Ghouta Dianiaya, Dunia Seolah Tak Berdaya


Ghouta tak habis dirundung nestapa. Jenazah manusia tak berdosa bergelimpangan  di wilayahnya. Sejak serangan membabibuta yang dilancarkan oleh militer Bashar Asyad tertanggal 14 Oktober 2017 silam hingga 24 Februari 2018 telah mewafatkan 1.121 jiwa (menurut Syrian Networks for Human Rights).

Memang senjata tak bermata, tetapi militer yang mengoperasikannya sungguh tidaklah buta. Mereka menyasar tanpa etika, anak- anak juga wanita hingga jatuh korban mencapai pada angka 171 jiwa. Sungguh pembantaian keji tiada henti,  yang terjadi berulang kali. 

Sejak perlawanan Maret 2011, jumlah korban ada pada angka 12.763 jiwa. Lagi-lagi anak-anak (1463) dan wanitalah (1127) yang jadi sasaran empuknya. Wilayah  Ghouta pun telah mengalami 46 kali serangan senjata kimia. Semenjak perlawanan kala itu, Ghouta bak titik pusat perlawanan. Wilayah ini yang dinilai strategis karena begitu dekat dengan Damaskus. Walhasil pemblokadean dilakukan oleh Bashar Ashad sejak April 2013. Penguasa zalim ini begitu teganya menghujani rakyat Ghouta dengan gemuruh meriam dan sambaran roket. Sungguh aniaya, tak ada belas kasihannya!

Ghouta dalam Derita, Dunia Seolah Menutup Mata

Jika Kaum Muslim yang dianiaya, dunia terkesan menutup mata. Rakyat Ghouta tengah menderita, tetapi pemimpin dari berbagai negara lintas benua justru menutup mata. Berlaga seolah tak terjadi apa-apa. Padahal belasan ribu nyawa sudah menjadi korbannya.

Adanya PBB dan para lembaga penggiat HAM tengah bungkam. Mulut yang biasa berkoar, kini kelu membisu. Tangan kuasa mereka diborgol oleh standar ganda yang jadi jurus pamungkasnya. Hati nurani mereka pun telah mati oleh kepentingan egonya. Diam tak berkutik melihat tumpahan darah manusia tak berdosa membasahi tanah Ghouta.

Bahkan para pemimpin  negeri-negeri Muslim pun seolah tak acuh atas apa yang menimpa saudaranya di Ghouta. Mereka sibuk dengan urusan negaranya masing-masing. Sibuk menarik dana untuk pembangunan infrastruktur, juga sibuk urusan utang piutang dengan Bank Dunia. Nasionalisme telah berhasil mencekoki isi kepala para pemangku tahta hingga lupa dan tak peka dengan tragedi pilu di bagian Tanah Syam sana.

Wahai pemimpin kaum Muslim yang ada di Asia dan Benua lainnya. Tidakkah engkau pahami begitu berharganya jiwa yang hilang tanpa haq-nya. Bahkan jumlahnya menggila mencapai belasan ribu, jumlah yang tak bisa dihitung oleh jemari manusia. Bukankah pembunuhan satu jiwa tanpa haq, sama nilainya dengan membunuh semua manusia yang ada? Seperti firman Allah SWT. 

“Siapa saja yang membunuh satu orang,  karena orang itu membunuh orang lain atau membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia” (Q.S. Al-Maidah:32).

Bahkan Rasulullah mengabarkan jika korban yang terbunuh itu seorang Muslim, maka peristiwa itu jauh lebih mengguncangkan dibandingkan dengan kehancuran dunia ini. Sebagaimana sabdanya: “Kehancuran dunia ini lebih ringan di sisi Allah dibandingkan dengan pembunuhan seorang Muslim” (H.R. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i).

Ghouta Memanggil Kita

Rakyat Ghouta yang tengah nestapa memanggil kita sebagai bagian dari tubuhnya. Karena Kaum Muslim tercipta bersaudara. Kala mereka berduka, Muslim di belahan dunia manapun ikut merasakan rintihan  tangisan dan kesakitannya. Lantas apa yang bisa kami lakukan untuk menyelamatkan saudara kita di Ghouta?

Cukupkah sekadar doa dan airmata?tidak saudaraku! Tak bermaksud mengerdilkan nilai doa di mata Yang Mahakuasa. Namun, kepiluan rakyat Ghouta membutuhkan upaya yang lebih dari panjatan doa dan tetesan air mata. Semua penganiayaan yang terjadi di tengah negeri Muslim merupakan ketiadaan pemimpin umat yang menerapkan syariat-Nya.

Di dalam Islam, Imam atau pemimpin umat memiliki tugas utama yaitu sebagai penanggung jawab (rain) juga sebagai perisai (junnah). Kita dapat becermin pada kisah-kisah mengagumkan para khalifah yang menerapkan aturan Islam secara komprehensif. 

Sosok Umar Bin Abdul Aziz yang mampu memenuhi kesejahteraan juga keamanan rakyatnya. Sampai-sampai di kontemplasi malamnya, ia merisaukan jika saja ada seekor unta yang terperosok ke dalam jurang maka ia takut akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan  Allah SWT. Apalagi rakyat Ghouta yang jumlahnya begitu banyak.

Begitu juga sosok Al-Mutashim Bilah. Ia terperanjat dari dipan tempat tidurnya saat sampai kabar bahwa ada seorang wanita yang menjadi rakyatnya telah dilecehkan oleh seorang Yahudi. Saat itu juga, beliau memimpin langsung pasukan Kaum Muslim yang berjumlah puluhan ribu menuju Kota Amuriyah guna membela kehormatan seorang wanita Muslimah. Pasukan Romawi dilumpuhkan, Amuriyah pun ditaklukkan. 30 ribu tentara Romawi tewas, 30 ribu lainnya menjadi tawanan kaum Muslim. 

Akhirnya Al-Mutashim atas izin Allah berhasil membebaskan wanita yang dilecehkan tadi. Seraya berkata di hadapan wanita tersebut, “Jadilah engkau saksi untukku di depan kakekmu (Nabi Muhammad SAW.) bahwa aku telah datang untuk membebaskan kamu.” (Ibnu Khalikan dalam Wafyah al-A’yan, juga Ibn Al-Atsir dalam Al-Kamil fi at-Tarikh)

Sungguh sosok-sosok tangguh nan perkasa yang penuh tanggung jawab dalam penunaian amanah terhadap rakyatnya seperti Umar bin Abdul Aziz dan Al-Mutashim Bilah hanya terdapat dalam kehidupan yang menerapkan syariat Islam secara komprehensif. Syariat Islam yang diamalkan bukan hanya dalam aspek spiritual semata, tetapi juga dalam aspek politis bernegara juga bermasyarakat. Dengan mewujudkan kepemimpinan umat yang menjadi pengayom, insyaallah derita Ghouta akan segera diakhiri. Adanya pemimpin sebagai perisai (junnah) akan melindungi mereka dari keganasan manusia yang durhaka seperti Bashar Asad dan para tuannya ( Rusia juga Amerika). Wallahu’alam bishowab

Penulis : Ammylia Rostikasari, S.S. (Aktivis Penulis Bela Islam)

Posting Komentar untuk "Ghouta Dianiaya, Dunia Seolah Tak Berdaya"