Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tentang Penyakit Islamofobia Media


Dilansir dari The Guardian Sayeeda Warsi, mantan menteri kabinet Konservatif, mengatakan, bahwa kebencian adalah realita sehari-hari bagi umat Islam di Inggris pada tahun 2017. "Di banyak pers Inggris, ini tanpa henti dan disengaja. Dengan gigih dan metodis menggunakan kertas dan kolom untuk membuat, memberi dan meningkatkan kecurigaan dan permusuhan dalam masyarakat kita, membuat masyarakat terpisah dan menciptakan rasa takut dan tertekan," kata Warsi, Rabu (15/11). Ia telah menuduh surat kabar Inggris mengenai Islamofobia dan ujaran benci serta menyerukan penyelidikan parlemen atas masalah tersebut.

Komentar 

Masalah ini bukan hal baru, islamofobia yang didorong permusuhan ideologis bukanlah hal baru. Islamofobia terburuk adalah menyerang Rasulullah. Dan Beliau tetap teguh dan membawa, menyampaikan dan menerapkan Islam. Beliau menolak untuk mengadopsi nilai-nilai kafir Quraisy saat mereka melakukan serangan terhadap Muslim. Beliau tetap teguh memperingatkan mereka tentang Jahannam, mengkritik kepercayaan dan praktik mereka dengan menggunakan al Quran.

Islamophobia kini telah dibingkai sedemikian rupa dan lemparkan ke arah umat Islam. Umat Islam, ketika minoritas mereka makin terbebani dengan masalah serius ini. Islamofobia diarahkan untuk menggertak umat Islam untuk mengadopsi nilai sekuler - secara lokal dan global dengan mengutuk segala hal mulai dari Hijab sampai ajaran Khilafah. Hasil akhirnya adalah bahwa umat Islam mereformasi perilaku dan bahkan keyakinan mereka agar sesuai tradisi sekuler Barat.

Lalu apa standar Muslim menjadi sebuah ancaman? Mudah terjawab, tidak ada standar yang telah ditetapkan Barat, yang mampu mendefinisikan apa artinya menjadi 'ancaman' dan istilah ‘ancaman nasional’ secara pragmatis digunakan oleh politisi oportunistik dan kelompok Islamofobia. Tapi di zaman kita, iklim ketakutan yang dipropagandakan oleh para politisi dan media mengaburkan realitas keadilan umat Islam. Bahkan di Indonesia yang mayoritasnya muslim, setelah Perppu Ormas menjadi UU Ormas disikapi elemen umat Islam sebagai bentuk fobia terhadap bangkitnya kesadaran umat Islam untuk menuntut syariah Islam dalam kehidupan negara. 

Di barat dampak dari Islamophobia menimbulkan prasangka yang buruk kepada kaum muslim, prasangka semacam ini - yang bermanifestasi sebagai nama panggilan, serangan fisik, diskriminasi di sekolah dan tempat kerja - adalah gejala dari masalah yang jauh lebih besar. Mereka yang melakukan kejahatan ini telah terpengaruh oleh narasi politik yang digerakkan oleh politisi, think tank dan media.

Serangan Islamofobia barat khususnya Inggris dan Amerika Serikat adalah agenda ideologis melawan Islam, dan untuk membuat kapitalisme liberal sekuler dominan di Inggris, AS dan di seluruh dunia. Mereka menggunakan alasan serangan teror dan insiden negatif lainnya; membuat laporan setiap kejadian yang dikaitkan komunitas muslim yang tidak proporsional; lalu berspekulasi tentang kemungkinan penyebab insiden terkait dengan muslim dan Islam.

Rezim sekuler Barat, menghubungkan setiap kejadian teror dengan masalah Islam lainnya, dan yang paling sering adalah serangan terhadap gagasan politik Islam, sehingga opini umum yang dilontarkan media-media Barat bahwa ajaran Islam membutuhkan perubahan, agar sesuai dengan nilai liberal sekuler. Mereka menyampaikan pesan terselubung bahwa semakin kuat ke-Islaman Anda, maka Anda semakin berpotensi untuk menjadi ancaman Negara. Di Barat, masalah jilbab, tempat duduk terpisah untuk pria dan wanita di kehidupan publik, menuntut waktu dan ruang untuk beribadah sholat, serta nilai Islam lainnya - diberi label 'ekstremisme'.

Ketika media massa membuat 'kesalahan' mengerikan tentang umat Islam yang berkesadaran tinggi, mereka menebarkan propaganda yang menjadi penyebab langsung atas kekerasan fisik yang menimpa warga Muslim. Misalkan serangan Islamofobia di Perancis terhadap pria Maroko, ditikam 17 kali, sementara pembunuh berteriak 'I am your God, I am your Islam’. Dalam insiden lain, dua puluh enam masjid di sekitar Prancis diserang dengan bom api, tembakan, kepala babi dan granat. 

Sekali lagi tujuan narasi Islamofobia hanya berfungsi untuk menciptakan antagonisme sosial dan politik yang mengakar dan menciptakan aura kebencian. Munculnya gerakan sayap kanan di Barat barangkali merupakan contoh terbaik bagi kegagalan media untuk memenuhi tugas dasarnya. Singkatnya, media arus utama menghadapi krisis ideologi dan krisis eksistensial.

Jika tujuan akhir Islamofobia untuk membuat kita takut dan gentar terhadap identitas kita, jelas kita tidak takut sama sekali kecuali hanya kepada murka Allah Swt. Serangan propaganda anti-Islam adalah ujian bagi umat Islam seluruh dunia. Sekali lagi kita percaya bahwa kemudahan mengikuti kesulitan; bahwa pertolongan dan Kemenangan berasal dari Allah Swt. 

Sehingga umat Islam perlu memajukan sebuah kontra-narasi dengan menggunakan semua sarana yang tersedia bagi mereka. Ini termasuk media sosial, blog, dan mungkin media cetak komunitas-dikelola  agar menjadi alat yang ampuh untuk menyampaikan dakwah Islam yang lurus dan menjaga publik di seluruh dunia agar mengenal Islam. 

Sekali lagi umat Islam harus sadar dan cerdas secara politik. Umat Islam harus mengambil tindakan aktif dalam dakwah Islam untuk membangun gagasan dan keyakinan yang mengembangkan identitas Islam dan lugas memaparkan sistem pemerintahan Islam yang komperehensif yang mampu menjadi alternatif atas kerusakan kapitalisme, dan menjaga ukhuwah sehingga mampu melindungi komunitas muslim dari tekanan termasuk generasi muda dari proyek sekulerisasi yang gencar dilakukan Barat di seluruh dunia. [vm]

Penulis : Umar Syarifudin (pengamat politik Internasional)

Posting Komentar untuk "Tentang Penyakit Islamofobia Media "

close