Ketika Ulama Terseret Arus Kekuasaan Demokrasi Sekuler
Oleh : Ahmad Sastra
Dalam Islam, kedudukan seorang ulama sangatlah istimewa. Ulama adalah tempat bertanya akan segala hal berkaitan dengan agama. Penguasa sekalipun wajib mendatangi seorang ulama untuk mendapatkan pencerahan ilmu. Ulama tidak boleh mendekati penguasa, tapi penguasalah yang mendekati ulama.
Seorang ulama, menurut Imam Badruddin Ibnu Jama’ah dalam kitab Tadzkiratus Saami’, tidak boleh merendahkan ilmu dengan mendatangi para pecinta dunia, kecuali mendesak untuk keperluan tegaknya agama. Bahkan menurut Az Zuhri dikatakan bahwa hinanya ilmu adalah jika seorang alim membawanya ke rumah orang belajar. Mestinya yang belajar mendatangi ulama.
Imam Bukhari dalam sebuah kisah pernah didatangi utusan penguasa setempat dan diundang untuk mengajarkan hadist kepada penguasa tersebut di istana. Imam Bukhari menjawab : katakan kepadanya, aku tidak ingin menghina ilmu. Aku tidak akan mendatangi pintu penguasa. Bila ia memerlukan penjelasan kitab, maka hendaknya ia mendatangi masjid atau rumahku.
Biasanya seorang ulama yang mendatangi penguasa karena menginginkan dunia, sementara penguasa yang mendatangi ulama menginginkan akherat. Maka Allah, kata Umar Bin Khaththab, mencintai penguasa yang mendatangi ulama dan membenci ulama yang mendatangi penguasa.
Allah menegaskan betapa beda antara ulama dan bukan ulama : Apakah sama, orang-orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui ?” Hanya orang-orang yang berakal sajalah yang bisa mengambil pelajaran. (QS Az Zumar : 9). Allah mengangkat orang-orang yang beriman daripada kamu dan orang-orang yang diberi ilmu dengan beberapa derajat. (QS Al Mujaadilah : 11).
Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar maupun dinar, tetapi mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambil ilmu itu, ia mengambil bagian yang banyak (HR Abu Dawud).
Ali bin Abi Talib ra. berkata : “Ilmu lebih baik daripada harta, oleh karena harta itu kamu yang menjaganya, sedangkan ilmu itu adalah yang menjagamu. Harta akan lenyap jika dibelanjakan, sementara ilmu akan berkembang jika diinfakkan (diajarkan). Ilmu adalah penguasa, sedang harta adalah yang dikuasai. Telah mati para penyimpan harta padahal mereka masih hidup, sementara ulama tetap hidup sepanjang masa. Jasa-jasa mereka hilang tapi pengaruh mereka tetap ada/membekas di dalam hati.”
Ulama pewaris nabi adalah orang-orang yang mengetahui ajaran Nabi SAW, baik yang menyangkut perkara-perkara akidah maupun syariah. Seorang ulama berusaha menyifati budi pekerti dan seluruh amal perbuatannya dengan ilmu yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Mereka takut berpaling atau dipalingkan dari syariah Islam karena makrifatnya yang sempurna kepada Allah SWT dan sifat-sifat-Nya.
Ulama pewaris Nabi adalah mereka yang ikhlas menerima celaan, hinaan, intimidasi, persekusi, pengusiran bahkan pembunuhan demi mempertahankan kemurniaan Islam dan membela kepentingan kaum Muslim. Ulama pewaris nabi bukanlah mereka yang plintat-plintut dalam berfatwa, menyembunyikan kebenaran, menukar kebenaran dengan kebatilan, serta mengubah pendirian hanya karena iming-iming dunia atau mendapat ancaman dari penguasa zalim. Mereka rela dipenjara dan disiksa demi mempertahankan kebenaran dan menentang kebatilan.
Ulama pewaris nabi menyadari sepenuhnya bahwa dunia tidaklah kekal abadi. Dunia adalah permainan, tipudaya dan cobaan bagi dirinya. Cinta dunia akan memalingkan dirinya dari akhirat yang kekal abadi. Bahkan cinta tahta dan harta merupakan sebab kehancuran jatidiri ulama. Seorang ulama tidak akan mengambil dunia kecuali sekadar yang ia butuhkan untuk menopang kehidupan dirinya dan orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Sebaliknya, ia berusaha meraih ilmu sebanyak-banyaknya, dan menghabiskan waktunya untuk kepentingan kaum Muslim.
Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali menyatakan, “Ulama terdiri dari tiga kelompok. Pertama: Ulama yang membinasakan dirinya dan orang lain. Mereka adalah ulama yang dengan terang-terangan mencari dunia dan rakus terhadap dunia.
Kedua: Ulama yang membahagiakan dirinya dan orang lain. Mereka adalah ulama yang menyeru manusia kepada Allah lahir dan batin.
Ketiga: Ulama yang membinasakan dirinya sendiri dan membahagiakan orang lain. Mereka adalah ulama yang mengajak ke jalan akhirat dan menolak dunia secara lahir, tetapi dalam batinnya ingin dihormati manusia dan mendapatkan kedudukan yang mulia. Karena itu perhatikan pada golongan mana Anda berada.” (Al-Ghzali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, Juz III).
Betapa tercelanya jika ada ulama yang hidupnya justru terjebak kepada bergelimangnya harta dan tahta. Betapa tercelanya seorang ulama yang hidupnya bukan membela Islam, tapi membela penguasa yang anti Islam. Betapa tercelanya jika ada seorang ulama yang merunduk kepada punguasa, meski dia tahu penguasa itu memusuhi syariah Islam.
Betapa tercelanya jika ada seorang penguasa yang menjual agamanya demi menyenangkan penguasa dengan membuat fatwa-fatwa pesanan penguasa. Betapa tercelanya jika ada seorang ulama mendukung penguasa yang melindungi penista agama dan Nabi. Betapa tercelanya jika ada seorang ulama yang terseret arus sekulerisme, liberalisme dan pluralisme agama.
Kekuasaan politik demokrasi sekuler adalah kekuasaan yang mencampuradukkan yang haq dan batil, halal dan haram, kebaikan dan keburukan, kemaksiatan dan ibadah, dan segala campur aduk lainnya. kekuasaan demokrasi menghalalkan riba, judi, minuman keras, zina, LGBT yang dilarang Allah. Demokrasi justru melarang dakwah Islam yang ingin menegakkan syariat Islam.
Mestinya seorang ulama menasehati penguasa demokrasi yang telah mencampuraduk yang haq dan bathil, jangan malah mendukung dan menyembunyikan kebenaran. Allah dengan tegas telah mengingatkan dalam QS Al Baqarah ayat 42 “ janganlah kalian campur adukkan kebenaran dan kebatilan dan kalian sembunyikan kebenaran, padahal kalian mengetahuinya”
Demokrasi, selain mencampur aduk haq dan batil juga merupakan sistem politik yang menjadikan manusia sebagai sumber hukum melalui mekanisme pembuatan UU. Sementara sumber yang dijadikan rujukan UU bukan kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Maka, betapa meruginya jika ada seorang ulama justru menikmati demokrasi.
Betapa menyesatkan jika adalah ulama yang menikmati demokrasi menuduh Islam sebagai agama radikal di satu sisi, namun membiarkan perjudian, LGBT, zina, miras di sisi lain atas nama HAM. Betapa tragisnya jika ada seorang ulama terseret arus kekuasaan demokrasi sukuler liberal yang anti Islam.
Terseret arus kekuasaan demokrasi sekuler ibarat orang yang terseret arus ombak di pantai. Jika ingin selamat, orang itu harus ditolong untuk bisa keluar dari arus ombak itu atau menolong dirinya untuk keluar dari arus. Jika orang itu justru mengikuti arus tanpa berusaha keluar, maka orang itu akan mati tenggelam.
Begitupun seorang ulama, jika dia tak berusaha keluar dari arus kekuasaan demokrasi sekuler liberal, maka dia akan mati tenggelam dalam kesesatan. Namun jika dia mau keluar dari sistem sekuler liberal, maka dia akan selamat. Jika ada ulama justru tenggelam dalam ketundukan kepada penguasa demokrasi sekuler, maka masih adakah jiwa keulamaannya ?.
Idealnya seorang ulama adalah yang mendakwahkan penerapan Islam secara kaffah dan membuang sistem demokrasi sekuler liberal kepada penguasa. Idealnya seorang ulama adalah yang membela Islam dan Rasulullah serta kaum muslimin, bukan malah membela sistem batil. Ketika ulama terseret arus kekuasaan demokrasi sekuler, maka titik pangkal kehancuran agama, negara dan masyarakat, sehancur-hancurnya. [www.visimuslim.org]
Posting Komentar untuk "Ketika Ulama Terseret Arus Kekuasaan Demokrasi Sekuler"