Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pembantaian Etnis Muslim Mali dan Peran Militer Prancis

Mali's President Ibrahim Boubacar Keita inspects the site of an attack by gunmen on Fulani herders in Ogossagou, Mali March 25, 2019.Reuters
VisiMuslim - Pembantaian kejam terhadap suku muslim Fulani di provinsi Mopti, Mali Tengah, pada 23 Maret lalu, kembali menimbulkan tanda tanya besar mengenai peran pasukan asing dan pasukan pemerintah. Kehadiran pasukan yang mengklaim dirinya pencipta perdamian tersebut tak membuat negara multi-etnis itu ke arah lebih aman.

Sedikitnya 160 orang muslim, yang mayoritas anak-anak, wanita dan lansia, tewas dengan kondisi mengenaskan dalam insiden bulan lalu tersebut. Warga Mali terkejut dan mengecam. Terlebih pembantaian itu dilakukan sangat sadis. Anak-anak dan wanita dibakar hidup-hidup di dalam rumah mereka.

Para komandan militer pemerintah dengan cepat menuduh suku nelayan Dogon di balik pembantaian itu. Sementara belum ada penyelidikan. Selama ini, Fulani dan Dogon dikenal dua suku yang bermusuhan.

Para saksi mata mengatakan bahwa penyerang menggunakan pakaian adat Dogon. Namun demikian, suku tersebut menolak bertanggung jawab.

Para saksi menduga, pembantaian terkait serangan organisasi jihadis Jamaah Nusratul Islam wal Muslimin (JNIM) ke kamp militer Mali yang menewaskan sedikitnya 30 tentara. Terlebih, insiden tersebut terjadi beberapa jam setelah JNIM mengumumkan serangannya itu. Fulani yang mayoritas muslim menganggap anggota jihadis saudara sesama muslim.

Fitnah dan Hasutan

Para pengamat urusan Afrika melihat bahwa pembantaian di desa Ogasugu itu tidak terjadi begitu saja. Peristiwa ini buntut dari serangkaian hasutan dan fitnah yang terus diarahkan kepada etnis muslim itu. Fulani dikenal suku yang sangat memegang erat kebudayaan Islam mereka dan menolak “modernisasi” yang dikampanyekan pemerintah pro asing.

Etnis Fulani komitmen menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah Bahasar Arab dan Al-Quran sebelum belajar ilmu lainnya. Bahkan, banyak dari mereka mencukupkan belajar dua agama tersebut. Mereka menolak sekolah-sekolah yang diselenggaran rezim karena dianggap mengajarkan kurikulum milik penjajah.

Abdullah Mamdo Ba, yang pernah menjabat penasihat media mantan Presiden Mauritania Sayyid Muhammad Walad Al-Syaikh Abdullah, melihat bahwa pemerintah Mali turut bertanggung jawab atas insiden ini karena tidak mampu memperluas keamanan di seluruh provinsi dan selalu membentuk milisi nasonalis. Milisi ini digunakan untuk menghadapi kelompok-kelompok anti pemerintah, khususnya etnis Arab, Thawariq dan Fulani.

Ia melanjutkan bahwa pembantaian 160 warga Fulani hanya satu dari rangkaian pembantaian yang meningkat sejak akhir 2012, setelah keberhasilan pasukan pimpinan Prancis mengusir kelompok jihadis dari provinsi Azwad, Mali utara. Kemajuan pasukan asing itu disusul dengan kembalinya militer pemerintah menguasai Mali tengah dan utara setelah terusir lama dari wilayah tersebut.

Rangkaian Insiden Pembantaian Fulani

Kembalinya pasukan Mali menduduki wilayah utara ini disertai gelombang fitnah dan hasutan terhadap suku-suku yang dituduh mendukung kelompok jihadis. Sedikitnya 13 pemuda Fulani di daerah Sivari pada Januari 2013, dan tubuh mereka dibuang ke sumur, akibat hasutan tersebut. Dogon yang merupakan suku pendukung pemerintah bertanggung jawab.

Pada pertengahan 2017, lanjut Mambo Ba, tewasnya tiga anggota suku Dogon di daerah Koro di tangan orang tak dikenal kembali memicu serangan terhadap suku Fulani. Milisi Maliyana, yang dibentuk pada 2016, menyerang desa-desa Fulani. Enam Fulani tewas mengenaskan. Saat pemakaman para korban, Maliyana meluncurkan serangan lanjutan dan menewaskan delapan Fulani. Sementara tak ada bukti Fulani di balik pembunuhan itu.

Pemerintah berhasil menangkap para tersangka penyerangan. Semuanya diadili dan mengakui kejahatannya. Namun vonis yang dijatuhkan tak lebih dari enam bulan. Hal itu memicu kemarahan dan kecaman warga.

Dengan kehadiran pasukan internasional dan Perancis, dan pasukan lima Negara Sahel lainnya— di samping penyebaran pasukan pemerintah— di pusat dan utara Mali, statistik PBB menunjukkan bahwa konflik sipil antara berbagai etnis sepanjang 2018 menghasilkan sebanyak 500 korban tewas. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan apa yang menyebabkan gagalnya pasukan-pasukan ini menciptakan keamanan.

Prancis dan Pemerintah Sumber Konflik

Beberapa pengamat menunjuk pada peran pasukan PBB, khususnya Prancis, sebagai pemicu konflik antara suku yang berada di Mali.

Profesor sejarah yang intens mengamati perkembangan Afrika, Abdul Karim Bary, melihat vonis ringan yang dijatuhkan atas anggota milisi Maliyana tersebut dan dibebaskannya anggota Dan Ansogo yang didominasi etnis Dogo melihatkan dengan gamblang bahwa dua milisi itu mendapat dukungan, perlindungan dan mungkin arahan dari pihak-pihak berpengaruh seperti pemerinah dan pasukan Prancis, yang mengendalikan urusan keamanan dan militer di Mali tengah dan utara.

Abdel Karim mengaitkan antara pembantaian baru-baru ini yang menimpa Fulani dan kunjungan anggota Dewan Keamanan PBB, yang dipimpin oleh pejabat Prancis dan Jerman, ke Mali. Pembantaian itu juga terjadi kurang dari sepekan selah komandan pasukan Perancis dan Inggris meninggalkan Mali dalam kunjungan singkat.

Ia tidak mengesampingkan pembantaian 160 warga Fulani sebagai pembalasan atas serangan mematikan terhadap pangkalan militer di kota Edwira, yang menewaskan 30 tentara Mali. JNIM bertanggung jawab dan menyebut serangan itu sebagai balasan atas serangkaian pembantaian suku Fulani.

Fulani menyumbang 18 persen dari populasi Mali, mayoritas beraktivitas mengembala ternak. Mereka tersebar di sekitar 20 negara Afrika.

Menurut pengamat kelompok-kelompok Islam bersenjata, Mohamed Mahmoud Ould Abu al-Maali, pembantaian Fulani terjadi karena penolakan etnis tersebut untuk bergabung milisi pro pemerintah yang mau bertempur di barisan pasukan Prancis.

Dia menambahkan, meskipun secara geografis mereka berada di wilayah yang menghubungkan antara selatan dan utara negara itu, etnis Fulani menghindari diri dari perang selama dekade terakhir. Mereka terus mempertahankan agama, budaya dan sosial, dan menolak budaya asing dan bertentangan dengan agama.[vm]

Sumber: Al-Khalej Online

Posting Komentar untuk "Pembantaian Etnis Muslim Mali dan Peran Militer Prancis"

close