Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Romantika Lembaga Dakwah Kampus


Oleh : Bhakti Aditya

Tulisan ini saya dedikasikan kepada mas Widi Hermawan (siksakampus.com). Tepatnya ingin ikut nimbrung pada tulisan beliau yang luar biasa di sini https://siksakampus.com/nguphil/ada-apa-dengan-lembaga-dakwah-kampus/ .

Lembaga Dakwah Kampus (LDK), semacam Kerohanian Islam (Rohis) di jenjang SMA adalah salah satu Ormawa Intra Kampus. Organ mahasiswa yang dengan mendengar namanya saja, kita bisa tau, bahwa organisasi ini adalah organisasi keagamaan. Seperti yang disampaikan mas Widi, kegiatannya tentu mengajak kita lebih dekat kepada Tuhan. Setidaknya ekspektasi kita, organ ini seperti oase di gurun pasir yang tak tau di mana ujungnya.

Kehidupan kampus dewasa ini yang begitu gersang, nampaknya cocok bila digambarkan seperti gurun pasir. Namun nyatanya mas Widi malah menemukan fakta bahwa LDK tidak lagi seperti oase yang menyegarkan dan menghilangkan dahaga. Lebih parahnya, LDK mungkin justru digambarkan seperti ular Viper yang bisanya lebih beracun dari Kobra.

Lain halnya dengan saya. Sejak masuk kuliah di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, salah satu Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK) yang saat ini telah berganti nama menjadi Poltekkesos Bandung, justru saya tidak pernah berfikir bergabung dengan LDK, apa lagi hanya karena dorongan syahwat ingin kenal dengan ikhwit-ikhwit genit nan manjah.

Sekedar info, STKS (saat itu) sangat cukup bagi saya untuk memenuhi isi kepala dengan berbagai pemahaman 'anti-kapitalisme'. Malahan untuk menyegarkan suasana, saya lebih senang mengikuti kegiatan Sanggar Seni Sunda (Garnida), selain lagu-lagu sunda begitu menyejukkan, m̶o̶j̶a̶n̶g̶ ̶B̶a̶n̶d̶u̶n̶g̶ ̶j̶u̶g̶a̶ ̶m̶e̶m̶a̶n̶g̶ ̶m̶e̶n̶a̶w̶a̶n̶ ̶h̶a̶t̶i̶ banyak pelajaran hidup yang bisa dipetik.

Jujur saja, saya termasuk manusia kritis yang anti kejumudan dan kedunguan. Meski saat itu saya tidak tahu caranya menjawab kritik pribadi terhadap kondisi kampus. Dalam benak saya "boro-boro bahas negara, kampus aja banyak masalah kok". Suatu hari, mahasiswa berhasil mendepak satu dosen luar yang korup karena jual beli nilai B+ untuk mata kuliah Dasar-dasar Logika. Keterlaluan. Lebih keterlaluan lagi sebagian mahasiswa malah membeli nilai tersebut, bangga pula dengan nilai yang didapat. Bah!

Ditengah semrawutnya isi kepala saya. Justru LDK muncul seperti oase di padang gersang. Iya, LDK Keluarga Mahasiswa Muslim (KMM) STKS Bandung. Saat itu, ketuanya adalah kakak tingkat saya yang pernah mengisi saat acara PPI (Pengenalan Program Institusi), Agus Niamilah namanya. Orangnya kalem, tapi ngemengnya politik teros. Aksi-aksinya di kampus jangan dikira lembek, instrumen kampus tak luput beliau kritik dan memunculkan LDK KMM sebagai ormawa bergengsi yang disegani.

Awal mula saya berkenalan dengan dunia Dakwah Kampus. Saat teman saya yang telah bergabung lebih dulu di KMM datang ke kontrakan saya lalu dia mulai 'ngoceh' soal koruptor. Di kepala saya "elah, masalah yang lu omongin kegedean tong". Tak disangka, diujung diskusi itu justru menerobos otak peluru tajam yang mencecerkan isi kepala batu saya. Andi Kurniawan namanya, dia bilang "koruptor dalam sistem peradilan Islam harusnya dipotong tangan bersilang, bahkan bisa dihukum mati". Saat itu kesimpulan saya hanya 2, teman saya terpapar radikalisme, dan tak dipungkiri, akal saya terpuaskan dengan statemennya.

Beberapa hari kemudian saya minta dikenalkan dengan orang-orang yang telah menjadikannya 'radikal'--yang kemudian saya fahami 'ramah, tedidik, dan berakal'--. Saya yang haus ini kemudian menemukan oase di tengah-tengah kebingungan dan kedunguan saya selama ini. Materi pertama yang saya dapatkan saat itu, dari seorang pengurus DKM kampus yang sekaligus sebagai guru mahasiswa di LDK, adalah soal Negara Islam. Waktu itu, di kepala saya, "ini gua bakal jadi teroris keknya, tapi gua penasaran, masa Islam punya bentuk negara dan ngomongin soal politik dan pemerintahan". Inilah salah satu pemahaman dungu saya saat itu yang akhirnya terpecahkan melalui LDK KMM.

Anda bisa bayangkan, saat itu, saya yang haus lagi dahaga terhadap pertanyaan-pertanyaan saya seputar masalah dan polemik kampus dan negara, dijawab kontan, lugas, sistematis, dan rinci oleh aktivis LDK. Padahal, saya mengira, LDK itu hanya berisi akhi-ukhti yang candu membahas agama, utopis, irasional, dan konservatif. Intinya saya sangat apatis terhadap organ satu ini. Namun ternyata, saya keliru.

Singkat cerita (kalo gue ceritain semuanya bisa gempor jempol gue wkwk), berkat keingintahuan yang tinggi dan upaya saya untuk mengenal Islam yang komprehensif, akhirnya saya mengenal banyak mahasiswa dari berbagai kampus yang memiliki karakter sama. Politis, Ideologis, dan non-kekerasan. Amazingnya, mereka tersebar di puluhan LDK di Bandung Raya. Kebetulan saat itu saya diamanahi untuk menjadi bagian dari Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) Baraya (Bandung Raya) dan mengoordinir 20an kampus dan membangun jejaring di kampus seluruh Bandung Raya.

FGD, Diskusi Publik, hingga forum-forum bertaraf nasional berhasil kami (LDK) selenggarakan. Bahkan salah satunya sampai bisa mengundang Ichsanuddin Noorsy, seorang pakar ekonomi dan politik yang saat itu berhasil 'mempermalukan' mahasiswa se-kampus STKS dengan sebutan 'tukang-tukang sosial'. Ah, kegiatan-kegiatan itu sangat eksotis. Sedikit kisah romantisme saya bersama Lembaga Dakwah Kampus.

Wah, sampai sini, nampaknya kita (saya dan mas Widi) berada di zaman, latar, tempat, dan waktu yang berbeda. Mungkin.

Namun, harapan saya, persis dengan harapan mas Widi. LDK harus bangkit. Jangan nyungsep dan melulu bahas soal nikah. Negara udah mau ancur woi. [vm]

Posting Komentar untuk "Romantika Lembaga Dakwah Kampus"

close