Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fenomena Berebut Kursi Wapres (Rindu Negarawan Religius)


Tervisualisasi di beberapa media, PPP tampak bersaing dengan PKB berebut kursi wapres Jokowi. PPP dan PKB dua partai yang dianggap getol lobi politik ke Jokowi. Uniknya, PKB mendeklarasikan dukungan ke Jokowi dengan Ketua Umumnya Cak Imin sebagai cawapres 2019 pada 10 April 2018,. Jokowi-Muhaimin (Join), menurut pihak PKB sebagai pasangan yang cocok di Pilpres 2019. 

Sementara di kubu PPP, Sekjend PPP, Asrul Sani mengklaim Presiden Joko Widodo sudah menerima rekomendasi lima kriteria cawapres yang diajukan partainya. Asrul Sani memberikan pesan bahwa posisi PPP menginginkan sosok religius dan bisa memberikan efek ekor jas kepada PPP.

Mengenai sosok religious, menurut penulis ini merupakan kebutuhan primer bangsa ini yang memang membutuhkan para pemimpin yang bertakwa, pemimpin yang meniru ketegasan para sahabat Rasul SAW. Kita menemukan teladan pada diri mereka, sikap dan tindakan para pemimpin Islam/para Khalifah dulu, sebagai contoh sikap Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq yang menindak tegas dan memerangi Musailamah yang mengklaim sebagai nabi dan para pengikutnya. Khalifah Abu Bakar ra. menindak tegas semua pihak yang mempermainkan dan menodai akidah Islam dengan keluar dari Islam alias murtad dan menolak kewajiban membayar zakat. Bahkan Ibn al-Jauzi dalam Al-Muntazham dan Ibn Asakir melaporkan, bahwa Khalifah Abu Bakar memerintahkan Panglima Khalid ibn Walid agar tidak memasukkan satu orang pun yang dulunya murtad ke dalam pasukan Islam untuk menjalankan misi jihad. Kebijakan itu dilanjutkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra. seperti yang dilaporkan oleh ath-Thabari dalam Târîkh-nya.

Kita sangat membutuhkan penguasa yang peduli terhadap penderitaan rakyat. Kita butuh kepedulian para politisi dan pejabat di situasi derita rakyat akibat kemiskinan dan kesulitan memenuhi kebutuhan pangan, mereka peka dan menahan diri untuk tidak meminta kenaikan gaji, tunjangan dan fasilitas tambahan.

Kita butuh penguasa yang meniru sikap Khalifah Umar bin al-Khaththab. Ketika masa paceklik dan kekurangan pangan melanda Madinah, Khalifah Umar tidak mau mengecap makanan enak dan hanya makan roti murahan yang diolesi minyak. Beliau berprinsip, jika rakyat bisa makan enak, biarlah dirinya menjadi orang terakhir yang bisa makan enak. Sebaliknya, jika rakyat kelaparan, biarlah dirinya menjadi orang terakhir yang terbebas dari kelaparan.

Ketika menjumpai sebagian rakyatnya kekurangan pangan, Khalifah Umar langsung menyelesaikannya dan mencukupi bahan makanan mereka, bahkan beliau memanggulnya sendiri. Agar rakyat Irak terbebas dari kemiskinan, Khalifah Umar memberikan bantuan cuma-cuma kepada para petani Irak agar bisa mengolah tanah mereka. Kebijakan itu dilanjutkan oleh para Khalifah Umayah dan Abbasiyah.

Perumahan yang termasuk kebutuhan pokok rakyat mestinya dijamin oleh Pemerintah. Namun, jangankan memberikan jaminan, yang terjadi justru penggusuran dilakukan di sana-sini. Hingga kini dengan berbagai dalih hal itu terus saja terjadi. Akibatnya, puluhan ribu orang tiba-tiba terlantar. Maka hendaknya penguasa meniru apa yang dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab, lebih dari 13 abad lalu. Di dalam Hayah ash-Shahâbat, Syaikh al-Kandahlawi memaparkan, bahwa Umar pernah akan memperluas Masjid Nabawi. Namun, niatnya terkendala oleh penolakan al-Abbas yang rumahnya bakal kena gusur untuk tujuan itu. Khalifah Umar pun tidak memaksanya. Beberapa waktu kemudian al-Abbas sendiri yang memperluasnya. Begitu pun saat akan dilakukan perluasan masjid di Mesir yang untuk itu harus menggusur rumah seorang non-Muslim. Khalifah Umar juga tidak memaksanya, apalagi menterornya dengan mengirim preman.

Manshur al-Hajib, penguasa Andalusia, juga pernah berencana membangun jembatan di atas sungai yang membelah kota Qordova. Untuk itu, ia harus menggusur rumah seorang tua. Ketika orang tua itu meminta harga 10 dinar (setara 42,5 gram emas) utusan Manshur langsung menyetujuinya tanpa menawarnya. Saat dilaporkan kepada Manshur maka Manshur pun memanggil orang tua itu. Manshur al-Hajib memberikan penghargaan atas kesediaan orang tua itu menyerahkan tanahnya dan Manshur pun memberinya tambahan 90 dinar.

Kita prihatin dengan kondisi mengakarnya ideologi Kapitalisme-sekular di negeri ini. Ideologi ini menjadikan manfaat atau kepentingan sebagai nilai yang diagungkan dan dijadikan tolok ukur. Di tengah ideologi dan sistem politik seperti saat ini, menjadi sulit kita menemukan negarawan seperti Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, Umar bin Abdul Aziz, Manshur al-Hajib, Harun ar-Rasyid, al-Mustanshir, Abdul Hamid II dan sebagainya itu. Negarawan seperti mereka hanya bisa dibentuk dalam sebuah institusi negara yang berideologi Islam. Pemimpin dalam sistem Islam akan sadar bahwa kekuasaan merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Di telinga mereka akan senantiasa terngiang sabda Rasul saw. berikut:

Seorang pemimpin (penguasa) adalah pengurus rakyat; dia bertanggungjawab atas rakyat yang diurusnya. (HR al-Bukhari). [vm]

Penulis : Firdaus Bayu (Dir. Pusat Kajian Multidimensi)

Posting Komentar untuk "Fenomena Berebut Kursi Wapres (Rindu Negarawan Religius)"

close