Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Blunder Politik “MELAWAN SIAPA” dan Kepemimpinan Bangsa


Oleh : Ainul Mizan

Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan berkomunikasi dengan lainnya. Komunikasi merupakan bentuk interaksi di antara manusia dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya. Komunikasi digunakan untuk menyampaikan isi pikiran dan perasaan agar bisa dipahami oleh yang lain. Termasuk di dalam komunikasi politik.

Presiden Jokowi sekaligus Capres nomor urut 01 saat berpidato di Jogyakarta pada Sabtu, 23 Maret 2019, meluapkan emosinya dan marah – marah. Jokowi menegaskan akan melawan atas semua hujatan kepada dirinya. Sebelumnya terhadap semua hujatan tersebut, ia bersabar klaimnya (jurnalislam, 26 Maret 2019).

Pernyataan Jokowi di dalam pidato kampanyenya di Jogya tersebut lebih merupakan curhat. Lebih tepatnya bisa disebut curhat dari pemimpin kepada rakyatnya. Lantas jika pemimpin curhat kepada rakyatnya, lalu kemanakah rakyat harus curhat akan setiap permasalahan yang dihadapinya ?

Tentunya selama ini rakyat sudah mengadukan semua masalahnya kepada pemimpinnya. Sebagai pemimpin dituntut harus siap dan bijak untuk merespon setiap pengaduan kepada dirinya. Karena memang pemimpin itu adalah pelayan bagi rakyatnya. 

Masih ingat dalam benak kita kehebohan yang ditimbulkan Ahok di negeri ini, hingga menuntut umat Islam turun jalan dalam jumlah jutaan orang. Umat Islam dengan dipimpin para ulamanya menuntut keadilan atas penistaan terhadap al- Qur’an yang dilakukan oleh Ahok. Hingga beberapa jilid dilakukan baru Ahok bisa diproses hukum walaupun hanya diberi sangsi 2 tahun penjara. Sedangkan kasus – kasus penistaan kepada Islam yang dilakukan Abu Janda, Sukmawati dan Viktor Laiskodat masih belum tersentuh hukum. 

Sedangkan kalau kita menilik sejumlah janji Presiden Jokowi di tahun 2014, tentunya wajar bila rakyat mengadukan dan menuntut realisasinya. Di antara janjinya adalah menciptakan 10 juta lapangan kerja baru selama 5 tahun dalam rangka mengurangi pengangguran. Menurut data BPS bahwa jumlah pengangguran di Indonesia di tahun 2018 mencapai 6,87 juta orang (ekbis.sindonews.com, 7 Mei 2018). Sedangkan pada semester kedua 2018, jumlah pengangguran pada Agustus 2018 mengalami kenaikan menjadi 7 juta orang atau sekitar 5,34 persen dari total angkatan kerja sebanyak 124 juta jiwa (databoks.katadata.co.id, 6 Nopember 2018). Walhasil jika pemerintah peka tentunya tidak akan ada kebijakan membuka kran serbuan tenaga kerja asing terutama dari China dengan adanya Perpres nomor 20 tahun 2018. 

Bahkan kalau kita membaca lontaran – lontaran dari para pejabat publik pemerintahan Jokowi terhadap pengaduan rakyat, sungguh membuat miris. Ketika rakyat mengadu harga daging Sapi mahal, Menteri Pertanian menyarankan agar masyarakat makan Keong sawah (TribunNews, 6 Desember 2017). Ketika rakyat mengadu harga Cabai Rawit mahal Rp 90 ribu, Mendag menyuruh menanam sendiri (Detik, 4 Januari 2017). Dan masih banyak yang lain solusi – solusi lucu dari Kabinet Jokowi. 

Sedangkan dalam hal ketersediaan pangan, impor yang dilakukan pemerintah justru ugal – ugalan. Padahal di tahun 2014, Presiden menargetkan swasembada sejumlah komoditas pangan strategis seperti padi, jagung, kedelai dan gula bisa dicapai dalam waktu 3 tahun (kompas.com, 25 Februari 2019). 

Inilah beberapa hal persoalan masyarakat yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan Jokowi. Artinya seharusnya yang marah adalah rakyat. Rakyat yang diberikan janji kampanye akan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan, hingga saat ini sekitar 4,5 tahun masih jauh dari harapan. 

Adapun terkait bahwa Presiden Jokowi yang sekaligus merangkap sebagai Capres dari Kubu Petahana ini merasa banyak hujatan dan kritikan kepadanya, tentunya yang bijaksana adalah membuktikan bahwa dirinya tidak seperti yang dituduhkan. Bukan justru menyatakan akan melawannya. Hal demikian hanya akan menciptakan permasalahan baru berikut ini. 

Pertama, Narasi yang sedemikian hanya akan berpotensi memecah belah rakyat. Rakyat pun terbagi menjadi 2 kubu yakni kubu pro dan kontra pemerintah. Tentunya ini kontraproduktif dengan tujuan  dari pembangunan bangsa dan negara dalam rangka mencapai kesejahteraan umum. 

Indikasi potensi memecah belah rakyat bisa dilihat dari beberapa baliho capres dan cawapres 01 yang memakai narasi istilah “Rakyat Jokowi”. Lantas, apakah rakyat yang aspirasi politiknya berbeda dikatakan sebagai bukan rakyat Jokowi ? Padahal Bapak Jokowi ini notabenenya masih menjabat sebagai presiden. Artinya rakyat dari Presiden Jokowi adalah semua warga negara Indonesia. Sekaligus menegaskan pula, adalah tanggung jawab dari Jokowi dan pemerintahannya untuk mengayomi dan memberi rasa keadilan kepada semua rakyatnya tanpa terkecuali. 

Kedua, Terkait keberadaan isu yang menerpa dirinya. Sesungguhnya narasi yang disampaikannya adalah narasi membela diri. Dari curhat hingga mau melawan. Hanya saja, akan banyak effort untuk membuktikan ketidakbenaran hujatan dan kritikan tersebut. Pasalnya, apa yang terjadi di lapangan lebih menunjukkan adanya pembiaran, dan mustahil presiden tidak mengetahuinya. 

Dari kasus kriminalisasi ulama. Penghadangan pengajian dari beberapa mubaligh seperti yang menimpa Ustadz Felix Siauw dan Ustadz Abdul Shomad. Begitu pula penghadangan terhadap Habib Bahar di Bandara Sam Ratulangi oleh sekelompok masyarakat adat hingga hukuman pemenjaraan kepadanya. Habib Rizieq yang hingga hari ini belum bisa kembali ke Indonesia. Isu Terorisme yang menyasar aktifis Islam, eksekutornya adalah Densus 88; hingga penerbitan Perppu Ormas yang menimbulkan korban yakni pencabutan BHP dari Hizbut Tahrir Indonesia. Kasus Pembakaran Masjid di Tolikara Papua yang menguap begitu saja. Adalah hal yang wajar bila ada sentimen jika pemerintahan Jokowi ini adalah pemerintahan yang anti Islam. 

Terkait angin segar bagi pertumbuhan ideologi Komunisme di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa ideologi Komunisme mulai bangkit lagi di Indonesia. Bahkan ada kebangkitan itu melalui gedung dewan yang terhormat. Ribka Tjiptaning yang menulis buku berjudul “Aku Bangga Menjadi Anak PKI”, notabenennya adalah Ketua Komisi IX DPR RI dari fraksi PDI-P periode 2009 – 2014. Ditambah lagi serbuan TKA dari China akan menjadi persoalan baru yang menambah kebenaran alibi akan bangkitnya kembali Ideologi Komunisme di negeri ini. 

Makna Kepemimpinan itu…

Kepemimpinan itu identik dengan pengaturan semua urusan rakyatnya. Kepemimpinan layaknya gembala bagi rakyatnya. Tentunya seorang yang memegang kendali kepemimpinan akan bertanggung jawab penuh akan rakyat yang dipimpinnya. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus memiliki kompetensi kepemimpinan baik dari sisi kejiwaan maupun pemikiran. 

Dari aspek kejiwaan, seorang pemimpin harus membekali dengan beberapa sifat di antaranya ketaqwaan, adil dan terbuka dalam menerima kritikan maupun hujatan. Yang menjadikannya berat hingga tidak bisa nyenyak tidur adalah keadaan rakyatnya. 

Adalah Kholifah Umar bin Khoththob ra, menerima dengan tangan terbuka kritikan dari Syifa’. Bahkan beliau harus mengubah keputusan politiknya terkait mahar yang diminta seorang wanita. Syifa mengatakan apa haknya Umar ra membatasi jumlah mahar sedangkan Allah SWT dan RasulNya tidak pernah memberi batasan jumlah mahar. Dan uniknya, fragmen ini terjadi di tengah khalayak ramai.

Begitu pula di saat beliau melakukan inspeksi mendadak akan kondisi rakyatnya. Beliau langsung mendapat  teguran keras dari seorang ibu bahwa beliau dituduh tinggal diam dari penderitaan rakyatnya. Segera saja beliau mengambil sekarung gandum yang dipikulnya sendiri untuk diberikan kepada ibu tersebut guna mencukupi kebutuhannya sehari – hari. 

Sementara itu dari aspek pemikiran dan visi ke depan. Seorang pemimpin harus sudah mengetahui biduk kepemimpinannya akan jalan yang dilaluinya. Ia siap menjadi bamper dari setiap permasalahan yang timbul. Ia juga memiliki alternative solusi untuk menyelesaikannya. Contoh dalam hal ini adalah keberaniannya untuk memecat panglima Kholid bin Walid tanpa sebab kesalahan apapun. Umar bin Khotthob ingin memberikan pendidikan kepada rakyatnya bahwa kepemimpinan itu terletak pada ideologi Islam yang menjadi asas bukan terpusat pada individu. Ini juga menjelaskan bahwa selama Islam masih menjadi rule of game pemerintahan, niscaya akan dapat dihasilkan sosok – sosok individu yang siap memimpin maupun dipimpin. 

Demikianlah kondisi kepemimpinan tatkala aspek pengurusan politik dan pemerintahan tidak terlepas dari nilai – nilai dan ajaran – ajaran Islam. Sebuah kondisi kepemimpinan yang tidak hanya melahirkan seorang politisi, bahkan lebih dari itu mampu melahirkan sosok negarawan yang siap bertanggung jawab terhadap dirinya dan rakyatnya. [vm]

Posting Komentar untuk "Blunder Politik “MELAWAN SIAPA” dan Kepemimpinan Bangsa"

close