Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Prof. Suteki Dizalimi!


Oleh : M. Nur Rakhmad, SH. (LBH Pelita Umat Jatim)

Akhir-akhir ini, marak tindakan persekusi, intimidasi, kriminalisasi, teror & ancaman terhadap tokoh dan aktivis pergerakan sivitas akademika. Prof. Suteki diperlakukan semena-mena. Pelanggaran yang dituduhkan kepada beliaupun sangat tidak  benar dan  tidak masuk akal, khususnya terhadap pelanggaran Pasal 3 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010, dan sampai dengan saat ini tidak ada satu tindakan atau bukti secara sah dan meyakinkan bahwa Prof. suteki adalah seorang yang anti NKRI, dan perlu diketahui bahwa selama 24 (dua puluh empat) tahun (sejak 1994, CPNS) Saya telah mengajar Mata Kuliah Pancasila dan Mata Kuliah Filsafat Pancasila, sehingga tidak diragukan lagi kecintaanya terhadap NKRI.

Keputusan ini patut diduga, pasca Prof. Suteki menjadi saksi ahli sidang PTUN Ormas HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) pada 1 Februari 2018, kemudian saya dikatakan antiPancasila dan NKRI, Prof. suteki dinon-aktifkan dari jabatannya pasca turunnya SK Pemberhentian Sementara yang dikeluarkan oleh Rektor Undip dengan Nomor 223/KP/2018 atas diri saya dari TIGA JABATAN SEKALIGUS, yakni: 1. Ketua Program Studi MIH FH Undip; 2. Ketua Senat Fakultas Hukum Undip; 3. Anggota Komisi IV Senat Akademik Universitas.

Terkait khilafah, perlu ditegaskan, hingga saat ini tidak ada satupun produk hukum yang memberi tafsir terhadap Khilafah sebagai paham atau ajaran yang dilarang. Jadi, jahat sekali jika penguasa melalui Kemenristekdikti membuat narasi sepihak untuk menggiring opini publik agar menjauhi Khilafah sebagai ajaran Islam yang agung, dengan memvonisnya sebagai ajaran terlarang. Sedangkan tidak ada satu pun Undang-Undang baik aturan di atasnya ataupun diba2ahnya bahkan keputusan hakim manapun di Negara Republik Indonesia ini menyebutkan khilafah bertentangan dengan UUD 1945 & Pancasila karena yang dilakukan oleh rezim hanya bisa menakuti dan melakukan monsterisasi.

Penjelasan fair dan berdasarkan hukum, yang memuat paham atau ajaran apa yang dilarang dianut, dikembangkan dan disebarluaskan adalah paham atau ajaran marxisme/leninisme, atheisme dan komunisme. Paham ini tegas dilarang, berdasarkan TAP MPRS No. XXV/1966.

Prof. Suteki jelas dizalimi, padahal seharusnya kampus didorong untuk mengedepankan cara-cara akademik, menjaga tradisi intelektual serta meningkatkan pembelajaran dan suasana dialogis. Prof. Suteki membela ajaran Islam, namun pihak kampus tidak mengedepankan ukhuwah dan ruang dialog yang fair. Ini bukti stigma negatif radikalisme kampus, sebuah propaganda menebar teror dan ancaman di lingkungan civitas academica, sekaligus propaganda jahat untuk menjauhkan insan kampus dari ajaran Islam (khususnya tentang) khilafah. 

Lingkungan kampus yang di dalamnya terdapat sivitas akademika, harus steril dari unsur kekuasaan dan harus tetap berdiri tegak di atas nilai, norma dan etika dan berpegang teguh pada intelektualitas yang netral, berdasarkan ilmu pengetahuan dan keahlian yang diperoleh dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab khususnya untuk melaksanakan amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Selanjutnya pemanggilan beberapa dosen dan mahasiswa, di berbagai perguruan tinggi negeri di Indonesia, baik berujung teguran, surat peringatan bahkan pembebastugasan, yang disebabkan oleh adanya aktivitas penyampaian aspirasi, pembelaan dan dukungan pada nilai kebenaran dan keadilan oleh Sivitas Akademika, adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan, baik ditinjau dari aspek hukum maupun dilihat dari kacamata nilai pendidikan.

Ini menunjukkan organ-organ kekuasaan mulai memaksakan kehendak, membawa tafsir tunggal kebenaran penguasa, mendobrak dan masuk ruang kampus, menyebar teror dan ancaman, menekan dan memaksa sivitas akademika untuk tunduk, taat dan patuh, melepaskan nilai moral dan standar berdasarkan logika keilmuan, dan membenarkan seluruh tafsir kebenaran yang disodorkan penguasa.

Apalagi sebelumnya ditunjang Rencana Kebijakan Menristekdikti monitoring terhadap aktivitas komunikasi dosen dan mahasiswa dengan mendata nomor ponsel dan akun media sosialnya merupakan kebijakan berlebihan. Selain mengintervensi hak privasi, langkah tersebut berpotensi mengganggu suasana akademik. Klop sudah. Pada titik ini penulis ingin mendorong Komnas HAM untuk segera memanggil, memeriksa Menristekdikti atas dugaan melanggar HAM yaitu pengekangan berkumpul, berserikat dan berpendapat kepada dosen dan mahasiswa dikalangan kampus.

Tindakan pengabaian apalagi jika terjadi pemberangusan terhadap hak berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat Prof. suteki melanggar UU yaitu pada pasal 28E ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat” serta pasal 5 UU nomer 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat  di muka Umum.” Juga berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM.

Tindakan men’suteki’-kan para intelektual kampus musibah terbesar civitas akademika, musibah intelektual, musibah ruang kampus yang terbiasa dengan perbedaan pendapat dan argumentasi.[vm]

Posting Komentar untuk "Prof. Suteki Dizalimi!"

close