‘MENERIMA’ IDE KHILAFAH
Bukan hal yang dilematis jika masih ada penolakan ide khilafah. Beragam gagasan disampaikan seolah khilafah tinggal sejarah. Bahkan merasa jika saat ini belum ada negara manapun yang menerapkan konsep khilafah. Prinsipnya, keadaan itu dikarenakan tiga hal:
Pertama, konsepsi khilafah dijauhkan dari pembahasan ilmu politik dan kenegaraan dalam kajian keilmuan dan intelektual. Jika pun membahasnya, cenderung menyamakan khilafah dengan sistem kerajaan. Selebihnya, khilafah utopis dan pesimis jika akan diterapkan kembali. Akhirnya, khilafah seolah menjadi kajian sejarah dan peradaban, tanpa mampu untuk diwujudkan kembali.
Kedua, pasca diktatorisme dan otoritarianisme yang melanda belahan negeri, negara sistem demokrasi menjadi alternatif. Bahkan demokrasi diyakini sebagai sistem terbaik untuk saat ini, meski ada catatan terkait penerapannya di beberapa negara. Begitu pula, sistem ketatanegaraan Islam dikotakkan dalam buku-buku dan cerita kejayaan.
Ketiga, penjajahan pemikiran yang melanda negeri-negeri kaum muslim. Harus diakui, kediktatoran dan otoriter bukanlah bersumber dari Islam. Jikapun pemimpin negeri kaum muslim bersikap diktator dan otoriter, hal ini bukan karena dia mengambil Islam. Kaum penjajah benar-benar telah sempurna menghapus ingatan khilafah dalam benak setiap muslim. Hal ini disadari betul oleh penjajah, karena pembahasan khilafah masuk pada ranah ‘fiqh’ dan ‘siyasah islamiyah’. Serta, penjajah mencoba untuk terus menerus siang dan malam mencengkramkan kukunya, hingga rakyat tidak menyadarinya.
Mudah Menerima Khilafah
Apa susahnya menerima ide khilafah? Benarkah semua stigma buruk yang digambarkan oleh gerombolan musuh Islam mampu menutupi keagungan idenya? Mengapa pula umat Islam masih bertanya dan ragu untuk menerima idenya? Bukankah pembahasan khilafah sudah selesai dalam kajian fiqh dan siyasah islam? Kalaulah ini masih sebatas ide, tidak ada salahnya. Toh, khilafah bagian dari ajaran Islam.
Lain halnya dengan memperjuangkan dan mewujudkannya, yang hari ini masih terjadi beragam ijtihad di beberapa kalangan umat Islam. Ada pula yang menginginkan penegakan Khilafah melalui Jihad’; jalur parlementer; tholabun nusrah; hingga beragam renik gagasan perjuangannya. Jika pun demikian, maka dibutuhkan kearifan dari semua komponen umat Islam untuk duduk bersama. Kemudian mengkaji sirah nabawiyyah dalam dakwah Rasulullah hingga sampai tegak daulah Islam di Madinah.
Agar mudah menerima khilafah, Imam al-Mawardi dalam Ahkam Sulthaniyyah telah menjelaskan beberapa struktur pemerintahan dalam Islam. Terdiri dari dua puluh bab, antara lain akad imamah; pengangkatan wizarat (pembantu khalifah), Imarah ‘ala al-Bilad (kepala daerah), Imarah ‘alal jihad (panglima perang), dan sebagainya. Termasuk bab tentang penetapan jizyah dan kharaj, hukum ihya’ al-Mawat, dan eksplorasi air (termasuk tambang), hima dan irfa’ (proteksi lahan dan kepemilikan umum), hingga diwan (administrasi), ahkam al-Jara’im (hukum kriminal) dan hisbah.
Konsekuensinya, jika kitab Ahkamus Sulthaniyah diimplementasikan pada saat ini, tentu masih kurang sistematis meski isinya cukup memadai berbagai pembahasan yang dibutuhkan, namun demikian kitab ini sebagai referensi awal dan autentik. Dikatakan sebagai referensi awal karena merupakan kitab awal yang membahas sistem pemerintahan. Dikatakan autentik karena kitab ini menjadi dokumen autentik untuk menjawab keraguan orang yang selama ini menuduh khilafah tidak ada, sistem khilafah tidak jelas, khilafah tidak wajib, dan tuduhan tendensius yang jauh dari intelektual.
Sebagai pelengkap karya Imam al-Mawardi, Syekh Taqiyyudin an-Nabhani menyusun kitab Nidzam al-Hukm fil Islam. Kitab ini bisa dikatakan sistemis dalam kontek kekinian sekaligus menjawab apa yang belum ada pada zamannya dan dibutuhkan ijtihad baru. Kitab itu pun kemudian disempurnakan dengan Ajhizah Daulatul Khilafah.
Dengan pendalaman dan penelitian terhadap nash yang berkaitan dengan struktur negara, maka tersusunlah sebagai berikut, sejumlah tiga belas bidang dan administrasinya: khalifah; mu’awin at-tafwidh; wuzara at-tanfidz; wali; amir al-Jihad; kemanan dalam negeri; urusan luar negeri; industri; peradilan; mashalih an-Nas (kemaslahatan umum); baitul mal; lembaga informasi; dan Majelis Umat.
Meski Kafir, Mereka Meyakini
Sudah banyak dokumen yang menjelaskan keyakinan dari orang-orang kafir akan kembalinya khilafah. Mereka bahkan telah memprediksi jauh-jauh hari. Mereka pun tidak tidur siang dan malam, hanya demi menyiapkan penghalang. Jikapun dalam waktu dekat khilafah tegak, mereka sudah menyiapkan operasi ‘aborsi’.
Pembicaraan ‘ide khilafah’ di kalangan pemimpin Barat bukan isapan jempol lagi. Merekapun akhirnya membuat distorsi dan stigmatisasi jelek pada khilafah. Berkait dengan model kenegaraan yang diterapkan saat ini, baik di Indonesia maupun seluruh dunia, dalam waktu dekat akan mengalami perubahan. Karena negara itu ada dan tiada. Awalnya muncul lalu sirna, dan berganti wujud lainnya. Tidak ada yang abadi dalam kehidupan ini, apalagi konsep kenegaraan, karena semua bisa silih berganti.
Sesungguhnya masalah saat ini adalah pertolongan Allah. Sehingga umat Islam mampu menegakkan daulah al-Khilafah. Adapun apakah umat siap untuk memikul beban-beban ini? Maka benar umat siap, yang kurang adalah adanya kepemimpinan yang takwa dan bersih yang memimpin umat kepada kebaikan di bawah naungan al-Khilafah ar-Rasyidah. Sesungguhnya Allah SWT mensifati umat ini:
﴿كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ﴾
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (TQS Ali Imran [3]: 110)
Benar, telah masuk ke dalam tubuh umat tsaqafah-tsaqafah rusak, ide-ide batil dan pemahaman-pemahaman berbahaya. Sementara ikatan islamiyah lemah di antara umat dan sebagai gantinya justru menyebar ikatan-ikatan nasionalisme dan patriotisme. Akan tetapi semua ini tidak berada di kedalaman benak kebanyakan umat. Melainkan hanya berada di permukaan, akibat perbuatan para penguasa zalim dan media massa yang berjalan di orbit mereka. Meski demikian, kebaikan tetap ada. Mudah-mudahan semua umat bisa lihat bahwa al-Khilafah telah menjadi opini umum yang dahulunya tidak. Al-Khilafah pun menjadi tuntutan umum yang mencolok setelah dahulu menyerukannya dianggap aib!
Begitulah, pengembalian al-Khilafah dengan kepemimpinannya yang takwa dan bersih akan mengembalikan umat dengan izin Allah kepada kemuliaan, keagungannya dan pembebasannya. Dan hal yang demikian itu sangat mudah bagi Allah yang Maha Perkasa. Kaum kafir saja percaya khilafah, bagaimana dengan kita? [VM]
Penulis : Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)
Posting Komentar untuk "‘MENERIMA’ IDE KHILAFAH"