Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Prof. Suteki dan Rezim Pancasilais


Oleh : Boedihardjo, S.H.I.

Anda kenal Prof. Suteki? Seorang Guru Besar di Fakultas Hukum UNDIP Semarang yang belakangan dikenal publik karena dipersoalkan menjadi ahli Hizbut Tahrir Indonesia di PTUN Jakarta, sebagai ormas hendak berusaha mengarahkan perilaku hidup manusia Indonesia, termasuk Polri dan TNI, menjadi insan yang berperilaku baik dengan cara mengajak untuk dekat dan merasa diawasi oleh Allah, Tuhannya.

Posisi bersebarangan dengan pemerintah inilah yang kemudian membuat dia dinilai tidak loyal dengan pemerintah pada tanggal 28 November 2018 Rektor UNDIP telah mengeluarkan SK Nomor 586/UN7.P/KP/2018 menyatakan pemberhentian secara tetap  dari jabatan Prof. Suteki, yaitu: Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum Undip dan Ketua Senat Fakultas Hukum Undip. SK tersebut berlaku mulai tanggal 1 Desember tahun 2018, namun  baru diberikan kepada dia pada tanggal 24 Mei 2019, sehingga ada jeda waktu kurang lebih 6 bulan. 

Adapun tembusan surat diberikan kepada; (1) Ketua Senat Akademik Undip; (2) Wakil Rektor di Undip; (3) Dekan Fakultas Hukum Undip; (4) Kepala Biro di Undip; dan (5) Kepala Bagian Keuangan BAUK Undip. Banyaknya tembusan surat yang diberikan ini mengindikasikan bahwa Rektor secara sengaja hendak mengumumkan kepada publik kampus bahwa Prof Suteki telah terbukti secara nyata melakukan pelanggaran berat disiplin pegawai sementara dia sebagai pihak yang diberikan sanksi justru baru menerima SK tersebut tanggal 24 Mei 2019. 

Perbuatan tersebut sudah dapat patut diduga bahwa Rektor melakukan pencemaran nama baik secara tertulis sejak tanggal berlakunya SK Pemberhentian tanggal 1 Desember 2019, bahkan sejak 1 Juni 2018 telah terjadi trial by the press terhadap Prof. Suteki mengingat perbuatan yang dituduhkan kepada terperiksa belum secara patut dibuktikan.

Apa sebabnya? Patut diduga beliau yang saat itu menjadi ASN, hadir dalam memberikan Keterangan Ahli di Mahkamah Kontitusi  (MK) pada tanggal 23 Oktober 2017 dalam persidangan permohonan Judicial Review terhadap Perppu Nomor 2 Tahun 2017 ORMAS dan pada persidangan PTUN pada tanggal 1 Pebruari 2018 perkara pencabutan Badan Hukum ormas HTI di Jakarta Timur.

Sebagai ahli sebelumnya ia menyoroti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (Perppu Ormas) – sebelum menjadi UU Ormas -- pada Pasal 59 ayat 4 huruf c tentang pemaknaan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila, yakni ateisme, komunisme/marxisme-leninisme dan frasa “atau paham lain yang bertujuan mengganti pancasila dan UUD 1945”. Pasal tersebut menjadi alasan Pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Padahal, pasal tersebut merupakan “pasal karet”.

Sebagai dosen Pengampu mata kuliah Pancasila dan Filsafat Pancasila serta Hukum dan Masyarakat tersebut juga mengatakan kegiatan HTI yang sebenarnya telah sesuai dengan AD ART yang disebut sebagai gerakan dakwah tidak dapat dikatakan bertentangan dengan hukum negara yang transendental apalagi hendak  mengganti Pancasila ketika HTI menyampaikan ajaran Islam, termasuk di dalamnya adalah tentang khilafah Islam.

HTI, sebagai ormas kritis yang dibubarkan tanpa proses pengadilan itu menunjukkan bahwa negara hukum Indonesia telah mulai tergerus. Due process of law adalah sebagai sarana untuk to respect, to fullfil dan to protect terhadap hak dan hak asasi manusia Indonesia. Intinya bila hendak mengurangi apalagi mencabut salah satu hak mendasar. Misalnya, hak untuk berserikat harus ada proses yang layak. Penilaiannya pun tidak boleh dilakukan sepihak kekuasaan negara melainkan harus menyertakan kekuasaan negara yang lain, yaitu yudikatif atau peradilan. Jadi proses peradilan harus mendahului keputusan administrasi.

Namun ini gambaran dari rezim Pancasilais hari ini, dosen mata kuliah Pancasila dan Filsafat Pancasila dizalimi serta dituding menghadapi sejumlah tudingan anti NKRI, dsb. Sekarang jadi pertanyaan Pancasila diinterpretasikan dengan baik itu pada masa Orde Lama atau Orde Baru? Ternyata Pancasila itu sangat interpretatif, sangat bergantung pada penguasa. Karena itu HTI dibubarkan pasti di atas dasar interpretasi rezim terhadap Pancasila dan interpretatif itulah yang digunakan untuk mempersekusi HTI.

Jadi kita bisa menilai Pancasila itu sering kali sebagai alat pemukul lawan politik. Sementara di saat yang sama sungguh sangat banyak hal-hal yang patut dipertanyakan apa sudah sesuai dengan Pancasila. Misalkan, sekarang ini ketidakadilan ekonomi dan ada juga ketidakadilan hukum dan dakwah dihalang-halangi. Apakah itu sesuai dengan Pancasila dan juga masih banyak lagi dan itu kan harusnya dipertanyakan lagi apa sudah sesuai dengan Pancasila.[vm]

Posting Komentar untuk "Prof. Suteki dan Rezim Pancasilais"

close