguna, dan pengguna membayar harga makanan secara tunai atau secara kredit melalui layanan kredit dari pihak ojek, yaitu metode pembayaran melalui cara top-up dengan saldo minimal Rp 100 ribu.
Harga yang dibayar pengguna terdiri dari tiga komponen: (1) harga makanan; (2) ongkos kurir; dan (3) biaya kirim. Ongkos kurir misal dipatok Rp 25.000 untuk dalam kota (radius 6 km misalnya) dan ada tambahan Rp 4000 per 1 km jika di luar radius 6 km. Sedang ongkos kirim merupakan biaya pemesanan melalui fitur secara on-line yang dipatok sebesar Rp 10 ribu. (www.maxmanroe.com).
Komponen harga di atas pada praktiknya tidak fixed (tetap) tapi dapat terjadi variasi atau modifikasi. Misalnya, ada perusahaan ojek yang mengenakan ongkos kurir secara flat (sama besarnya tak tergantung jarak), yaitu untuk jarak jauh maupun dekat dikenakan biaya yang sama sebesar Rp 15 ribu (contoh). Terdapat pula variasi lain, yaitu ada perusahaan ojek yang menarik biaya jasa perantara jual-beli yang dilakukannya antara pengguna dengan restoran. Biaya ini dibayar pengguna langsung kepada perusahaan ojek. Biaya ini di luar biaya ongkos kurir atau ongkos kirim yang dibayar oleh pengguna secara langsung kepada tukang ojek.
Setelah mendalami fakta hukumnya (manath), menurut kami layanan tersebut secara syariah hukumnya haram. Alasan keharamannya, karena pada layanan tersebut terjadi multi-akad (al ‘uquud al murakkabah) yang menurut pendapat yang kami anggap rajih (kuat), hukumnya haram. Pada kasus ini, multi-akad yang terjadi adalah gabungan akad qardh (talangan) dan ijarah (jasa antar makanan). Gabungan akadnya bisa bertambah, jika perusahaan ojek mengenakan biaya jasa perantara jual-beli, misalkan 15% dari total belanja, yang disebut samsarah dalam fiqih Islam. Dengan demikan, gabungan akadnya menjadi 3 (tiga) akad, yaitu akad qardh (talangan), akad ijarah (jasa antar makanan), dan akad perantara (samsarah).
Padahal syariah Islam telah melarang multi-akad berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud RA yang berkata,”Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqataini fii shafqatin wahidah).” (HR Ahmad, Al Musnad, 1/398). Menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani hadits ini telah melarang adanya dua akad dalam satu akad (wujuudu ‘aqdaini fii ‘aqdin wahidin), misalnya menggabungkan dua akad jual-beli menjadi satu akad, atau menggabungkan akad jual-beli dengan akad ijarah menjadi satu akad. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, 2/305).
Larangan multi-akad dalam hadits di atas dapat diterapkan pada jasa delivery makanan via ojek. Karena akad yang terjadi antara pengguna dengan pihak ojek bukan akad tunggal, yaitu akad jasa antar (ijarah), melainkan multi-akad, yaitu gabungan akad qardh (talangan) dan akad ijarah (jasa antar makanan); atau gabungan tiga akad, yaitu akad qardh (talangan), akad akad ijarah (jasa antar makanan), dan akad perantara jual-beli (samsarah).
Mungkin ada yang berkata bahwa multi-akad itu dibolehkan oleh sebagian ulama, seperti Imam Ibnu Taimiyyah, maka berarti hukum multi-akad itu boleh menurut sebagian ulama. Implikasinya, akad layanan jasa antar makanan dengan ojek hukumnya boleh, tidak haram.
Jawaban kami, memang sebagian ulama seperti Imam Ibnu Taimiyyah membolehkan multi-akad. Tetapi yang perlu dipahami, Imam Ibnu Taimiyyah tidak membolehkan secara mutlak. Yang dibolehkan Imam Ibnu Taimiyyah adalah penggabungan dua akad yang sama-sama mu’awadhah (komersial), seperti akad jual-beli dan ijarah. Adapun jika yang digabungkan adalah akad mu’awadhah (komersial) dengan akad tabarru’ (sosial), misalnya akad pinjaman (qardh) dengan jual-beli, maka beliau tetap mengharamkan. (Lihat Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Al Fatawa, Juz 29 hlm. 62).
Dengan demikian, berdasarkan pendapat Imam Ibnu Taimiyyah yang tetap mengharamkan gabungan akad mu’awadhah (komersial) dengan akad tabarru’ (sosial) seperti akad pinjaman (qardh) dengan jual-beli, layanan jasa antar makanan dengan ojek hukumnya tetap haram.
Kesimpulannya, haram hukumnya layanan pesan-antar makanan via ojek. Solusinya adalah dengan menghilangkan multi-akad yang terjadi. Di antara cara/solusi yang dimungkinkan adalah; Pertama, menghilangkan akad pinjaman/talangan (qardh), dengan cara pihak pengguna mentransfer uang dulu ke pihak ojek, lalu pihak ojek membelikan makanan ke restoran dan mengantarkannya ke pengguna. Kedua, pengguna melakukan jual-beli dengan restoran dan mentransfer harganya ke restoran, lalu pihak ojek mengambil dan mengantarkan kepada pengguna. Wallahu a’lam. [KH. M. Shiddiq Al Jawi].
Posting Komentar untuk "Hukum Layanan Delivery Makanan Dengan Ojek"