Kejutan Pedas Awal Tahun 2017


Oleh: Ulfiatul Khomariah
(Mahasiswi S1 Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember)

Awal tahun 2017 merupakan  awal tahun yang penuh dengan kejutan-kejutan. Setelah publik dipusingkan dengan harga dan tarif pengurusan (STNK, BPKB, TNKB, dsb)  yang naik 100-300 persen, kini ditambah dengan lonjakan harga cabe yang melambung tinggi dan persoalan Tenaga Kerja Asing yang ilegal, serta disusul soal hutang pemerintah yang semakin membengkak dengan cepat. 

Yang paling mengejutkan bagi masyarakat adalah kenaikan tarif biaya pengurusan STNK, BPKB, tarif listrik, dll. Kenaikan ini terjadi bukan karena keputusan pihak merek, melainkan karena terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) tertanggal 6 Desember 2016. Peraturan ini dibuat utuk mengganti Peraturan Pemerintahan Nomor 50 Tahun 2010 tentang hal yang sama, dan berlaku efektif mulai 6 Januari 2017. Isinya mengatur tarif baru untuk pengurusan surat-surat kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia secara nasional.

Sebenarnya jika kita berbicara tentang masalah kenaikan harga, setiap tahun pun selalu terjadi kebijakan kenaikan harga. Namun kali ini ada hal berbeda yang mengejutkan, yaitu masyarakat mulai sadar bahwa sistem yang diterapkan di Indonesia adalah sistem yang kacau dan selalu membawa kesengsaraan bagi rakyat. Sebagaimana yang dilansir di berita (nusanews.org), masyarakat merasa kondisi negara saat ini sudah terasa tidak “nyaman” dan berharap agar mahasiswa sebagai garda terdepan untuk maju menghentikan segala persoalan yang mengakibatkan segala pembiayaan melesat naik.

Akhirnya, harapan kepada mahasiswa untuk turun menyelesaikan persoalan tuntutan reformasi yang sudah digulirkan sejak tahun 1998 lalu, kini dituntut kembali oleh masyarakat. Sehingga muncullah aksi Reformasi Jilid II 121 yang dilaksanakan pada Hari Kamis (12/1) serentak di berbagai daerah, terutama di Jakarta. Dalam Aksi 121, Mahasiswa memprotes kebijakan-kebijakan Jokowi karena dinilai telah meresahkan dan memberatkan masyarakat.

Inilah kebijakan pragmatis dari hukum buatan manusia yang menghasilkan banyak kontradiktif, rentan dengan kepentingan pihak-pihak tertentu dan tidak mampu menyelesaikan masalah secara tuntas.

Ada Asap Pasti Ada Api

Tidak akan ada asap jika tidak ada api, begitupun halnya tidak akan ada akibat jika tidak ada sebab. Jika kita mau menelisik lebih mendalam lagi, pangkal dari semua permasalahan ini adalah penerapan sistem neoliberalisme di negeri ini. Dalam doktrin neoliberalisme, Pemerintah tidak diposisikan sebagai pelayan yang melayani segala kepentingan masyarakat secara murah atau bahkan gratis. Pemerintah justru diposisikan sebagai penyedia jasa, sementara masyarakat adalah pengguna jasa yang harus membayar kepada Pemerintah. 

Hubungan negara dengan rakyat akhirnya seperti hubungan pedagang dan pembeli, bukan hubungan pelayan dan yang dilayani. Rakyat harus membayar harga atau biaya pelayanan yang disediakan oleh negara. Berikutnya, harga atau biaya itu akan disesuaikan indikator ekonomi dan harga pasar. Alasan harus ada penyesuaian dengan inflasi, karena harga komponennya naik, atau alasan biaya naik agar pelayanan lebih baik, adalah cerminan dari cara pandang komersial.

Kita Butuh Solusi

Untuk menangani segala masalah kehidupan, Islam selalu menawarkan solusi yang tuntas dan akurat serta sudah pasti membawa rahmat bagi seluruh alam. Dalam Islam, Pemerintah adalah pihak yang ditugasi untuk memelihara semua urusan dan kemaslahatan rakyat. Rasul saw. bersabda:

«فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Pemimpin adalah pihak yang berkewajiban memelihara urusan masyarakat dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya (HR Muslim).

Hadis ini menegaskan tugas pemimpin atau penguasa adalah melakukan ri’ayah (mengurus rakyat). Rasulullah saw. juga memperingatkan bahwa orang yang memungut cukai/pajak (shâhibu maksin) tidak akan masuk surga atau dalam satu riwayat mereka ada di neraka. Itu artinya, negara tidak boleh berubah menjadi dawlah jibâyah (negara pemalak). Karena itu negara tidak boleh mengenakan pungutan atas pelayanannya kepada rakyat. Dalam sistem Islam, Pemerintah harus memposisikan diri sebagai pelayan yang melayani berbagai urusan rakyat dengan kualitas terbaik tanpa mengenakan pungutan atas pelayanan itu. Islam telah menetapkan berbagai sumber pemasukan yang akan cukup untuk membiayai pelayanan kepada rakyat dan pembangunan.

Dalam Islam, negara juga berkewajiban menerapkan syariah secara menyeluruh, termasuk Sistem Ekonomi Islam. Liberalisasi migas dan energi yang terjadi saat ini menyalahi ketentuan Islam. Dalam Islam, migas dan energi ditetapkan sebagai harta milik umum, milik seluruh rakyat. Pengelolaan migas tidak boleh diserahkan kepada individu atau swasta, juga tidak boleh dikelola mengikuti pasar. Migas dan energi harus dikelola langsung oleh negara mewakili rakyat. Pengelolaannya harus memberikan kemaslahatan terbesar kepada rakyat dan hasilnya harus dikembalikan sepenuhnya kepada rakyat. Dan kesejahteraan rakyat hanya akan bisa terealisasikan dibawah naungan sistem yang shohih, yaitu melalui sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Wallahu a’lam bish shawab. [VM]

Posting Komentar untuk "Kejutan Pedas Awal Tahun 2017"