Radikalisme: Narasi Usang Mendiskreditkan Islam
Oleh
: Eva Rahmawati
Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) melakukan survei terhadap 100
masjid pemerintahan di Jakarta. Survei terhadap 100 masjid tersebut terdiri
dari 35 masjid di Kementerian, 28 masjid di Lembaga Negara dan 37 masjid di
Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ketua Dewan
Pengawas Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Agus Muhammad
mengatakan, survei itu dilakukan setiap shalat Jumat dari 29 September hingga
21 Oktober 2017. Kemudian, tim survei menganalisis materi khutbah Jumat yang
disampaikan, dan hasilnya ada 41 masjid yang terindikasi radikal.
"Dari
100 masjid itu 41 kategorinya radikal. Radikal rendah itu tujuh masjid, radikal
sedang 17 masjid, dan radikal tinggi itu 17 masjid," ujar Agus saat
dihubungi Republika.co.id, Senin (9/7). (Republika.co.id, 28/11/18)
Menanggapi
hasil survei, Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama
dan Peradaban Din Syamsuddin meragukan
hasil survei yang mengungkapkan 41 masjid pemerintah di Jakarta
terindikasi radikal. Justru survei tersebut hanya akan menimbulkan kecemasan
dan memecah kerukunan di kalangan umat Islam.
“Jangan
melempar isu secara verbal karena bisa menimbulkan keresahan masyarakat,”
ujarnya saat konferensi pers Para Pemuka Agama Kebangsaan di Kantor Centre
for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), Selasa (10/7).
(Republika.co.id, 28/11/18)
Kemudian
hasil dari survei Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) ini dikembangkan
oleh Badan Intelegen Negara (BIN) untuk melakukan riset, dan hasilnya BIN
menyebut 50 penceramah di 41 masjid lingkungan kantor pemerintah terpapar
radikalisme.
Juru Bicara
Kepala BIN Wawan Hari Purwanto mengatakan bahwa masjidnya tidak ada yang radikal
akan tetapi konten ceramahnya. Berdasarkan konten yang dipaparkan penceramah
maka BIN mengategorisasikan levelnya, dari level rendah, sedang dan tinggi.
"Kalau
yang rendah masih kategori bisa ditolerir lah. Kalau sedang ini sudah mengarah
ke kuning-kuning gitu kan. Itu disikapi lebih," ucap Wawan.
Sedangkan
masjid dengan level terpapar tertinggi atau pada zona merah, Wawan mengatakan,
harus berupaya lebih tajam menetralisir gempuran paham radikal.
"Kalau
yang merah (tinggi) ini sudah parah lah. Artinya, ini perlu lebih tajam lagi
untuk menetralisir itu," kata dia. Lebih lanjut, Wawan menyebutkan, kategori
masjid pada zona merah yang menjadi sorotan BIN, memiliki kriteria yang sangat
jelas menyimpang dari falsafah dan norma-norma Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
“Yang merah
ini sudah mendorong ke arah-arah yang lebih simpati ke ISIS. Ini yang membawa
aroma konflik Timur Tengah ke sini (Indonesia). Mengutip ayat perang, sehingga
menimbulkan ESKOM: Emosi, Sikap, Tingkah Laku, Opini, dan Motivasi," kata
dia. (IDNTimes, 21/11/18)
Dilansir oleh
Detik.com, 21/11/18. Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) mengaku heran
dengan Badan Intelijen Negara (BIN) yang bicara soal 50 penceramah
menyebarkan paham radikal. HNW menyebut BIN seharusnya tak mengumbar informasi.
"BIN itu
biasanya lakukan sesuatu bukan untuk disiarkan begitu tapi untuk presiden,
karena user BIN itu presiden," ujar HNW di gedung DPR, Senayan,
Jakarta, Rabu (21/11/2018).
Dengan
mengumbar informasi tersebut, BIN hanya menambah keresahan masyarakat. Yang ada
masyarakat akan saling curiga, menuding siapa-siapa saja penceramah terindikasi
radikalisme. Dan ini tidak baik. Semestinya, BIN mampu menjaga kondisi
masyarakat tetap kondusif. Demi terciptanya kerukunan dan kedamaian. Tak perlu ciptakan stigma negatif
di tengah kebangkitan kaum muslimin.
Pasca aksi bela Islam 212, dua tahun lalu hingga kini ghirah umat untuk lebih
memahami dan mencintai agamanya begitu tinggi. Hal ini terbukti dengan tumbuh suburnya
komunitas hijrah dan kajian-kajian tak pernah sepi dari kaum muslimin. Umat
berlomba memakmurkan masjid-masjid.
Dimunculkannya
kembali isu radikalisme masjid dan penceramah menunjukkan kepanikan rezim
sekuler menghadapi kesadaran politik umat Islam yang kian menguat. Ada ketakutan yang berlebih bahwa
masjid dipergunakan untuk kampanye politik menjatuhkan petahana. Sehingga
diframing media bahwa masjid terpapar radikal wajib dijauhi.
Muncul
pertanyaan dalam benak kaum muslimin, kenapa hanya masjid saja yang dilakukan
riset penceramahnya radikal atau tidak, sedangkan tempat ibadah agama lain
tidak. Jika mau konsisten, harusnya semua tempat ibadah diperlakukan sama. Itu
baru adil. Tidak diskriminasi.
Jangan sampai
masyarakat menilai apa yang dilakukan BIN, sebagai upaya memonsterisasi simbol-simbol
Islam. Masjid dan penceramah di cap radikal. Umat semestinya tidak boleh
terpengaruh dengan isu-isu yang terus mendiskreditkan umat Islam. Islam bukan
ajaran radikal tapi hukum-hukumnya justru membawa kebaikan bagi umat manusia.
Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam diutus dengan membawa ajaran
Islam, maka Islam adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi
seluruh manusia. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa ta'ala:
“Dan tiadalah
Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. [Al-
Anbiya :107]
Dalam sejarah
kehidupan manusia, akan selalu ada pembela haq dan penentangnya. Penentangan
atas arus kebangkitan Islam merupakan sunnatullah. Pilihannya
mau menjadi bagian membela yang haq yaitu Islam atau menjadi penentang yang
menghalangi kebangkitan Islam. Melihat geliat kebangkitannya, umat harus segera menentukan sikap untuk berada di barisan perjuangan
mengembalikan Islam dalam pengaturan kehidupan. Wallohua'lam bishshowab.[vm]
Posting Komentar untuk "Radikalisme: Narasi Usang Mendiskreditkan Islam"