Islam Merawat Bangsa
Oleh : Khusnul Khatimah S.Pd (Aktivis Muslimah dari Kab. Malang)
Pernyataan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi bahwa agama adalah musuh Pancasila membuat sebagian masyarakat Indonesia marah hingga ada yang menginginkan mundur dari jabatan. Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas menuntut presiden Joko Widodo segera mencopot Prof. Yudian dari jabatannya. Baginya, pendapat Prof. Yudian bersitegang dengan pengakuan Pancasila terhadap agama. Opini serupa diutarakan oleh wakil ketua MPR Arsul Sani, yang mengingatkan Prof. Yudian untuk menahan lidah dan tak asal mengeluarkan opini kontroversial. (asumsi.co, 13 Februari 2020)
Yudian pun mengklarifikasi soal pernyataannya tersebut. Menurut Yudian penjelasannya yang dimaksud adalah bukan agama secara keseluruhan, tapi mereka yang mempertentangkan agama dengan Pancasila. Karena, menurutnya dari segi sumber dan tujuannya Pancasila itu religius atau agamis. (Republika.co, 12 Februari 2020)
Tak hanya agama sebagai musuh Pancasila, Profesor yang masih menjabat sebagai rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga sebelumnya juga membuat pernyataan kontroversial yaitu hukum Ilahi diatas konstitusi dan yang terbaru menyarankan agar sebaiknya salam Assalamualaikum diganti dengan salam Pancasila diacara formal pemerintah. (Viva.co.id 21 Februari 2020)
Berbagai pernyataan ketua BPIP yang jaraknya tidak terpaut jauh dan membuat gaduh negeri ini tidak lepas dari upaya menjauhkan masyarakat dari ajaran Islam. Aturan Islam yang sempurna dan menyeluruh dianggap sebagai ancaman nyata negeri ini. Aturan Islam yang mengatur masalah individu dibiarkan karena tidak mengusik kepentingan para penguasa. Berbagai pernyataan yang mengkerdilkan Islam politik pun bebas berkeliaran tanpa ada penjagaan yang nyata dari aparat pemerintah. Jika kita mengamati perjalanan bangsa Ini, maka kita bisa mengambil benang merah bahwa ajaran Islamlah yang telah menjadi perekat kebinekaan bangsa Indonesia selama ini. Islam telah menginspirasi warga negara untuk hidup rukun, berdampingan, meski berbeda suku, keyakinan dan ras. Keberagaman budaya, agama, dan ras adalah sesuatu yang wajar dan bisa diterima, karena hal tersebut adalah keyakinan masing-masing individu. Secara historis dan sosiologis kemerdekaan negeri ini tak lepas dari peran pejuang yang terinspirasi perintah ajaran Islam untuk mengusir penjajah.
Pemisahan agama dari kehidupan politik (sekulerisme) justru yang menjadi penyebab negara terpuruk dan munculnya konflik horizontal. Ini bisa dipahami karena manusia mengurus kehidupan dengan aturan mereka sendiri. Artinya, mereka yang dominan merumuskan aturan sesuai dengan kepentingan mereka, dengan mengesampingkan peran agama.
Dalam pandangan sekuler, peran agama hanya dibatasi dalam masalah ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan saja. Oleh karena itu, seorang rohaniawan (kiai), peran mereka adalah di tempat ibadah, mengurusi masalah ibadah. Tidak dibenarkan seorang ahli agama (kiai) turut campur menggurusi negara, kalau pun mereka diminta pendapatnya hanya sebatas saran atau himbauan saja. Sementara dalam urusan kehidupan sehari-hari, mengurus negara, mengurus ekonomi dan perdagangan adalah urusan para birokrat, ekonom dan pengusaha.
Imam Al Ghozali mengatakan: “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaganya. Sesuatu tanpa pondasi akan runtuh dan sesuatu tanpa penjaga pasti akan hilang.” (Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Abu Hamid al-Ghazali, hal. 255-256)
Jelas bahwa agama adalah dasar (pondasi), sementara untuk menjaganya dibutuhkan kekuasaan. Pemimpin (pemegang kekuasaan) bertugas menjaga, memastikan agar aturan agama tersebut dilaksanakan dengan baik, karena tanpa ada penjagaan dari pemimpin, maka aturan agama tersebut akan tidak bisa dilaksanakan.
Perlu dipahami disini adalah makna politik. Dalam terminologi barat, politik berarti menghalalkan segala cara untuk meraih sebuah tujuan. (Principe - Sang Penguasa, Machiavelli). Karenanya manfaat adalah asas mereka dalam meraih kekuasaan, selama bisa mengantarkan mencapai kekuasaan, apapun akan dikerjakan. Inilah yang terjadi dalam menggelola negara sekarang ini. Meski sudah berganti pemimpin sebanyak enam kali semenjak reformasi 1998, hingga kini krisis multi dimensi yang menimpa negeri ini tak kunjung selesai.
Bahkan, gerakan reformasi untuk melawan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dengan sasaran Presiden Suharto waktu itu, kini tidak memiliki taring lagi. Justru korupsi semakin menggurita hingga ke semua sektor, dengan melibatkan oknum aparat penegak hukum dan pejabat. Sudah berapa kali kasus korupsi terbongkar dan menyeret sejumlah nama dari kalangan politisi, pejabat serta penegak hukum. Kasus pelecehan agama, karhutla, krisis air, bullying, pergaulan bebas, beban hutang yang semakin tinggi dan berbagai persoalan lainya mempertegas betapa buruknya sistem sekulerisme.
Mengapa hal ini bisa terjadi, karena persoalan pokoknya adalah sistem sekulerisme yang diterapkan dalam menggelola negeri ini. Sekulerisme telah gagal menggantarkan negeri ini tumbuh maju dan memberikan kesejahteraan kepada warganya.
Saatnya memikirkan sistem alternatif yang akan mampu menyelesaikan persoalan mendasar ini dan memberikan pelayanan yang lebih manusia kepada warga negara. Karenanya, hanya sistem yang berbasis pada agama yang akan mampu mewujudkan hal itu. Agama harus dijadikan sebagai pondasi dalam membangun negeri ini, baik dalam masalah kehidupan, ekonomi, politik dan bernegara.
Dalam termonilogi Islam, politik bermakna, ri’ayah, pengaturan urusan umat baik dalam urusan dalam negeri maupun urusan luar negeri. Dalam urusan dalam negeri, politik dilaksanakan negara (Kepala Negara) dan diawasi warga negara. Artinya Kepala Negara (pemimpin) memiliki kewajiban untuk melaksanakan pengaturan urusan warga negara secara praktis berdasarkan aturan Islam, sedangkan warga negara memberikan kontrol (mengawasi) pengaturan urusan rakyat ini. (Mafahim Siyasiyah, An Nabhani hal 7, 1969). Sementara dalam urusan luar negeri negara mengadakan hubungan dengan negara lain serta menyerbarkan ideologi negara ke seluruh dunia.
Di tangan Kepala Negara (kekuasaan) semua aturan agama bisa terlaksana dengan baik, semua keputusan politik berada di tangan Kepala Negara. Dengan dilaksanakannya aturan Islam untuk menggelola kehidupan berbangsa dan bernegara, maka Islam rahmatan lil alalmin bisa terwujud. Karena jika aturan Islam dilaksanakan secara sempurna, bisa mencegah kemungkaran dan terlaksananya kebaikkan, sehingga agama Islam menjadi rahmat bagi semua manusia. Sebaliknya, menjauhkan agama dan urusan politik, justru akan membuat negeri ini terpuruk dan terpecah belah. []
Posting Komentar untuk "Islam Merawat Bangsa"